Menuju konten utama

Kisah Pamela Colman Smith, Seniman Tarot yang Terlupakan

Pamela Colman Smith mendesain ulang kartu tarot, terlupakan, dan mati muda.

Kisah Pamela Colman Smith, Seniman Tarot yang Terlupakan
Pamela Colman Smith. hilobrow.com/commons.wikimedia.org/

tirto.id - Meskipun belum pernah membaca atau dibacakan tarot, sebagian besar dari kita pasti pernah mendengar dan memiliki gagasan mengenai apa itu tarot beserta fungsinya. Literatur mengenai kartu tarot juga dapat dengan mudah didapat di internet. Selain itu, permainan kartu tarot juga bisa kita temukan di berbagai acara atau festival.

Sebagaimana dicatat Dawn Robinson dalam Pamela Colman Smith, Tarot Artist: The Pious Pixie (2020), Eden Gray yang seorang seniman sekaligus pembaca tarot berusaha meyakinkan bahwa semua orang tidak memerlukan “bakat” tertentu untuk bisa membaca tarot. Tarot hari ini jauh lebih mudah diakses. Untuk membacanya pun, menurut Gray, tidak membutuhkan hal-hal mistik.

Orang Indonesia yang paling sering diasosiasikan dengan tarot adalah Mama Lauren. Semasa hidupnya, perempuan kelahiran Belanda itu kerap diundang dalam acara televisi untuk meramal berbagai hal, mulai dari politik, bencana alam, olahraga, hingga kehidupan dan karir para selebritas.

Selain melalui layar kaca, tarot juga tidak jarang muncul di bioskop, misalnya melalui film horor berjudul Tarot yang konon pernah menjadi film horor terlaris di Indonesia tahun 2015. Demikian pula di Amerika Serikat, tarot juga tidak absen dari berbagai film layar lebar, misalnya Live and Let Die, yang merupakan seri ke delapan film James Bond, atau film Disney berjudul Princess and The Frog.

Ilustrasi dalam kartu tarot sering berubah sesuai pandangan dan kebutuhan penggunanya. Misalnya, di Indonesia ada Tarot Wayang yang digubah oleh Ani Sekarningsih, seorang pewacana tarot yang mendapat gelar dan ijazah resmi sebagai pewacana tarot dari Asosiasi Tarot Amerika. Hingga saat ini, tarot masih menjadi permainan kartu favorit di beberapa negara seperti Perancis, Italia, Austria, Swiss, dan Jerman.

Dalam skala yang lebih modern lagi, saat ini ada banyak aplikasi yang berkaitan dengan tarot dan aplikasi khusus untuk membaca tarot yang bisa diunduh dengan gratis. Pembacaan tarot juga sekarang bisa dilakukan secara daring. Bahkan kita bisa dibacakan tarot hanya dengan menonton suatu video Youtube tanpa benar-benar berhubungan dengan si pembaca.

Pada masa pandemi Corona seperti sekarang ini, tarot kembali dibicarakan. Jasa pembaca tarot digunakan untuk meramal peruntungan ekonomi hingga meramalkan kapan pandemi akan berakhir.

Aliran tarot yang paling terkenal saat ini adalah aliran Waite. Set kartu tarot Rider-Waite-Smith ini telah beredar di lebih dari 20 negara di dunia dengan lebih dari seratus juta salinan. Hal itu menjadikan Rider-Waite-Smith sebagai set kartu tarot paling populer yang pernah dibuat.

Tidak seperti 78 kartu yang dibuat dengan susah payah selama enam bulan, nama seniman yang membuatnya justru kurang dikenal. Tak banyak yang mengenal Pamela Colman Smith, sang seniman tarot yang karyanya telah beredar di seluruh dunia.

Buku berjudul Pamela Colman Smith, Tarot Artist: The Pious Pixie karya Dawn Robinson (2020) menyebutkan Pamela Colman Smith lahir pada 16 Februari tahun 1878 di Pimlico, London. Ibunya, Corinne Colman, merupakan keturunan Jamaika. Sedangkan ayahnya, Charles Edward Smith, adalah keturunan kulit putih Amerika. Masa kecil Smith dihabiskan di Manchester, Inggris. Kemudian pada umur yang masih sangat belia, ia melakukan perjalanan laut yang panjang dan tinggal di St. Andrew, Jamaika.

Biografi Smith menyebutkan Smith dibesarkan dengan norma-norma kelas menengah dari pengasuhnya. Hal ini wajar belaka pada zaman itu karena para ibu kelas menengah Inggris tidak benar-benar terlibat dalam pengasuhan anak. Meski demikian, anak-anak yang lahir di era Victoria ini diharapkan dapat menyerap cara hidup orangtua mereka.

Smith, yang sering berpindah-pindah antara Inggris, Amerika, dan Jamaika, dijuluki “Pixie” oleh teman-temannya. Perawakan Smith memang memang terlihat mungil nan eksotis. Gaya penampilannya pun khas. Pada usia 15, ia mulai belajar melukis dan menggambar pada 1893 di Pratt Institute, New York, Amerika Serikat. Di sana, ia mendapatkan bimbingan dari seorang dosen Pratt Institute bernama Arthur Wesley Dow.

Sebagai seorang pelukis, pembuat seni grafis, fotografer, dan sebagai pendidik seni yang berpengaruh, Wesley Dow memperkenalkan Smith pada berbagai gaya dan ide penting yang berkembang pada saat itu, termasuk Art Nouveau dan simbolisme, yang begitu tegas ia tuangkan dalam karyanya. Perlu diketahui, Smith merupakan seorang pengidap sinestesia. Saat memainkan alat musik, ia akan “melihat musik” itu dalam gambar berwarna.

Seperti dikutip dari artikel yang ditulis oleh Patti Wigington, seorang penulis buku yang juga merupakan ahli paganisme di Ohio, berjudul Pamela Colman Smith: The Artist Behind The the Tarot, Smith keluar dari Pratt Institute tanpa gelar pada 1897, setelah satu tahun sebelumnya ibunya meninggal dunia. Smith kemudian kembali ke London untuk membantu ayahnya dan mulai bekerja sebagai seorang ilustrator. Selain itu, ia juga bergabung dengan kelompok Teathre Lyceum, sebuat teater keliling yang dipimpin oleh Ellen Terry, Henry Irving, dan Bram Stoker. Smith bekerja sebagai penata busana juga penata panggung. Pekerjaan tersebut bukanlah pekerjaan yang lazim dilakukan oleh perempuan pada awal abad 20-an.

Pada 1901, Smith membuka sebuah studio di London dan ruang berkumpul (salon) untuk para seniman, penulis, dan aktor. Ia tetap memproduksi lukisan, ilustrasi, kalender, poster, bahkan bercabang menjadi teater mini. Seperti artikel yang dikutip dari "Hyperallergic berjudul Reviving a Forgotten Artist of the Occult", beberapa proyek pertama yang berhasil digarap oleh Smith diantaranya ialah The Illustrated Verses of William Butler Yeats (1898), dan tulisannya sendiri, termasuk Annancy Stories dan Widdicombe Fair (keduanya terbit pada 1899).

Smith, tulis Dianca London Potts, dosen penulisan di Pratt Institute, "terkenal karena karya teater miniaturnya yang diilhami cerita rakyat Jamaika dan juga karena ilustrasinya yang turut membuatnya tenar di kalangan seniman New York dan luar negeri. Dia menjadi ilustrator yang dicari-cari dan sosok yang dapat dipercaya di dalam komunitasnya".

Pada November 1906, Smith yang saat itu berusia 28 tahun mencoba bernegosiasi dengan seorang fotografer bernama Alfred Stieglitz untuk memajang gambar beserta lukisannya di Little Galleries of the Photo-Secession, New York. Galeri itu biasanya digunakan untuk menyelenggarakan pameran fotografi. Namun, akhirnya Stieglitz menyetujui usulan Smith. Stieglitz percaya pameran Smityh akan memberikan sumbangsih penting untuk dunia fotografi.

Dalam acara yang dibuka pada musim dingin 1907 itu, semua karya Smith terjual. Alfred Stieglitz bahkan bahkan memotret karya-karya Smith untuk kemudian dijual. Setelah pameran berakhir pada 1909, Smith pun kembali ke London.

Kehidupan Smith dalam dunia mistik tercatat melalui keanggotaannya di Kuil Isis-Urania dalam Ordo Hermetik Golden Dawn (Latin: Ordo Hermeticus Aurorae Aureae) yang didirikan oleh penyair William Butler Yeats pada 1901. Ia mempelajari okultisme. Di Golden Dawn pula Smith berjumpa dengan Arthur Edward Waite yang saat itu ingin membuat kartu tarot yang lebih modern. Waite akhirnya meminta Smith untuk membuat ilustrasi pada 78 kartu tarot tersebut.

Elizabeth Folley O’Connor, dosen sastra Inggris di Washington College dan kontributor dalam buku Pamela Colman Smith: The Untold Story menyatakan, “Saya pikir tarot adalah bagian penting dari karir Smith, kehidupannya, dan tulisannya, tetapi saya pikir dia juga adalah sosok hebat untuk awal abad ke-20 karena dia sangat mendahului waktunya. Hidupnya adalah contoh luar biasa dari … kesetaraan gender, ras dan identitas….”

