tirto.id - Pada 2002, publik dikejutkan berita kekalahan Italia oleh Korea Selatan di ajang Piala Dunia. Selain jadi aib yang terus dibahas generasi selanjutnya, keoknya Italia juga membuktikan bahwa tak ada yang tak mungkin dalam sepakbola.
Di dunia musik sendiri, 2002 adalah era keemasan album-album bernas, dari Wilco yang merilis Yankee Hotel Foxrot, Primal Scream dengan Evil Heat-nya, hingga The Flaming Lips lewat Yoshimi Battles the Pink Robots.
Tak berhenti sampai situ saja, masih ada Interpol yang melepas album monumental di kancah indie-rock, Turn on the Bright Lights, Oasis yang mencoba terus tegak berdiri dengan Heathen Chemistry, serta tak ketinggalan pula Sonic Youth dengan Murray Street yang disebut-sebut sebagai karya paling eksploratif dari band noise ini.
Namun di balik hingar bingar tersebut, 2002 juga menjadi saksi bagaimana sekelompok pemuda asal daratan High Green, Sheffield, Inggris, membentuk band yang kelak menghentak jagat musik dunia.
Band itu punya nama Arctic Monkeys.
Meretas Mimpi dari Kampung
Arctic Monkeys beranggotakan Alex Turner (vokal, gitar), Jamie Cook (gitar), Andy Nicholson (bas), dan Matt Helders (drum). Keempat anak ini tinggal di daerah yang sama dan sudah kenal sejak belia.
“Kami sudah saling mengenal satu sama lain, kami berempat, selama 20 tahun sejak usia kami masih tujuh tahun,” ucap Turner kepada The Telegraph.
Rekaman debut mereka, sebuah EP berjudul Five Minutes with Arctic Monkeys, dirilis pada 2005. Setahun berselang, mereka melepas album penuh bertajuk Whatever People Say I Am, That’s What I’m Not yang terinspirasi dari buku dan film Albert Finney, Saturday Night and Sunday Morning dengan sampul potret wajah seseorang bernama Chris McClure mengisap sebatang rokok. Sampul album ini sempat dikritik NHS (National Health Service) Skotlandia karena dianggap mengkampanyekan gerakan merokok.
Album ini langsung disambut positif oleh publik, terutama lagu-lagu macam “I Bet You Look Good on the Dancefloor” serta “When the Sun Goes Down” yang nangkring di puncak tangga lagu Inggris. Pitchfork memuji Whatever People Say I Am sebagai “album yang menawan, berpengaruh, dan menjanjikan.” Sementara itu, Damian Jones dari NME memuji-muji album itu sebagai “album bagi generasi baru.”
Secara keseluruhan, Whatever People Say I Am terjual 363,735 kopi mengalahkan album Oasis, Definitely Maybe, dan menjadikannya album debut dengan penjualan tercepat sepanjang sejarah musik Inggris. Rolling Stone pun memasukkannya ke dalam album debut terbaik sepanjang masa pada 2013 silam. Whatever People Say I Am diganjar Mercury Prize pada 2006.
Kesuksesan Whatever People Say I Am membawa mereka ke lampu sorot. Band yang mulanya sebatas tampil di pub-pub kecil di sekitar rumah kini main di panggung-panggung besar macam Glastonbury, Reading, Leeds, hingga mengadakan tur keliling Eropa dan Amerika. Namun, kesuksesan itu harus dibayar dengan keluarnya Nicholson. Ia kemudian digantikan Nick O’Malley yang bertahan sampai sekarang.
Bagi Arctic Monkeys, tak ada waktu untuk berleha-leha. Setelah sukses luar biasa lewat album debutnya, mereka langsung tancap gas dan merilis album kedua, Favourite Worst Nightmare yang sama-sama direspons dengan baik oleh pasar.
