tirto.id - Januari lalu Bloomberg menerbitkan laporan bertajuk "Inside Xinjiang: A 10-Day Tour of China’s Most Repressed State". Penulis Peter Martin memaparkan kebijakan pemerintah Cina dalam menciptakan pengawasan ketat di provinsi Xinjiang.
Di wilayah itu tinggal komunitas muslim Uyghur. Jumlah mereka cukup signifikan di Cina bagian barat dan secara etnis berbeda dengan Han selaku etnis mayoritas.
Targetnya sebenarnya orang-orang yang digolongkan sebagai teroris. Namun, atas nama stabilitas kawasan, pengawasan ketat menyasar seluruh warga.
Martin mencatat warga Uyghur punya alasan kuat untuk paranoid. Polisi dalam jumlah yang cukup signifikan hadir di mana-mana. Mereka ditugaskan untuk mengawasi setiap gerak-gerik warga, sehingga banyak warga khawatir tiba-tiba ditangkap meski tidak berbuat kesalahan.
Polisi menanyai warga di jalanan terkait mau kemana dan ada urusan apa di tempat yang dituju. Mereka membekali diri dengan detektor logam dan alat pemindai wajah. Pemeriksaan dokumen pribadi sudah menjadi agenda harian.
Kamera pengintai dipasang di tiap titik. Beberapa, catat Martin, bahkan ada dipasang di toilet umum. Di satu masjid komunitas muslim Uyghur ditemukan ada 40-an kamera pengintai.
Beberapa masjid jarang dikunjungi. Martin sendiri tidak pernah mendengar azan atau panggilan untuk salat di Xinjiang.
Media memberitakan bagaimana pemerintah pernah melarang “janggut abnormal”, nama kearab-araban untuk bayi baru, puasa Ramadan, sampai menghadiri pernikahan mewah.
Apa yang terjadi di Xinjiang bukan semata diskriminasi etnis semata atau kontrol atas komunitas agama, melainkan manifestasi dari ambisi ekonomi Presiden Xi Jinping.
Xinjiang adalah jantung proyek Jalur Sutra Modern, proyek trilyunan dolar Amerika berupa jalan, pelabuhan dan infrastruktur lain.
Pemerintah membangun banyak gedung baru di berbagai kota di Xinjiang untuk menarik perhatian korporasi-korporasi dari dalam dan luar negeri—sekaligus untuk menekan angka kemiskinan.
Xinjiang selama ini dikenal sebagai daerah yang rawan kejahatan sehingga investasinya lebih stagnan ketimbang wilayah lain.
“Kampanye Cina melawan komunitas Uyghur ditujukan sebagai bagian dari cara untuk meyakinkan investor, terutama yang bersikap ekstra waspada, bahwa Xinjiang adalah tempat yang aman untuk tinggal dan bekerja” imbuh Martin.
Negara lain bisa menjalankan kebijakan yang sama dengan alasan yang berbeda. Tapi South China Morning Post, Bussines Insider, BuzzfeedNews, Human Rights Watch dan media atau lembaga pegiat HAM lain menautkan kesimpulan yang sama: Cina telah berubah menjadi negara polisi atau police state.
Awalnya Netral Akhirnya Otoriter
Sejumlah sumber menyebutkan penyebutan frasa negara polisi bisa dilacak hingga tahun 1850-an untuk mengilustrasikan penggunaan pasukan polisi nasional untuk menjaga ketertiban di Austria.
Pada era 1930-an frasa ini mengacu pada pemerintahan totaliter yang mulai muncul di Eropa selama periode antar-Perang Dunia (1918-1938).
Contohnya antara lain di Jerman yang dikuasai Nazi dengan polisi rahasianya yang bernama Gestapo, dan Uni Soviet era Stalin yang menggunakan NKVD untuk menghabisi lawan-lawan politik.
