tirto.id - Kebijakan penurunan tarif pesawat low cost carrier (LCC), pada jadwal penerbangan Selasa, Kamis dan Sabtu pukul 10.00-14.00, berujung pada laporan dugaan maladministrasi kepada Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Pelapornya adalah Indonesia National Air Carriers Association (INACA) yang dipunggawai oleh Ari Askhara, Direktur Utama Garuda Indonesia.
Ketua Penerbangan Berjadwal INACA Bayu Sutanto tak menampik adanya dugaan maladministrasi atas kebijakan tersebut. Sayangnya, ia enggan berkomentar soal latar belakang pelaporan serta sikap asosiasinya terhadap pemerintah hingga sekarang.
“Ya memang melapor, tapi soal itu silakan tanyakan kepada Ombudsman,” kata Bayu saat dikonfirmasi reporter Tirto. Ia langsung menutup telepon dan tak merespons pertanyaan-pertanyaannya lain yang dilontarkan.
Bagi pemerintah, tuduhan maladministrasi tentu mengejutkan. Apalagi, penyusunan kebijakan tersebut telah melalui proses yang cukup panjang: mulai dari hitung-hitungan cost sharing yang cukup rumit, hingga penetapan rute dan jadwal penerbangan yang bisa diturunkan tarifnya.
“Terserahlah. Yang penting itu adalah hasil kesepakatan, bukan tukang-tukangan kami di sini, itu dihadiri bersama dengan Menteri Perhubungan [selaku] regulator, bersama dengan BUMN, dengan pimpinan Garuda, pimpinan Lion Air,” ujar Menko Perekonomian Darmin Nasution menanggapi laporan itu, Rabu pekan lalu (17/7/2019).
Komisioner Ombudsman Alvin Lie menganggap pelaporan tersebut wajar belaka karena Menko Perekonomian sudah dianggap terlalu jauh melakukan intervensi. Lagi pula, menurut dia, selama ini maskapai tak pernah melanggar Tarif Batas Atas (TBA) dan Tarif Batas Bawah (TBB) yang sudah diatur oleh Kementerian Perhubungan.
“Tidak sepatutnya pemerintah masuk sedemikian jauh ke ranah korporat. Ini bukan ranah Menko (Perekonomian). Ini ranah Menhub. Menko offside. Itu bukan ranah pemerintah,” kata Alvin Lie.
Masalah Duopoli Tak Direspons dengan Kebijakan
Ekonom senior dari Institut for Development of Economics and Finance (Indef) Nawir Messi menyebut upaya yang diambil pemerintah memang salah kaprah sejak awal. Pasalnya, selain hanya bersifat kesepakatan dan imbauan, pemerintah tak merespons problem industri penerbangan domestik yang paling substansial.
Beberapa di antaranya adalah komponen harga penunjang maskapai seperti bahan bakar dan biaya operasional bandara, hingga struktur pasar yang hanya didominasi oleh dua maskapai, yakni Lion Air dan Garuda Indonesia.
Untuk persolan yang pertama, menurut Nawir, seharusnya diselesaikan terlebih dahulu dengan kebijakan insentif yang bersifat mengikat. Sementara saat ini, pemerintah hanya meminta Pertamina dan Angkasa Pura--selaku distributor Avtur dan operator bandara--sepakat soal konsep sharing the pain yang berlaku pada hari dan jam tertentu.
"Ada respons enggak terhadap gejolak harga Avtur, supporting sistem yang kondusif misalnya harga sewa bandara baik itu landing hingga parkir fee," ucapnya kepada reporter Tirto, Selasa (23/6/2019).
Sementara soal struktur pasar maskapai penerbangan yang mengarah ke perbuatan duopoli, kata dia, pemerintah seolah menutup mata dan tak mau melakukan kontrol. Padahal, menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), ada indikasi "permainan tak sehat" dalam struktur pasar maskapai penerbangan yang duopoli tersebut.
Hal ini, menurut Nawir, membuat maskapai bisa berlaku "seenaknya" terhadap kebijakan yang diambil pemerintah.
“Pemerintah bicara enggak soal seolah ada pembiaran terhadap struktur pasar yang membuat 7 maskapai mengelompok menjadi dua? Itu Pak Darmin tahu, soal duopoli, kemudian hilang begitu saja. Tidak merespons dalam kebijakan yang baru. Jadi menurut saya ini adalah kebijakan pemerintah yang missleading," kata Nawir.
Klaim Kemenko Perekonomian
Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwidjono menyebut bahwa dugaan maladministrasi tak perlu diperpanjang. Sebab, kata dia, maskapai telah sepakat dengan kebijakan sementara yang dikeluarkan pemerintah.
Lagi pula, kata dia, masukan soal perlunya aturan yang mengikat tak hanya berasal dari ekonom melainkan juga industri penerbangan. Hal tersebut diperlukan untuk menjamin keberlangsungan industri penerbangan saat tarif tiket diturunkan.
Salah satunya, soal insentif terhadap bahan bakar serta navigasi dan kebandaraan pesawat. Usulan itu ia terima dalam rapat evaluasi mengenai penurunan harga tiket pesawat di kantornya, pada Senin, 22 Juli 2019.
Menurut Susi, dua maskapai domestik komplain lantaran sistem diskon yang terbatas pada hari dan jam tertentu saja sulit diterapkan. Namun, menurut Susi, hal tersebut adalah solusi terbaik yang bisa diambil dalam jangka pendek.
"Kami lihat memang enggak mudah dipotong-potong sekian hari, jam, dan seat. Tadi [maskapai] bilang sudah lah buka saja untuk semuanya," ucap Susi, Senin sore.
Sementara itu, Bos Lion Air Rusdi Kirana mengatakan pihaknya berharap insentif fiskal yang direncanakan pemerintah bisa direalisasikan secepatnya. Dengan demikian, aturan soal penurunan harga tiket tak hanya terbatas pada rute, hari, serta jam tertentu.
Misalnya, soal pembangunan kawasan ekonomi khusus untuk perawatan dan perbaikan pesawat dengan harga yang terjangkau. Hal ini dibutuhkan untuk menekan biaya perawatan pesawat serta komponen lain yang harganya mahal.
“Untuk itu diusahakan bagaimana supaya ada insentif fiskal. Contoh misalnya akan dibangun bengkel banyak di Indonesia. Sehingga kami tidak perlu kirim suku cadangnya banyak ke luar negeri. Contohnya ban. Bagaimana membangun asembley ban di Indonesia. Dengan begitu enggak perlu kirim ke luar negeri. Itu akan mengurangi cost," ucapnya usai rapat bersama Menko Perekonomian, Senin kemarin.
Terkait dengan pelaporan INACA atas upaya penurunan harga tiket pesawat yang dilakukan pemerintah, ia mengaku tak ambil pusing. "Ya setuju saja. Enggak apa-apa, ini kan negara demokrasi,” kata Rusdi.
Meski Lion Air merupakan salah satu anggota INACA, kata Rusdi, tapi ia memastikan bukan perusahaannya yang melakukan pelaporan pemerintah ke Ombudsman. "Kami anggota INACA. Tapi kami tidak ikut [melaporkan]," kata dia.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz