tirto.id - Penggemar jalan-jalan zaman ini dapat dengan mudah kita lihat di pelbagai media sosial. Mereka mengabarkan kegiatan bisa lewat video, foto, atau tulisan. Dari sejumlah publikasi inilah kita dapat mengetahui tempat-tempat yang belum pernah kita jejaki. Adakalanya catatan perjalanan itu dipublikasikan di media massa lalu dicetak dalam bentuk buku, sehingga keberadaannya tidak tercecer hanya dalam lembaran-lembaran edisi tertentu.
Rangkaian catatan perjalanan yang diikat dalam bentuk buku lebih memudahkan pembaca untuk menikmatinya secara utuh. Ia juga bisa menjadi panduan bagi yang hendak melakukan perjalanan serupa.
Salah satu penulis catatan perjalanan yang pernah populer dalam sepenggal zaman sebelum teknologi informasi begitu maju seperti hari ini adalah H.O.K. Tanzil.
Jika lini kala media sosial begitu cepat menampilkan isu-isu terkini sehingga menenggelamkan unggahan apapun yang bersifat usang, maka buku menjadi salah satu wadah untuk mengawetkan peristiwa apapun yang terus digempur waktu. Dalam konteks inilah karya-karya H.O.K. Tanzil hadir.
Sebelum melakukan pelbagai perjalanan ke sejumlah negara bersama istrinya, Tan Thiam Hok atau Haris Otto Kamil Tanzil adalah seorang guru besar mikrobiologi di Universitas Indonesia. Ia lahir di Surabaya pada 16 Juli 1923. Sejak tinggal di kota kelahirannya, bersama saudara-saudaranya ia telah gemar melakukan perjalanan ke beberapa tempat di Jawa Timur.
Selepas menamatkan sekolah menengah atas, ia melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI). Setelah meraih gelar sarjana—meski belum berpredikat dokter, Tanzil terserang penyakit TBC, tepatnya pada 1953. Selama dua tahun ia melakoni perawatan di sanatorium.
Sebelum terkena TBC, Tanzil terus memupuk minatnya pada perjalanan. Di sela kesibukannya, ia kerap mengunjungi sejumlah tempat di Jakarta dan sekitarnya.
Dalam catatan Kompas (14/11/2013), TBC yang menyerangnya tak membuat Tanzil patah arang. Ia justru meneliti penyakitnya sendiri. Ia bahkan berhasil menemukan teknik pewarnaan bakteri TBC yang kemudian disebut pewarnaan Tan Thiam Hok, sesuai dengan nama aslinya. Penemuannya tersebut diakui dunia internasional dan dipakai di sejumlah negara.
“Ada kesempatan mematenkan hasil penelitiannya, tetapi ia tak melakukannya,” tulis Kompas.
Berkat penemuan itu, pembimbing Tanzil menganjurkannya untuk langsung melanjutkan studi ke jenjang doktoral. Entah bagaimana peraturannya secara akademik, tapi akhirnya Tanzil berhasil meraih gelar doktor sebelum gelar dokter ia terima. Pada 1959 gelar dokter baru bisa ia raih dan spesialisasi bidang mikrobiologi ia selesaikan setahun berikutnya.
Sesudah sembuh, ia bekerja di Bagian Mikrobiologi FK UI dan akhirnya menjadi guru besar pada bidang tersebut. Pada 1975, dengan alasan kesehatan ia mengundurkan diri dunia pendidikan, pengajaran, dan penelitian. Bersama istrinya, ia selanjutnya melakukan perjalanan ke berbagai pelosok di Indonesia dan mengunjungi sejumlah negara.
Petualangan Dimulai
Sifat filantropis saat ia memutuskan untuk tidak mematenkan penemuan teknik pewarnaan bakteri TBC terlihat juga ketika Tanzil menjalani dunia barunya sebagai petualang. Semua honor catatan perjalanannya yang dimuat di majalah Intisari ia sumbangkan untuk kegiatan sosial.
“Sejak semula, semua honorarium yang diperoleh dari majalah Intisari didermakan untuk panti-panti sosial yang pengurusannya dilakukan oleh bagian administrasi Majalah Intisari. Fungsi sosial inilah yang mendorong saya untuk menulis agar sumber bantuan dapat berjalan kontinu,” tulisnya dalam pengantar buku Catatan PerjalananPasifik, Australia, dan Amerika Latin (1984).
Buku tersebut adalah buku catatan perjalanan pertamanya yang diterbitkan Penerbit Alumni, Bandung. Dalam perjalanan yang ia lakukan dari 1975 sampai 1981, selain mengunjungi tempat-tempat seperti yang tersaji di buku pertama, ia juga melakukan perjalanan ke beberapa negara Asia, Afrika, Eropa, Alaska, dan di Indonesia.
Saat ditanya Kompas apakah ia merasa takut ketika memasuki daerah konflik atau daerah rawan kejahatan, Tanzil menjawab, “Semua orang baik.” Tanzil menambahkan bahwa jika memasuki daerah-daerah tersebut, ia dan istrinya pasrah dan tetap berusaha gembira melakukan perjalanan.
Buku catatan perjalanan H.O.K. Tanzil yang dipublikasikan Penerbit Alumni berjumlah belasan judul. Selama melakukan perjalanan, ia dan istrinya mengunjungi 238 negara dan melintasi 741 perbatasan, serta selama puluhan tahun menulis catatan perjalanannya di Intisari. Sebuah capaian yang menunjukkan ia “bernapas panjang”.
Kompas melaporkan bahwa Tanzil sangat detail mencatat setiap hal yang ia lakukan, seperti makan, membeli bensin, mandi, dan lain-lain, yang semuanya ia tulis dalam buku harian. Kebiasaan menulis dalam buku harian telah ia kerjakan sejak 1943 dan buku-buku harian tersebut ia simpan rapi di kamar tidurnya.
“Jika dihitung, sudah 70 tahun ia menulis buku harian. Mungkin buku harian Tanzil adalah catatan pribadi terlama di Indonesia,” tulis Kompas.
Seperti para pelaku perjalanan lainnya, Tanzil tak hanya mencatat hal-hal yang indah, kesulitan-kesulitan pun diwedarkan ke hadapan pembaca. Sebagai contoh, saat berada di perbatasan Amerika Serikat dan Meksiko, ia dan istrinya disergap cuaca panas yang mereka baru rasakan seumur hidup.
“Kini suhu 54 derajat celcius! Seumur hidup kami belum pernah mengalami panas setinggi itu. Mobil kami tidak memakai AC. Untuk mengatasi panas saya mengemudi hanya memakai celana dalam. Ekstra angin, walaupun panas […] Sehelai handuk dicelup ke dalam air es dan kami pakai untuk menggosok badan yang berkeringat dan kompres kepala. Handuk dingin ini dalam beberapa menit juga menjadi panas!” (hlm. 5).
Tanzil dan istrinya melakukan perjalanan menggunakan mobil pribadi. Ia mencatat perjalanannya secara “dingin” dan informatif. Hampir tak ada metafora, nyaris tak ada kalimat yang berbunga-bunga. Meski demikian, bukan berarti catatannya tak menarik. Asita Djojo Koesoemo dalam Menyambut Pagi di Bromo, Melepas Penat di Raja Ampat (2013) menyebut catatan Tanzil sebagai “Suatu perjalanan yang sangat personal, mewakili ketercengangan penulis akan suatu wilayah yang baru diinjaknya dan orang-orang yang baru dijumpainya.”
Perjalanan di Indonesia
Di Indonesia, Tanzil dan istrinya melakukan perjalanan ke Aceh, Toraja, Bali, Lombok, Madura, Cianjur, dan lain-lain. Buku perjalanannya di dalam negeri ini oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dijadikan buku bacaan bagi anak-anak sekolah.
Salah satu kebiasaan Tanzil adalah mengunjungi tempat-tempat yang tidak populer. Seperti pada 1979, saat ia diberi buku petunjuk pariwisata Kabupaten Cianjur, alih-alih mengunjungi Puncak, Cipanas, dan Kebun Raya Cibodas yang direkomendasikan buku tersebut, ia dan istrinya malah pergi ke Sindangbarang dan Ciujung.
“Tapi yang menarik perhatian saya, pada peta tampak ada jalan dari Cianjur ke Sindangbarang di pantai selatan. Menurut keterangan, jalan tersebut dapat dilalui dengan mobil,” tulisnya.
Dalam perjalanan “dadakan” tersebut ia menyusuri sejumlah tempat yang masih jarang diketahui para pembacanya. Dengan demikian, pengetahuan pembaca tidak terpaku kepada lokasi-lokasi wisata yang telah populer, tapi juga mulai mengenal tempat-tempat asing yang sejatinya dekat karena berada di Indonesia.
Dilihat dari segi lain, perjalanan Tanzil dan istrinya ke pelbagai tempat baru di dalam negeri mengenalkan pula bahwa keindahan lokal tak kalah menarik dengan keindahan di negara-negara lain.
“Di suatu bagian pemandangan sangat indah, bahkan ada yang menyerupai daerah pegunungan di Eropa dalam musim panas. Sebelah kiri lembah dengan latar belakang pegunungan hijau yang manis. Sebelah kanan terdapat bukit yang penuh pohon cemara. Kesunyian di sekitar tempat itu menimbulkan perasaan damai. Bila hendak melihat pemandangan pegunungan seperti di Eropa, di sinilah tempatnya!” tulis Tanzil saat melewati jalanan Cibeber, Kabupaten Cianjur.
Setelah mencecap perjalanan sejauh ratusan ribu kilometer ke pelbagai sudut dunia, dan mencatatkannya dalam puluhan buku harian, H.O.K. Tanzil akhirnya menempuh perjalanannya ke tempat keabadian. Ia meninggal pada 19 Oktober 2017, menyusul istrinya yang telah pergi terlebih dulu pada 1994.
Dalam buku catatan perjalanan ke Eropa, Tibet, dan Timur Tengah yang terbit pada 1984, Tanzil menekankan bahwa perjalanannya bersama istri semata-mata untuk kepuasan batin.
“Tujuan untuk memperoleh kepuasan batin inilah yang membangkitkan gairah hidup seseorang. Tentang apa yang memuaskannya, tentu berbeda bagi setiap insan. Tenaga, uang, dan waktu tentu akan dipertaruhkannya. Yang penting, kepuasan batinnya terpenuhi,” tulis Tanzil.
Editor: Ivan Aulia Ahsan