tirto.id - Kartini biasa menunggu cucunya pulang setiap malam di depan rumah. Dia sudah mempersiapkan nasi rames pula. Kebiasaan ini sudah dilakoni sejak lama.
Tapi cucunya, Akbar Alamsyah, lulusan SMK yang baru berusia 19 tahun, tak kunjung pulang malam itu, Rabu (25/9/2019), bahkan hingga pagi datang.
“Bilangnya mau main saja ke rumah temannya. Temannya menunggu di depan [gang],” kata Kartini kepada saya di rumahnya di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Jumat (11/10/2019).
Tanpa Kartini tahu Alam ternyata tidak main ke rumah kawannya. Malam itu dia mendatangi lokasi demonstrasi di sekitar Slipi-DPR RI. Saat itu demonstrasi—yang digelar sejak siang—berubah kericuhan. Orang-orang ditangkapi polisi karena dianggap perusuh.
Informasi tentang Alam baru mereka dapatkan dari seorang teman yang juga mendatangi lokasi demonstrasi. Kawan ini bilang Alam terpisah saat mereka dikejar-kejar aparat. Mereka sudah mencari Alam, tapi tidak ketemu.
Ibu Alam, Rosminah, dan sang kakak Fitri Rahmi (25), lantas bergegas ke Polda Metro Jaya pada Jumat (27/9/2019). Dia tahu banyak orang ditangkap dan digiring ke tempat ini dari berita. Mereka juga mencari ke Polres Jakarta Barat setelah pencarian di Polda Metro Jaya tak membuahkan hasil.
"Di sana ada nama Akbar, tapi enggak boleh ditemui," kata Fitri.
Fitri dan Rosminah tidak mau menyerah begitu saja. Mereka lantas meminta tolong ke Fajar, kawan Alam, untuk mengecek ke RS Pelni. RS Pelni adalah satu dari beberapa rumah sakit yang menampung korban kekerasan aparat.
“Pas sampai sana, ternyata Alam sudah dipindah ke RS Polri,” ujarnya.
Yang mereka temukan sungguh memilukan, setelah sebelumnya dihalang-halangi petugas medis tanpa alasan yang jelas. Alam tergeletak di salah satu ruangan di RS Polri dengan kondisi, seperti yang dituturkan Fitri, “kepalanya besar seperti pakai helm dan seperti ada tumor.” Sekitar wajahnya juga lebam, “bibir jontor sampai menutupi lubang hidung.”
Sementara Rosminah bersaksi: “mukanya udah enggak menyerupai anak saya.”
Alam lantas dipindah ke RSPAD. Di sana dia sempat dioperasi.
Berita soal akbar baru menyebar pada 5 Oktober 2019, saat yang bersangkutan kritis di RSPAD. Sejumlah pihak, termasuk LSM Kontras, menduga Alam dianiaya polisi. Tapi Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Asep Adi Saputra mengatakan Alam terluka karena “melompat pagar di depan DPR” dan yang terkena aspal dulu adalah kepalanya.
Dia juga menegaskan kalau luka-luka Alam “bukan akibat kekerasan.” Polisi menemukannya sudah dalam keadaan demikian.
Namun Fitri tidak percaya luka separah itu hanya karena terjatuh. “Enggak mungkin dia jatuh dari pagar, enggak mungkin.”
Fitri semakin yakin akan hal itu karena berdasarkan keterangan dua temannya, Alam terpencar saat dikejar-kejar aparat.
Kesialan keluarga Alam semakin bertambah tatkala Polres Jakarta Barat menetapkan Alam sebagai tersangka. Surat penetapan diterima keluarga pada 1 Oktober. Dalam surat itu Alam disebut melakukan perusakan.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono mengatakan penetapan ini sudah berdasarkan “keterangan saksi.” Bahwa Alam, katanya, “ikut melempar petugas, perusakan.”
Lagi-lagi Fitri tidak percaya. “Ngerusak apa? Orang dia cuma nonton doang.”
Alam Meninggal
Kebenaran soal apa yang terjadi pada malam jahanam itu pupus. Alam tak akan bisa bersaksi karena Kamis (10/10/2019) kemarin, dia mengembuskan napas terakhir di RSPAD.
Jenazah Alam dikebumikan sehari setelahnya di salah satu makan di Jalan Cipulir, Kebayoran Lama.
Tidak ada satu pun orang yang rela keluarganya meninggal dengan cara seperti ini. Pun dengan keluarga Alam. Fitri ingin betul tahu siapa sebenarnya orang yang menganiaya adiknya sebrutal itu.
“Kami cuma pengin tahu orangnya siapa, kami cuma pengin tahu dia ngapain adik saya, terus mereka itu kayak gimana.”
Sementara ibu Alam, Rosminah, tak lagi bisa banyak berkata. Rosminah, yang saat pemakaman mengenakan kemeja bermotif kotak-kotak hitam putih, terus-menerus menangis histeris meski dikuatkan kerabat.
Di antara tangisan itu, Rosminah sempat mengatakan apa yang dia yakini terjadi kepada anaknya:
“anak saya disiksa.”
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Rio Apinino