tirto.id - Kiai Yahya Staquf menghadiri American Jewish Committee (AJC) pada 10-13 Juni 2018 di Jerusalem. Kunjungan beliau menuai banyak kritik, termasuk dari Otoritas Palestina yang mengeluarkan kecaman resmi. Bagi mereka kunjungan itu kontra-produktif terhadap usaha kemerdekaan Palestina.
Di Indonesia, ketimbang menjadi diskusi yang produktif, kasus ini malah dijadikan alat politik untuk menyerang Kiai Staquf dan pemerintah. Padahal, kunjungan Kiai Staquf memperlihatkan masalah serius soal betapa bermasalahnya dialog publik di Indonesia mengenai konflik Palestina yang selalu dibicarakan secara parsial dan cenderung jadi retorika politik belaka. Situasi ini membuat dukungan Indonesia terhadap Palestina menjadi carut-marut dan tidak terarah.
Dan kunjungan Kiai Staquf ke AJC adalah potret dari permasalahan itu.
Diplomasi Budaya Israel
Karena pendudukan di Jalur Gaza dan Tepi Barat oleh Israel yang diiringi oleh tindakan represif, penggusuran paksa, diskriminasi rasial, dan penembakan terhadap rakyat sipil, citra Israel di mata dunia internasional benar-benar anjlok selama dua puluh tahun terakhir.
Dalam tiga konflik di Jalur Gaza saja (2008-09, 2012, 2014) tentara Israel membunuh 2.000 rakyat sipil. Jumlah itu belum termasuk seratus lebih korban tewas dalam konflik pada tahun ini. Di forum internasional seperti PBB, dukungan terhadap Israel menciut, sementara simpati untuk Palestina meningkat.
Para aktivis internasional pro-Palestina mengadopsi gerakan anti-Apartheid di Afrika Selatan dan membentuk pergerakan BDS (Divestment and Sanctions Movement) yang mempromosikan berbagai bentuk boikot terhadap Israel. Tujuan utama BDS adalah mengembalikan hak pengungsi Palestina untuk pulang, menghentikan pendudukan Israel di Jalur Gaza dan Tepi Barat, dan kesetaraan hak antara warga Arab dan Yahudi.
Kampanye BDS cukup berhasil. Beberapa artis dan tokoh publik yang mendukung gerakan ini membatalkan kunjungan mereka ke Israel. Terakhir, musisi Lorde dari New Zealand menyatakan membatalkan konsernya di Israel. Mallika Taneja, seorang seniman teater asal India, juga menolak untuk berpartisipasi dalam Festival Israel. Taneja mengatakan: "Israel menggunakan budaya sebagai alat untuk mengalihkan perhatian dari kekerasan di Palestina."
Pernyataan Taneja mewakili kekhawatiran banyak aktivis HAM dan akademisi yang mengendus usaha Israel menggunakan budaya sebagai alat “normalisasi” kebijakan politik di Palestina. Narasi yang dibangun Israel adalah bias anti-semit, bahwa Israel adalah korban terorisme, Israel adalah satu satunya negara demokrasi di Timur Tengah, sementara Palestina adalah boneka Iran di Timur Tengah dan memanipulasi dukungan umat beragama.
Tentu saja gerakan sayap kanan yang berkarakter anti-semit semakin mengkhawatirkan di Eropa dan Amerika Serikat, dan terorisme adalah ancaman serius. Namun, Israel memanipulasi isu-isu tersebut demi tujuan politiknya. Diplomasi budaya Israel sendiri dilakukan melalui kerjasama ekonomi, festival budaya dan kesenian, dan juga dialog lintas-agama.
AJC berada di dalam pusaran ini dan mendukung diplomasi kebudayaan Israel. Direktur AJC David Harris mengamini bahwa Israel adalah korban dan menganggap dunia internasional sudah tidak adil terhadap Israel. AJC menjadikan dialog antar-agama sebagai medium untuk mempromosikan gagasan-gagasan mereka. Sepanjang pengetahuan penulis, AJC adalah organisasi pertama yang mengadakan acara berskala internasional di Yerusalem setelah Amerika Serikat memindahkan kedutaan besarnya ke kota suci tiga agama tersebut.
Masalahnya lain adalah kehadiran PM Israel Benjamin Netanyahu yang memberikan kata sambutan dalam acara itu. Netanyahu bahkan menyambut delegasi dari Indonesia di dalam pidatonya. Hal ini saja sudah menimbulkan kontroversi serius karena Netanyahu bertanggung jawab atas kebijakan represif di Jalur Gaza dan Tepi Barat, dan terkenal sangat ambisius dalam politik regional di Timur Tengah terutama di Suriah. Latar belakang yang bermasalah ini bahkan membuat aktris pro-Israel Natalie Portman menolak untuk datang di Genesis Prize setelah mengetahui bahwa Netanyahu bakal menghadiri acara tersebut.
Palestina, Komoditas Politik di Indonesia
Terlepas dari semua kontroversi tersebut, Kiai Staquf menyanggupi undangan JAC. Tentu saja beliau punya agenda dan tujuan yang mulia. Permasalahannya, apakah AJC adalah medium yang tepat? Apakah berjabat tangan dengan Netanyahu adalah pilihan politik yang ideal?
Dukungan Indonesia ke Palestina sudah dilakukan sejak era Orde Baru dan mengalami peningkatan yang drastis pada awal tahun 2000-an seiring makin 'Islaminya' Indonesia. Ada dua warna dominan dukungan terhadap Palestina. Pertama adalah dukungan yang digerakkan oleh komunitas Islam, termasuk PKS, NU, Muhammadiyah dan organisasi Islam lainnya. Di dalam komunitas Islam sendiri terjadi perbedaan pendekatan mengenai Palestina. PKS, partai politik yang dipengaruhi oleh gerakan Ikhwanul Muslim, adalah yang paling konsisten membawa isu ini ke ranah politik agama. Ada banyak organisasi Islam lain juga sepaham dengan PKS. Di sisi lain, NU dan Muhammadiyah cenderung memilih pendekatan sekuler dan kemanusiaan untuk memahami Palestina.
Kelompok kedua adalah negara, yang menggunakan isu Palestina baik sebagai komoditas politik domestik dan membangun citra internasional. Tentu saja ada kelompok lain seperti Mer-C, aktivis kiri, dan HAM, tetapi jaringan domestik mereka belum sekuat kedua kelompok yang saya singgung.
Namun sampai hari ini, tidak ada organisasi negara maupun sipil yang mengawal kampanye Palestina secara serius. Tak satu pun pihak mencoba menerjemahkan secara komprehensif dan konstan isu Palestina ke masyarakat Indonesia. Walhasil, isu Palestina dibicarakan secara parsial dan reaktif.
Pada sisi lain banyak politisi dan organisasi memanfaatkan Palestina untuk merekrut dukungan politik umat Islam. Situasi ini membuat publik Indonesia makin jauh dari isu-isu riil di Palestina. Kita mengetahui ada konflik dan peristiwa di sana, tapi tak memahami konstelasi politik baik di Palestina maupun Israel.
Kasus kunjungan Kiai Staquf adalah contoh yang nyata. Beliau tidak memahami konteks politik di Yerusalem dan mengabaikan perasaan masyarakat Palestina yang baru saja kehilangan 140 warganya.
Dalam dua jawaban yang diberikan Kiai Staquf di Republika dan DW, ia menawarkan dialog lintas agama. Tentu saja dialog seperti itu penting. Tapi memahami posisi politik rekan dialog beserta agendanya (dalam hal ini AJC) juga tak kalah penting.
Tentu saja Kiai Staquf menentang kebijakan represif Israel. Tetapi foto beliau berjabat tangan dengan NetanyahU, sudah menyumbang citra positif buat Netanyahu dan tanpa sengaja melukai perasaan orang-orang yang ingin dibela Kiai Staquf sendiri: warga Palestina.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.