Evolusi itu menggambarkan nasib negara polisi. Awalnya istilah merujuk pada entitas yang diatur oleh administrasi sipil. Lama-kelamaan ia mengalami penurunan makna, atau bersifat peyoratif, menjadi gambaran kehidupan yang ditandai oleh kehadiran otoritas yang merugikan warga sipil.
Corak negara polisi masih bertahan setelah Perang Dunia II selesai dan dipraktikkan di baik negara-negara Blok Timur yang stalinis dan di sejumlah negara Amerika Latin yang mengalami periode kediktatoran sayap kanan.
Sesuai definisi Miriam Webster, kerugian itu muncul karena negara polisi adalah "unit politik dengan kontrol pemerintahan represif terhadap kehidupan politik, ekonomi, dan sosial melalui kekuasaan sewenang-wenang aparat kepolisian khususnya polisi rahasia, menggantikan operasi lembaga-lembaga administratif dan yudisial pemerintah yang sesuai prosedur hukum yang diketahui publik."
Karakteristik utama dalam negara polisi adalah pembatasan mobilitas warga. Ciri selanjutnya yakni penerapan batasan-batasan dalam mengekspresikan atau mengungkapkan pendapat, terutama yang berbau politik, lebih rincinya lagi yang bersifat oposisi.
Jika tidak dibatasi, pemerintahan negara polisi minimal melakukan pengawasan. Mereka perlu untuk mengetahui jalur, durasi, hingga tujuan pergerakan warganya.
Permisalan lain, meski tidak ada pembatasan dalam mengungkapkan pendapat, pemerintah tetap melakukan monitoring ketat.
Praktik-praktik itu sedang dilakukan oleh pemerintah Cina melalui pembangunan sistem pengawasan massal (mass surveillance) berbasis teknologi tinggi sejak beberapa tahun terakhir. Tidak hanya meliputi Xinjiang, tapi juga seluruh provinsi.
Obsesi Cina Mengawasi Rakyatnya
Pangkalnya adalah reformasi ekonomi yang dimulai sejak akhir abad ke-20, perkembangan pesat komputer, ponsel pintar, dan teknologi berbasis internet lain. Di sisi lain pemerintah tidak ingin kehilangan kontrol, sehingga mereka membangun jaringan pengawasan massal dan kompleks.
New York Times melaporkan pada 2018 pemerintahan Jinping telah memasang hampir 200 juta kamera pengawas di negaranya. Jumlah ini setara dengan satu kamera untuk tiap tujuh orang.
Pada 2020 mereka ingin mengintegrasikan seluruh kamera dengan teknologi pengenal wajah untuk memudahkan proses profiling warga. Data dipakai salah satunya untuk menjalankan Sistem Kredit Sosial yang berfungsi menilai warga berdasarkan analisis perilaku sosialnya.
Negara polisi kerap mengacaukan batas-batas mana yang publik dan mana yang privat. Semuanya dilabrak atas nama keamanan. Kembali ke Cina, pemerintah mengawasi setiap percakapan yang terjalin melalui WeChat, fitur komunikasi paling populer di negara tersebut.
Tanpa fitur penerobos sensos VPN, pergerakan orang di dunia maya amat terbatas sebab pemerintah mengatur berbagai platform termasuk blog, forum, laman, dan media sosial. Berbagai produk kebudayaan populer seperti film, buku atau video juga akan dikekang jika dinilai sensitif.
Dari Savak ke Korps Pengawal Revolusi Islam
Negara polisi dalam versi yang lebih ganas biasa mempersekusi para “musuh negara” melalui para polisi rahasia. Reza Shah Pahlevi adalah raja Iran yang pernah menggunakan jasa mereka selama berkuasa antara tahun 1925 hingga 1941.
Selama era tersebut keberadaan polisi rahasia bertambah banyak. Mereka makin rajin menangkapi dan menyiksa warga yang dianggap tak patuh negara.