Musim semi 2008, mereka kembali ke dapur rekaman. Kali ini, pentolan Queens of the Stone Age, Josh Homme, diajak bekerjasama. Jadilah Humbug yang kental akan nuansa Cream, Jimi Hendrix, serta Nick Cave dengan lagu andalan, “Crying Lightning.”
Humbug menjadi momentum kepindahan mereka dalam berproses kreatif. Mulai dari Humbug dan seterusnya, Arctic Monkeys merekam materi albumnya di Amerika; New York dan Los Angeles. Seperti halnya yang terjadi lewat Suck It See (2011, Los Angeles) serta AM (2013, New York).
Usai melangsungkan tur AM dan masuk nominasi Grammy untuk kategori Penampilan Rock Terbaik, mereka memutuskan untuk hiatus. Turner mengaku hiatus adalah langkah yang harus diambil agar kreativitas mereka tidak terbentur kebosanan.
“Sepuluh tahun lalu, energi itu sangat kentara,” ungkap Turner dalam wawancaranya bersama Uncut. “Itu energi yang murni. Namun, seiring berjalannya waktu, kami menyadari bahwa kamu tidak bisa memalsukan energi itu. Jadi, kami harus mencari cara lain untuk mengatasinya.”
Kendati vakum untuk sementara waktu, para personel Arctic Monkeys tetap disibukkan dengan pelbagai proyek musik. Turner dengan kolektifnya yang dibuat bersama Miles Kane dari Rascals, The Last Shadow Puppets, hingga Helders yang berkontribusi dalam album Iggy Pop, Post Pop Depression (2016), bersama Homme dan Dean Fertita.
Pada dasarnya musik Arctic Monkeys berkiblat pada band-band rock-rock lawas Britania macam Led Zeppelin, Black Sabbath, maupun Cream. Namun, mengutip The New York Times, mereka tidak terobsesi dan bernostalgia dengan riwayat panjang rock ‘n’ roll. Mereka hanya mengambil inspirasi dari band-band angkatan lawas dan mengolahnya ke dalam wujud yang baru.
Walhasil, Anda akan mendengar nomor-nomor bertenaga yang kasar, manis, dan menggigit dalam satu waktu lewat “Suck it and See,” “R U Mine,” “Do I Wanna Know?,” “Fluorescent Adolescent,” “Why’d You Only Call Me When You’re High?,” “She’s Thunderstorms,” sampai “Dance Little Liar.” Permainan gitar Turner dan Cook yang saling bersautan, gebukan drum Helders yang liar, dan cabikan bas O’Malley yang tenang lagi menghanyutkan telah membuat band-band inspirasi mereka kelihatan—dan terdengar—begitu tua.
Nilai plus lain yang bisa dilihat dari Arctic Monkeys, tambah The New York Times, ialah lirik-lirik ciptaan Turner yang tersimpan di setiap lagu. Turner berhasil secara elegan menuangkan pengalaman hidup sehari-hari mereka saat tinggal di lingkungan kelas pekerja Inggris. Mereka mengubah kegetiran itu menjadi sesuatu yang indah, lucu, dan dekat dengan realitas.
Besar karena Internet
Terlepas dari kualitas mereka meramu musik, kesuksesan Arctic Monkeys tak bisa dilepaskan dari bantuan internet. Arctic Monkeys adalah band yang mampu memanfaatkan perkembangan internet guna menyebarluaskan karya-karya mereka di awal karir.
Semua bermula saat EP Five Minutes with Arctic Monkeys dirilis tanpa label rekaman. Mereka memanfaatkan forum musik daring seperti Drowned in Sound sampai MySpace untuk melebarkan sayap.
Lewat jelajah media-media daring tersebut, Arctic Monkeys membebaskan lagu-lagu ciptaannya untuk diunduh. Dengan begitu, mereka mampu menjaring pengikut, serta menginformasikan jadwal dan tempat pertunjukan. Respons warganet meriah. Dari situ, terciptalah koneksi yang kuat antara Arctic Monkeys dan penggemarnya.
Militansi mereka di dunia maya menuntun pada kesepakatan dengan Domino Records, label independen asal London yang disokong EMI. Domino mengendus potensi kesuksesan pada Arctic Monkeys dan mengajak mereka untuk teken kontrak. Arctic Monkeys sempat menolak, namun akhirnya mereka luluh.
Domino tentu saja senang, karena tak perlu repot-repot melakukan promosi ke seluruh penjuru Inggris mengingat nama Arctic Monkeys telah lebih dulu moncer lewat internet. Ibarat kata, Domino hanya tinggal memoles fondasi yang sudah kokoh.
Betul saja. Arctic Monkeys makin melesat bersama Domino ketika mereka merilis Whatever People Say I Am, sebuah album debut yang laku keras dan dipuji para kritikus. Dengan suntikan modal yang cukup besar dari Domino, lagu-lagu Arctic Monkeys menyebar dari satu radio ke radio lainnya di seluruh penjuru Inggris.
“Orang-orang tampaknya melihat Arctic Monkeys seperti eksperimen laboratorium ketika nama mereka melambung cepat di luar sana,” aku Jonny Bradshaw, manajer yang ditunjuk Domino untuk mengurus penjualan produk Arctic Monkeys. “Meraka adalah grup rock ‘n’ roll besar yang telah menyentuh banyak orang.”
Tapi, jalinan relasi bersama Domino menimbulkan konsekuensi lain berupa keharusan menghapus seluruh lagu yang sudah diunggah Arctic Monkeys di internet. Konsekuensi tersebut membuat Arctic Monkeys tak berbeda dengan produk konvensional industri musik yang wajib tunduk pada kebijakan-kebijakan label.
Menurut Guy Moot dari EMI Music, awal karier Arctic Monkeys telah membuktikan bahwa era digital telah mempermudah segala urusan, termasuk penyebaran musik. Internet, jelas Moot seperti dilansir Financial Times, adalah tempat berkumpulnya generasi baru dengan segala hiruk-pikuk yang menuntun perusahaan label mengubah—atau menyesuaikan—strateginya dalam menjual musik.
Sementara Laura Barton dari The Guardian menjelaskan yang ditempuh Arctic Monkeys dengan menyebar lagu-lagunya secara gratis di internet membuktikan dua hal: kegagalan label dalam menulis resep musik yang bagus untuk pendengar serta fakta bahwa internet memungkinkan musik dari band pemula untuk didengar khalayak tanpa bantuan label.
Lahir Kembali
Usai hiatus lima tahun, Arctic Monkeys, pada 5 April kemarin mengumumkan comeback-nya. Seperti diwartakan Pitchfork, Arctic Monkeys akan merilis album keenam bertajuk Tranquility Base Hotel & Casino pada 11 Mei via Domino.
Tranquility Base Hotel & Casino diproduseri oleh James Ford dan Turner. Direkam terpisah di tiga kota: Los Angeles, Paris, serta London. Total, album ini memuat 11 lagu.
Menurut keterangan resmi mereka, mengutip The Independent, lagu-lagu baru di Tranquility Base Hotel & Casino “menaikkan taruhan secara besar-besaran” untuk menyusun “album berani dan brilian yang mencerminkan visi kreatif dari Turner yang lebih komprehensif.”
Sebelum mengumumkan album baru, pada Januari silam, Arctic Monkeys lebih dulu menginformasikan jadwal tur di Amerika Utara serta sejumlah festival musik internasional. Mereka juga mengumumkan akan merilis versi reissue dari debut album Whatever People Say I Am.
Tentu kembalinya Arctic Monkeys menjadi kabar baik untuk para penggemar—dan pendengar kebanyakan. Seperti apa jadinya Tranquility Base Hotel & Casino? Apakah bertenaga dan penuh distorsi layaknya dua album awal, berbau psikedelia seperti Humbug, minimalis macam Suck It See, atau mungkin mirip AM yang old-fashioned rock ‘n’ roll?
Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf