tirto.id - “Gue mau punya kontrol penuh atas apa yang akan terjadi di hidup gue,” Phioltia, 32 tahun, tegas mengucapkan kalimat itu via telepon pada 1 Agustus lalu. Pernyataan itu jadi alasan awal perempuan berzodiak Leo ini konsisten membaca halaman astrologi di tiap media cetak yang ia temukan.
Ketertarikan Phioltia pada astrologi telah berlangsung lebih dari 10 tahun sejak ia duduk di bangku SMA. Seiring waktu, ia merasa ramalan bintang di majalah tidak lagi memuaskan. Phioltia pun beralih menelusuri berbagai situs astrologi yang mampu memberi penjelasan komprehensif tentang dirinya. Yang ia temukan pun lebih beragam, misalnya analisis berdasar tanggal, waktu, dan lokasi kelahiran serta penjabaran sifat/tindakan terkait posisi waktu lahir.
Phiolthia mengaku berbagai penjabaran panjang yang ia baca ternyata bikin ia lebih mengenal dan menerima diri sendiri.
“Gue sering mengalami beberapa hal yang bikin mikir ‘kenapa ya sebagai Leo gue, kok, enggak ambisius?’, ‘Kenapa ya sebagai Leo yang biasanya keras tapi kok gue cenderung lebih perasa?’ Harusnya kan enggak gitu. Setelah baca-baca, gue tahu ternyata moon sign gue Pisces, jadi sekarang gue bisa lebih memaklumi dan menerima sifat-sifat yang terkesan melankolis,” lanjutnya.
Ponsel Phioltia kini menyimpan dua aplikasi zodiak yang setiap hari memberi penjelasan tentang kondisi suasana hati plus saran tentang tindakan yang baik untuk dilakukan. Di media sosial Twitter, Phioltia rutin meyimak @poetastrologers dan @milkstrology. Hal serupa terjadi pula di Instagram. Ia mengikuti beberapa akun astrologi yang kini tengah menjamur dan kerap mengunggah ulang kalimat “inspirasional” ke fitur Insta Story.
Di kehidupan sosial nyaris tak ada bedanya. Pertanyaan “Zodiak lo apa?” kerap jadi pertanyaan yang muncul pada perkenalan dengan orang baru.
Penulis filsafat asal Inggris, Julian Baggini, menyatakan kepada Smithsonian
bahwa manusia senantiasa punya keinginan agar hidupnya teratur atau terkontrol dan membutuhkan jawaban untuk segala sesuatu yang terjadi dalam hidup—terutama ketika terjadi hal buruk. Menurut Baggini, astrologi mampu membuat manusia merasa punya kendali atas hidup mereka. Tak heran, minat terhadap astrologi tak pernah surut.
Tayangan dokumenter lansiran Vox, Explained: Astrology (2018) yang diputar di Netflix menyebut catatan pertama tentang astronomi dan astrologi ditulis pada abad ke-2 Masehi oleh Claudius Ptolomeus dalam buku Tetrabiblos. Sejarawan Joan Richards yang diwawancarai Vox menyatakan bahwa Tetrabiblos adalah salah satu karya komprehensif dan akurat. “Ptolemeus tidak membedakan mana yang sains dan yang bukan. Bagi Ptolemeus, astrologi adalah common sense,” kata Richards.
Tetrabiblos akhirnya tersebar ke berbagai benua dan negara—kecuali Cina yang telah memiliki sistem astrologi sendiri. Para astrolog dan orang-orang yang berminat mendalami astrologi lantas menjadikan Tetrabiblos panduan tafsir nasib.
Praktik tafsir nasib terus berlangsung hingga era mesin cetak. Pada 1930-an, astrolog R.H. Naylor menulis prediksi hidup Ratu Margaret berdasarkan zodiak pada harian Sunday Express. Ramalan Naylor tepat sampai-sampai Sunday Express mengkhususkan satu rubrik untuk ramalan zodiak mingguan. Langkah koran ini pun akhirnya diikuti media-media lain.
Astrologi meraih popularitasnya dan semakin eksis kala media menyiarkan desas-desus bahwa para presiden AS kerap berkonsultasi kepada astrolog tiap kali menemui kesusahan.
Pada 1980-an, stasiun televisi di AS mulai membuka layanan konsultasi ramalan bintang secara interaktif.
Survey iVillage yang dikutip Smithsonian menyebutkan bahwa pada 2009-an, ramalan bintang jadi kolom favorit para perempuan yang hendak melakukan wawancara kerja, membeli kupon lotere, hingga memulai relasi romantis.
Telegraph mewawancara psikolog Phil Zuckerman untuk mengetahui mengapa para perempuan berpendidikan punya minat tinggi pada zodiak. Jawabannya Zuckerman: perempuan cenderung mencari kenyamanan psikologis sehingga horoskop berperan sebagai ‘penenang’ yang seolah mampu menunjukkan bahwa situasi akan baik-baik saja.
Masih dari Telegraph, Gad Saad, seorang profesor kajian pemasaran dan perilaku konsumen, juga menuturkan hal serupa. Para perempuan pembaca rubrik ramalan bintang mencari rasa aman di tengah kehidupan sehari-hari yang kerap berlangsung tanpa kontrol.
Kini kaum yang paling terobsesi dengan zodiak adalah kalangan milenial yang aktif menggunakan media sosial.
“Informasi tentang identitas, refleksi diri, dan pemikiran tentang berbagai aspek positif dalam diri menjadikan astrologi hal yang menarik,” kata Ross Clark, pendiri aplikasi ramalan bintang Sanctuary.
Dalam laporan panjang berjudul "The New Age of Astrology" yang terbit pada Januari 2018, Atlantic memaparkan penyebab lain mengapa milenial menggandrungi horoskop di media sosial. Mengutip studi psikolog Graham Tyson, Atlantic menyebut bahwa stres mendorong orang untuk menyimak astrologi. Selama beberapa tahun terakhir, kaum milenial, sebagai pengguna terbesar media sosial, adalah kalangan yang kerap mengalami stres—yang diklaim meningkat seiring waktu.
“Astrologi membuat mereka bisa membayangkan masa depan yang lebih baik,” tulis Atlantic.
Clark adalah salah satu pengusaha startup yang percaya potensi bisnis ramalan bintang yang dilaporkan New York Times mampu meraih keuntungan miliaran dolar.
Clark tidak seorang diri. David Birnbaum, seorang investor ventura, juga meyakininya. Kendati tak percaya ramalan bintang, ia menaruh dananya untuk bisnis rintisan aplikasi zodiak. Pemikirannya sederhana:
“Apa yang lebih menarik dari cerita tentang diri Anda sendiri?”
Editor: Windu Jusuf