Waite ingin membuat kartu tarot yang tiap helainya memiliki ilustrasi, sesuatu yang baru pada masanya. Sebelumnya, kartu yang memiliki ilustrasi hanyalah kartu Major Arcana dan terkadang pada Court Cards. Smith memberikan ilustrasi dengan berbagai simbol yang sesuai dan memasukkan berbagai simbol tersebut ke dalam sebuah adegan kecil yang bisa dibaca sebagai kisah jika dilihat secara keseluruhan. Sebelumnya, kartu Minor Arcana tidak berisi apapun kecuali simbol dan nomor kartu.

Misalnya kartu ten of wands, maka di dalam kartunya hanya akan berisi sepuluh gambar tongkat. Sedangkan dalam Rider-Waite-Smith Deck, akan ada ilustrasi seorang laki-laki yang terlihat sedang mengendalikan sepuluh tongkat. Gambar tersebut secara umum merepresentasikan beban berat yang harus ditanggung oleh seseorang. Seperti ditulis oleh Patti Wingington, dalam ilustrasi aslinya, Smith memilih untuk menggunakan gouache, yakni sejenis cat air buram yang dicampur dengan pigmen alami dan bahan pengikat, dan sering ditemukan dalam ilustrasi iklan.

Infografik Pamela Colman Smith

Infografik Pamela Colman Smith Seniman Tarot yang Terlupakan. tirto.id/Quita

Set kartu tarot yang dibuat Smith, kemudian diterbitkan oleh Rider and Sons dan dijual dengan harga enam shilling. Set kartu tarot tersebut dikomersialkan dengan nama “Rider-Waite” dan menghilangkan nama Smith. Bahkan kontribusi artistik Smith tidak dicantumkan di dalam set kartu tarot tersebut. Meskipun saat ini, sudah banyak yang menyebut set kartu tarot tersebut sebagai “Rider-Waite-Smith Tarot”.

Waite mendapatkan keuntungan besar dari penjualan kartu tarot hasil ilustrasi Smith. Pada abad ke-21, Rider-Waite-Smith Tarot menduduki peringkat satu di dunia dari lima puluh set kartu menurut The Tarasophy Tarot Association. Dikutip dari Vice, beberapa ahli astrologi juga menyatakan bahwa mereka menggunakan Rider-Waite-Smith Deck untuk dibacakan kepada orang lain atau diri sendiri.

Kendati demikian, Rider-Waite-Smith Tarot bukannya bebas dari kritik. Dalam buku karya Dawn Robinson (2020) disebutkan bahwa ada yang menyebut ilustrasi Smith terlalu kuno, bahkan patriarkis.

Dua tahun setelah membuat ilustrasi kartu tarot yang ikonik (1911), Smith berpindah keyakinan ke agama Katolik dan menambahkan Mary ke dalam nama tengahnya. Pada tahun 1917 Smith menerima warisan dari pamannya, hal itu membuatnya menjadi lebih independen. Kemudian pada tahun berikutnya ia membuka rumah tinggal untuk para imam Katolik Roma di kota tepi laut Bude di Cornwall Utara.

Nama Smith terus meredup. Ia tidak mendapatkan keamanan finansial seperti yang diharapkannya. Ia juga tidak memperoleh pengakuan yang memang layak diterima olehnya. Setelah Perang Dunia II pada tahun 1946 dan dengan kesehatannya yang menurun, ia melakukan kunjungan terakhirnya ke Amerika Serikat. Smith meninggal di Bude, Cornwall, pada 1951 karena penyakit jantung. Setelah kematiannya, lukisan dan gambarnya dijual di pelelangan untuk melunasi semua hutangnya.

Rumah yang dibeli dari warisan pamannya jatuh ke tangan Nora Lake, sahabat Smith selama enam puluh tahun. Pamela Colman Smith tidak pernah menikah, tidak memiliki seorang anak, dan tidak pernah memiliki hubungan dengan laki-laki. Hingga saat ini, tidak ada sumber pasti yang dapat menyebutkan kecenderungan seksualnya. Ia sering menghabiskan waktunya di sebuah organisasi perempuan yang banyak anggotanya kelak dikenal sebagai queer.

Tidak ada pula yang pernah menemukan makam Smith. Mungkin saja ia dikebumikan di makam tak bertanda di pemakaman Bude. Mungkin juga ia dikremasi, meskipun hal itu agaknya mustahil dilakukan oleh seorang katolik zaman itu.

Baca juga artikel terkait SENIMAN atau tulisan lainnya dari Nuraini Dewi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Nuraini Dewi
Editor: Windu Jusuf