tirto.id - United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) menyebut jumlah pengungsi di seluruh dunia mencapai lebih dari 68 juta orang. Mereka meninggalkan negaranya karena beberapa hal, termasuk persekusi dan perang berkepanjangan. Salah satunya adalah Hamzah Mohammad (35), warga Palestina.
Hamzah adalah satu dari sekian warga Palestina yang meninggalkan tanah leluhurnya dengan harapan dapat kehidupan yang lebih baik di negara lain. Tujuan pertamanya adalah Kuwait, negara monarki kaya minyak.
Sayang, impian Hamzah sulit dicapai. Dia tak juga mendapat pekerjaan layak dan akhirnya memilih pergi lagi.
Kini tujuannya adalah Indonesia. Negara ini dipilih karena beberapa alasan, dari mulai biaya yang terjangkau, ada saudara meski sudah lama sekali tidak berkomunikasi, hingga tak perlu visa untuk masuk. Dia berencana melanjutkan S2 sembari membangun bisnis kecil-kecilan.
Namun, rencana ini juga tak berjalan mulus.
Ternyata di sini--yang warganya kerap berdemonstrasi menuntut kemerdekaan Palestina dari Israel--dia tak bisa tinggal lebih dari satu bulan. Ini dia ketahui saat pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta pada 18 Januari 2019.
"Saya harus pergi setiap 30 hari," ujarnya kepada reporter Tirto, Senin (29/4/2019) kemarin.
Untuk mengakalinya, Hamzah bolak balik Jakarta-Kuala Lumpur. Para Februari sampai April, dia sudah melakukan itu tiga kali.
Namun pada perjalanan terakhir, Hamzah dapat masalah lebih besar. Dia ditolak Malaysia, juga tak diizinkan masuk lagi ke Indonesia.
Awalnya Hamzah memesan tiket ke Kuala Lumpur pada 20 April dan ke Indonesia pada 4 Mei. Saat sampai di Malaysia, imigrasi menginterogasinya. Sejumlah pertanyaan dilontarkan: dari mulai apakah punya tiket pulang atau tidak; apakah telah memesan hotel; sampai berapa banyak uang yang dibawa.
Semua Hamzah jawab, tapi tak membuat imigrasi Malaysia mengeluarkan izin karena dia, sepenuturan Hamzah, adalah seorang pengungsi.
Hamzah lantas balik ke Indonesia sehari setelahnya. Tapi di sini, dia ditolak pula setelah menceritakan apa yang dia alami di Malaysia.
"Mereka bilang: 'kami akan menolak kamu juga karena kamu telah ditolak di Malaysia'," terangnya. Jawaban yang sama ia dapatkan meski telah menjelaskan tak ada masalah dalam dua perjalanan bolak-balik pertama.
Hamzah mengaku kalau dia juga diperlakukan kasar oleh petugas imigrasi. Dia diminta diam di kantor keamanan untuk maskapai penerbangan Air Asia. Dia menggambarkan situasi ini "seperti seorang tahanan yang dipenjara."
Berbagai cara ia coba agar bisa bebas. Dia menghubungi kepala kedutaan Palestina, tapi nomornya ternyata diblokir. Pertolongan baru didapat ketika berhasil mengontak UNHCR. Dia dibelikan tiket ke Yordania dan berangkat pada 25 April.
Masalah ternyata belum selesai. Otoritas Yordania pun menolaknya dan malah mengirimnya balik ke Indonesia.
Imigrasi Indonesia tak juga melunak saat Hamzah sampai tanggal 27 April. Dia bahkan diminta kembali saja ke Palestina, yang jelas-jelas tak mungkin dipenuhi.
"Saya tidak punya apa-apa lagi di sana," katanya.
Lewat pesan teks, dia bilang ingin sekali pergi dari Indonesia. Dia sudah tak punya lagi harapan di negara ini. Ini ia katakan saat meringkuk di salah satu ruangan di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta.
"Pindah ke negara lain yang memperlakukan saya sebagai manusia," katanya.
Hanya Negara Transit
Kantor Imigrasi Kelas 1 Khusus Bandara Soekarno enggan memberikan komentar terkait peristiwa ini. Ketika ditelepon, petugas mengatakan harus ada surat permohonan liputan secara formal.
"Kami tidak bisa sembarangan memberikan informasi terkait hal tersebut. Kami juga perlu melihat siapa yang membutuhkan informasi, ada hubungan apa dengan yang bersangkutan," kata petugas saat diklarifikasi reporter Tirto, Selasa (30/4/2019).
Kasubag Humas Ditjen Imigrasi, Sam Fernando, mengatakan kepada reporter Tirto kalau ini adalah kasus biasa.
"Ditolak masuk ke suatu negara, dikembalikan ke negara kita, dan kita akan memulangkan ke negaranya," katanya. Ia juga mengatakan kalau saat kembali dari Malaysia, Hamzah sedang berada "di bawah pengaruh alkohol."
Merujuk pada kasus-kasus lain, salah satu kendala para pengungsi adalah karena Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi Tahun 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi. Dalam posisi ini, Indonesia hanya berfungsi sebagai negara transit/bukan tujuan akhir. Sepanjang tak meratifikasi aturan ini, para pengungsi tak bisa menetap dan menjadi warga negara yang sah.
Mengutip Antara, Jaringan Masyarakat Sipil Indonesia untuk Perlindungan Hak Pengungsi SUAKA mengatakan dalam posisi ini Indonesia memang hanya bisa memberi toleransi bagi pengungsi untuk tinggal sementara hingga mereka memutuskan kembali ke negara asal secara sukarela atau pindah ke negara lain.
(Revisi 30 April pukul 14.51: sebelumnya kami meminta konfirmasi ke Theodorus Simarmata yang diberi atribusi Kepala Bagian Humas Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM dan yang bersangkutan tak menjawab. Namun menurut Sam Fernando Theodorus telah dipindahkan. Posisi barunya Kadiv Imigrasi Sulbar).
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino