Menuju konten utama

Kisah Cinta Kolonel Toontje dan Fien: Kesetiaan Nyai kepada Tuannya

Seorang nyai Jawa bernama Fien dikawin secara resmi oleh tuan Belanda-nya karena pernah menyelamatkan nyawa sang majikan.

Kisah Cinta Kolonel Toontje dan Fien: Kesetiaan Nyai kepada Tuannya
Ilustrasi Kolonel Toontje menikahi Nyai Fien. tirto.id/Fiz

tirto.id - Theodorus Poland adalah anak seorang saudagar makanan Jan Poland dengan perempuan bernama Johanna van den Berg. Laki-laki ini lahir di Alkamaar, Belanda pada 20 Januari 1795. Sejak kecil, ia dipanggil Dorus. Setelah dewasa, ia lebih akrab dipanggil Toontje.

Awal kisah hidupnya ditulis dalam buku Toontje Poland: voorafgegaan door eenige indische typen, Volume 1 (1867) yang disusun Willem Adriaan van Rees.

Zaman Lodewijk Napoleon jadi raja Belanda dan Napoleon Bonaparte masih berjaya di Eropa, menurut buku itu, Dorus pernah dipekerjakan di Angkatan Laut Perancis, dari 1810-1814. Setelahnya dia masuk Angkatan Darat. Karier militernya dimulai dari bawah, dari pangkat serdadu rendahan.

Di usia 20, pada 1815, Dorus masuk satuan militer yang akan ditugaskan ke Hindia Belanda. Setahun kemudian, pada 1816, pangkatnya naik menjadi kopral. Tahun berikutnya lagi, pada 1817, naik jadi sersan. Pangkat sersan disandangnya 6 tahun, hingga 1823. Setelahnya, dia jadi sersan mayor hingga 1825. Begitu buku Nieuw Nederlandsch Biografisch Woordenboek (1911) meringkas riwayat Theodorus Poland (hlm. 1417).

Sepanjang Perang Jawa meletus (1825-1830), pangkat Dorus adalah letnan kelas dua infanteri. Di sini dia memimpin pasukan jalan kaki. Selain Perang Jawa, Dorus terlibat pula dalam ekspedisi militer ke Cirebon (1818), Sulawesi (1824), Sumatra Barat (1831-1834) dalam Perang Padri yang panjang, dan ke Bali (1849). Di masa perang inilah dia bertempur bersama Kolonel Frans David Cochius. Dari Cochius pula sebutan "Toontje" muncul untuk Dorus alias Theodorus Poland.

Setelah Perang Jawa selesai, seperti disebut van Rees dalam Toontje Poland: voorafgegaan door eenige indische typen, Volume 2 (1867: 87), Toontje berada di Wonosobo di bawah komando Andreas Victor Michiels. Usia Michiels beberapa tahun lebih muda dari Dorus, tapi lebih senior dalam urusan pangkat. Pada ekspedisi Cirebon, Michiels juga ikut serta. Dalam ekspedisi Bali (1849), Michiels turut serta pula, bahkan terbunuh di sana.

Diselamatkan sang Nyai

Sebagai laki-laki Belanda yang jauh dari tanah airnya, sulit bagi Toontje untuk menemukan perempuan Eropa sebagai istri. Tapi seorang perempuan Jawa bersamanya. Tak diungkap nama asli si perempuan Jawa dalam buku van Rees, hanya disebut "Njahi" (nyai) saja. Harian Javabode (31/3/1855), seperti dikutip Reggie Bay dalam Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda (2008: 115), menyebut perempuan itu bernama Fien. Dua situs pelacakan silsilah keluarga Belanda, genealogionline.nl dan martherus.com, menyebut perempuan itu bernama Fifina alias Tien.

Waktu Toontje masih berpangkat letnan dan berada di Pasaman, Sumatra Barat, perempuan pribumi ini sudah hidup bersama dirinya. Tugas seorang nyai biasanya menangani urusan rumah tangga. Mulai dari memasak makanan, mencuci pakaian, dan menemani si tuan Belanda tidur. Begitulah Fien. Bahkan dia harus selalu siap di daerah operasi militer.

Fien bertaruh nyawa. Sebagai perempuan yang ikut Belanda, dia bisa saja jadi santapan pemberontak pribumi. Selain bertaruh nyawa, lelah dengan pekerjaan sehari-hari urus makan dan baju tuan, Fien tentu punya kerja tambahan di malam hari untuk Toontje.

