Menuju konten utama

Kisruh WNA Masuk DPT: Perang Ego Kemendagri vs KPU yang Tak Selesai

Kisruh antara Kemendagri dan KPU lagi-lagi terjadi dalam kasus 103 WNA yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019.

Kisruh WNA Masuk DPT: Perang Ego Kemendagri vs KPU yang Tak Selesai
Ketua KPU Kota Tegal, Agus Wijanarko menunjukkan salahsatu nama warga negara asing (WNA) di Kartu Keluarga di KPU Kota Tegal, Jawa Tengah, Rabu (6/3/2019). ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/hp.

tirto.id - Hari pemilihan umum tinggal sebentar lagi, tapi masalah terkait data pemilih masih juga mengemuka. Setelah beberapa waktu lalu ramai orang Cina punya e-KTP, kini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengumumkan ada 103 Warga Negara Asing yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Jika nama Anda masuk dalam DPT, itu artinya Anda punya hak memilih pada pemilu nanti, baik memilih presiden-wakil presiden atau anggota legislatif. Salah satu syarat jadi pemilih ini adalah Warga Negara Indonesia (WNI).

Sebanyak 103 WNA ini berasal dari 29 negara. Orang Jepang yang paling banyak tercatat dalam DPT, jumlahnya mencapai 18 orang. Sementara orang Cina hanya empat.

Kasus ini diketahui setelah Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri menelusuri data 1.680 WNA yang punya e-KTP.

Para WNA ini memang bisa membuat e-KTP setelah memenuhi izin tinggal tetap, sudah berusia 17 tahun ke atas atau sudah menikah, sebagaimana yang diatur dalam UU 24/2013 tentang Administrasi Kependudukan.

Temuan Kemendagri ini langsung ditindaklanjuti KPU. Mereka melakukan pengecekan faktual dengan mencocokkan e-KTP WNA ke pemiliknya. Verifikasi ini dilakukan di 17 provinsi dan di 54 kabupaten/kota yang tercantum di DPT. Jika kemudian ditemukan data e-KTP itu masuk DPT, maka KPU akan segera menghapusnya.

Terlepas dari kisruh ini, yang jadi masalah kenapa masih saja ada data yang tak tepat mengingat DPT tersebut telah difinalisasi KPU pada 15 Desember 2018?

Bisa dibilang, kisruh DPT terjadi karena perbedaan sumber data.

KPU menyusun DPT berdasarkan data pemilu terakhir (atau dalam kasus ini data dari Pilkada 2017-2018), seperti diatur pada Pasal 12 (f) UU 7/2017 tentang Pemilu. Di sana dijelaskan bahwa KPU bertugas "memutakhirkan data pemilih berdasarkan data pemilu terakhir dengan memperhatikan data kependudukan yang disiapkan dan diserahkan oleh pemerintah dan menetapkannya sebagai daftar pemilih".

Data kependudukan dari pemerintah, dalam hal ini Dukcapil, dipakai sebagai pembanding untuk memutakhirkan DPT. Data yang dimaksud dinamakan Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4)--yang berdasarkan e-KTP.

Ketika sinkronisasi pertama kali dilakukan, DPT dari KPU yang selaras dengan DP4 hanya 160 juta, padahal jika ditotal harusnya lebih kurang 192 juta. Dengan kata lain, ada perbedaan sekitar 31 juta. Pada DPT hasil perbaikan (DPTHP) tahap I, KPU menetapkan DPT sebanyak 187 juta orang dan masih beda dengan DP4.

Angka DPT dan DP4 baru relatif seimbang pada DPTHP tahap II, yang diumumkan Desember lalu. Jumlah DPT ditetapkan sebanyak 192.828.520, terdiri dari laki-laki dan perempuan, dari dalam dan luar negeri.

Mendagri Tjahjo Kumolo sempat bilang perbedaan angka disebabkan karena KPU tak pakai DP4. Atau dengan kata lain, KPU yang salah. Tapi pernyataan ini dibalas Komisioner KPU Viryan Azis yang bilang Kemendagri tak pakai data terbaru. DP4, kata dia, disusun pada semester II 2017 dan karenanya tak lagi relevan.

"Dengan selisih waktu satu tahun akan bertambah juga masyarakat yang sudah merekam dan punya e-KTP," kata Viryan.

Ego Sektoral

Mada Sukmajati, dosen Ilmu Politik dari Fisipol UGM, mengatakan kasus ini menunjukkan beberapa hal. Pertama, menunjukkan sistem pencatatan kependudukan kita masih lemah; dan kedua, bahwa KPU dan Kemendagri punya ego sektoral.

"Dari dulu masing-masing saling ego sektoral, merasa memiliki kewenangan padahal tidak semuanya bisa dikerjakan,” kata Mada kepada reporter Tirto.

Hal ini mesti segera diselesaikan, katanya. Jika tidak, kepercayaan publik terhadap pemilu akan menurun.

"Jadi daripada saling menyalahkan, ya, masing-masing cari terobosan. Saya kira harus rembuk bareng untuk memastikan WNA yang tak punya KTP nanti tidak punya hak politik," tambahnya.

Sayangnya, ego sektoral yang dikatakan Mada masih terlihat dalam kasus 103 WNA asing masuk DPT. Selasa (5/3/2019) kemarin, Komisioner KPU Viryan Azis meminta Dukcapil tak hanya menyerahkan 103 identitas WNA yang masuk DPT saja, tapi juga seluruh WNA. Hal ini, katanya, agar KPU bisa memastikannya sendiri secara menyeluruh.

"KPU tak ingin menyelesaikan masalah secara parsial dan setengah-setengah. KPU ingin mengecek secara mandiri dan utuh semua WNA yang punya e-KTP kaitannya dengan DPT secara lengkap,” katanya.

Menanggapi ini, Dirjen Dukcapil Zudan Arif Fakrulloh bilang alasan mereka tak memberi semuanya karena khawatir KPU salah input data lagi. Alasan lainnya data WNA itu adalah data yang tak bisa diberikan ke sembarang orang, alias rahasia.

"Untuk itu, KPU jangan terkesan mendesak Dukcapil memberi data kependudukan yang sebenarnya tidak diperlukan oleh KPU. Nanti bisa melanggar hukum," kata Zudan via keterangan tertulis, Rabu (5/3/2019).

Dia juga menyindir sikap KPU yang menurutnya lebih memilih bicara ke media massa, alih-alih bicara langsung ke mereka, ketika meminta data WNA.

"Mestinya disampaikan dulu dan langsung ke Kemendagri. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga agar suasana politik sejuk, adem, dan kondusif,” katanya.

Anggota Bawaslu Mochammad Afifuddin juga menyindir kisruh ini. Ketimbang saling tunjuk, dua instansi negara ini harusnya bersinergi untuk menyelamatkan hak pilih masyarakat, katanya. Dan memang, inilah yang jauh lebih penting.

"Ini soal sinergi. Yang harusnya lebih dipositifkan cara pikirnya untuk menyelamatkan hak pilih," katanya kepada reporter Tirto.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Politik
Reporter: Bayu Septianto & Andrian Pratama Taher
Penulis: Rio Apinino
Editor: Jay Akbar