Kebijakan yang sama dilanjutkan oleh anaknya, Mohammad Reza Pahlevi, selama berkuasa antara tahun 1941 hingga 1979. Di tangannya, polisi rahasia dilembagakan dengan nama Sāzemān-e Ettelā'āt va Amniyat-e Keshvar (SAVAK) atau Organisasi Intelijen Nasional dan Keamanan Bangsa.
Pendirian SAVAK pada tahun 1957 dibantu oleh Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA). AS memang negara koalisi barat paling dekat dengan Iran sebelum akhirnya berbalik menjadi musuh setelah tumbangnya rezim Pahlevi.
Jumlah personel SAVAK tak pernah jelas. Sempat ada perkiraan 300 ribu. Ada yang bilang 20 ribu. Sejumlah sejarawan mengutip beberapa eks-pemimpin SAVAK yang menyebut total polisi rahasia lembaganya di antara kisaran 2000-4000 orang.
Washington Post pernah melaporkan organ penyelidikan dan pengamanan pemerintah memang bukan hanya SAVAK, tapi SAVAK lah yang paling keras. Mereka ditempatkan di setiap sudut jalanan dalam rangka pengawasan umum maupun khusus.
Pahlevi tumbang karena revolusi Iran. Menjelang revolusi SAVAK meraih reputasi sebagai institusi negara yang paling dibenci sekaligus paling ditakuti karena mempraktikkan penangkapan dan pemenjaraan sewenang-wenang, penyiksaan, dan ekskusi di luar hukum (extrajudicial killing).
Setelah revolusi 1979, warga awalnya mengira pemerintah Republik Islam Iran akan lebih lunak dalam melakukan tugas-tugas pengamanannya. Lama kelamaan jumlah polisi tetap meningkat dan kondisinya makin keruh dengan kehadiran Korps Pengawal Revolusi Islam.
“Perisai dan Pedangnya Partai” Jerman Timur
Jerman Timur adalah contoh lain dari negara polisi. Nama resminya Republik Demokratik Jerman, negara satelit Uni Soviet selama periode Perang Dingin. Bentuk pemerintahannya tentu saja stalinis dengan menerapkan sistem partai tunggal (Partai Persatuan Sosialis Jerman).
Staatssicherheitsdienst (Stasi) atau Kementerian Keamanan Negara adalah SAVAK-nya Jerman Timur.
Stasi dinilai oleh para sejarawan sebagai salah satu lembaga intelijen dengan kerja-kerja polisi rahasia paling efektif serta paling represif yang pernah ada. Pengawasan di Jerman Timur jauh lebih ketat dari negara Blok Timur mana pun, bahkan Uni Soviet sekalipun.
Mottonya saja sudah garang: “Perisai dan Pedangnya Partai”. John O. Koehler pernah menulis buku Stasi: The Untold Story of The East German Secret Police (2000). Di dalamnya ia memaparkan bagaimana Stasi bekerja.
Tugas utama polisi rahasia Stasi adalah memata-matai penduduk Jerman Timur melalui jaringan luas warga yang direkrut menjadi informan.
Serupa Cina hari ini, mereka membangun jaringan pengawasan massal yang luas. Stasi diberikan dana yang besar untuk menjalankan teknik pengawasan audio, video, hingga melalui surat menyurat.
Warga atau kelompok yang melakukan perlawanan kepada pemerintah dipukul balik secara terbuka maupun rahasia, termasuk menjadi korban perang psikologis tingkat tinggi. Para tersangka ditangkapi, dipenjara, disiksa, hingga ada yang menemui eksekusi mati.
Setelah Jerman Timur tumbang bersamaan dengan runtuhnya Tembok Berlin, pada 1990-an para pejabat Stasi diadili atas kejahatan yang pernah mereka lakoni. Dokumen-dokumen pengawasan disimpan dan bisa diakses oleh publik melalui lembaga bernama Stasi Records Agency (BStU).
Editor: Windu Jusuf