Pada 1833, setelah sempat bertugas di beberapa tempat termasuk Madura, Toontje yang umurnya sudah 38 bertugas di Sumatra Barat. Nyai Fien diperkirakan masih berusia 26. Belum bisa dibilang tua, tapi bukan usia segar untuk seorang nyai. Sulit bagi Fien jika Toontje melepaskannya sebagai nyai. Mencari tuan Belanda baru belum tentu mudah untuknya.

Suatu kali di Fort Amerongen, militer Belanda terlibat pertempuran sengit. Mereka kewalahan. Ketika terlihat Letnan Toontje terluka parah, sang nyai tidak memilih lari. Lewat bantuan kuli, sang nyai membopong Toontje dengan tandu. Toontje dalam kondisi terselimuti di perjalanan 3 pal itu, dengan diangkat sang nyai dan kuli. Tentu saja itu bukan perjalanan mudah.

Menurut Javabode yang dikutip Reggie Bay, "[Mereka] terus dikejar-kejar musuh, mereka membawanya menembus garis musuh, sampai ke tempat yang aman. Padahal saat itu Fien dalam kondisi hamil tua." Usaha Fien itu bukan tidak mungkin membahayakan calon bayi dalam kandungannya.

“Nyai yang setia terlihat di sebelah tuannya,” tulis Rees dalam buku soal Toontje di volume 3 (1867: 190). Ketika ditanyai apa yang diinginkannya, Fien menjawab, “Beri aku pedang. Dan tetap di sini.” Pedang pun diberikan. Nyai Fien tak mau pergi jauh dari tuannya, Toontje Poland.

Atas aksi Nyai Fien itu tak heran bahwa Reggie Baay dalam bukunya menulis, “Kebanyakan nyai tangsi pada umumnya merupakan perempuan kuat dan tidak jarang berhati lembut.” Dunia tangsi KNIL adalah dunia yang kasar, tak jarang penuh kecabulan. Kehidupan seksual di dalam tangsi bisa dibilang liar. Oper gundik dan gonta-ganti pasangan adalah hal yang biasa.

Sebagai tuan dari Nyai Fien, Toontje bisa saja berlaku semaunya. Termasuk mengusirnya jauh-jauh jika Toontje bosan padanya. Tapi, setelah kejadian di tahun 1833 itu, Toontje tak melupakan Fien. Dari rahim Nyai Fien, anak-anak Toonje kemudian lahir. Tahun 1839 lahir Fifina Francina Poland dan pada 1846 lahir Theodora Wilhelmina Poland.

Infografik Theodorus Poland Alias Toontje

Dikawin Secara Resmi

Karier militer Toontje sebetulnya berakhir dengan pangkat letnan kolonel. Dia menyandang pangkat itu sejak 1845 hingga pensiun pada 1853. Tapi dia diberi pangkat tituler kolonel saat pensiun. Di masa pensiun, ketika usianya sudah lewat separuh abad, Toontje hidup bersama nyai yang pernah menyelamatkan nyawanya. Toontje yang makin tua insyaf dan memandang betapa berharganya Fien.

Tak heran jika kemudian muncul berita di Javabode (31/3/1855): “Telah menikah Theodorus Poland Purnawirawan Kolonel titular dengan Ibu dari anak-anak, perempuan Jawa bernama Fien.” Perkawinan itu terjadi di Bagelen (Purworejo).

Menikah bukan hal main-main bagi laki-laki Belanda, apalagi dengan perempuan pribumi. Mengingat derajat perempuan pribumi dianggap lebih rendah daripada indo dan Eropa. Jika ibunya sudah dinikahi, biasanya anak dari lelaki Belanda bisa beroleh status hukum setara orang Eropa. Seringkali pengajuan status hukum itu tanpa menikahi sang ibu. Tapi tak semua laki-laki Belanda melakukannya.

Menikahi Fien adalah bukti bahwa Toontje menyayanginya. “Perkawinan ini dilakukan sebagai ucapan terima kasih dan hadiah akan keberanian Fien dalam menyelamatkan dirinya [Toontje] pada 1833,” tulis Javabode.

Tapi, perkawinan resmi itu berumur singkat. Pada 19 Desember 1857, Toontje meninggal di Cilacap. Di kota selatan Jawa Tengah itu pula Toontje dimakamkan.

Baca juga artikel terkait SEJARAH KNIL atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan