Menuju konten utama
Periksa Data

Ketika Semakin Sedikit Pekerja yang Terjamin Akibat Pandemi

Pandemi terus menerjang tetapi semakin sedikit pekerja yang dijamin oleh negara. Apakah ada titik terang terkait permasalahan ini?

Ketika Semakin Sedikit Pekerja yang Terjamin Akibat Pandemi
Header Periksa Data "Ketika Semakin Sedikit Pekerja Yang Terjamin Akibat Pandemi". tirto.id/Quita

tirto.id - Arientha Ahkmad, seorang jurnalis yang tinggal di Kota Tangerang, Banten, menerima kado pahit di akhir 2020. Ia harus menghadapi Pemutusan Hubungan Pekerjaan (PHK) setelah bekerja selama lima tahun di tempat kerja sebelumnya. Alasannya, perusahaan tersebut mengalami kerugian finansial yang memburuk saat pandemi COVID-19 menerjang.

Kepahitan yang dialami ibu dari dua anak ini tidak berhenti di situ. Saat hendak mencairkan Jaminan Hari Tua (JHT), kendati klaim JHT tersebut dapat diproses, tempat kerjanya ternyata tidak mendaftarkannya kepada Jaminan Pensiun (JP) yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan (BPJS TK) maupun asuransi swasta. Selain itu, PHK yang dialaminya berpotensi menonaktifkan kepesertaan BPJS TK nya.

Padahal, menurut Arientha, ketersediaan jaminan sosial bagi pekerja dan asuransi sejenis sangatlah penting, apalagi untuk pekerja yang sudah beranak. "[Jaminan sosial] ngasih reassurance kan kalau kita lagi kerja dan terjadi apa-apa, keluarga yang ditinggalkan tetap dapat support secara materi," jelas Arientha.

Arientha adalah contoh bagaimana jutaan pekerja lainnya di Indonesia harus bergulat dengan dampak dari pandemi, termasuk potensi untuk kehilangan jaminan sosial mereka. Data Kementerian Ketenagakerjaan per 31 Agustus 2020 menunjukkan bahwa ada sekitar 1,15 juta pekerja formal yang dirumahkan dan hampir 387 ribu pekerja yang di-PHK. Sementara itu, ada 633,421 pekerja sektor informal yang terdampak pandemi COVID-19.

Peserta Makin Sedikit?

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah pada Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR, Senin (18/1/2021) mengungkap penurunan kepesertaan BPJS TK dikarenakan "ada banyak sekali perusahaan-perusahaan yang terdampak pademi COVID-19." Penurunan yang serupa juga terlihat untuk kepesertaan program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Pensiun (JP) dan JHT yang dikelola oleh BPJS TK.

Sebagai contoh, sebanyak 51,7 juta pekerja telah terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan hingga akhir Desember 2020, berkurang jika dibandingkan dengan 2019 yang sebesar 55,2 juta. Angka di tahun 2020 ini juga baru mencakup sekitar 37 persen dari total angkatan kerja sebanyak 138,22 juta orang yang terdaftar di survei Ketenagakerjaan Nasional (Sakernas) per Agustus 2020.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar kepada Tirto, Rabu (20/1/2020) mengatakan, krisis ekonomi karena pandemi menyebabkan jumlah PHK menjadi besar, sehingga pekerja pun kehilangan kepesertaan di BPJS TK dan jaminan sosial tenaga kerja, kecuali JHT dan JP. Perusahaan yang menunggak pembayaran BPJS TK lebih dari tiga bulan juga menyebabkan kepesertaan pekerja menjadi non-aktif.

Sebaliknya, ia menjelaskan bahwa penurunan kepesertaan JHT terjadi karena adanya penarikan lebih awal saat di-PHK yang diperbolehkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan no.19/2015, ungkap Timboel. Ia juga menyebut pencairan pekerja usia pensiun yang di-PHK dan meninggalnya peserta sebagai beberapa alasan penurunan kepesertaan JP.

Menurut Timboel, upaya relaksasi iuran BPJS TK sepanjang Agustus 2020-Januari 2021 belum membantu perusahaan yang terdampak pandemi. Hal ini dikarenakan relaksasi tersebut mensyaratkan pengusaha untuk melunaskan tunggakan mereka per 31 Juli 2020, meskipun jumlah perusahaan yang terdampak COVID-19 meningkat.

"Harusnya persyaratan tersebut lebih dipermudah sehingga perusahaan yg nunggak bisa ikut program relaksasi. Dampaknya pekerja tetap terdaftar di BPJS TK," ucap Timboel.

Ia juga mendorong pemerintah untuk melakukan sosialiasi agar pekerja yang di-PHK dapat mengikuti BPJS TK sebagai Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU). Selain itu, pemerintah dapat menjadikan pekerja informal dan yang kurang mampu sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI) untuk meningkatkan kepesertaan BPJS TK.

Namun, BPJS TK tetap optimis kendati kepesertaan mengalami penurunan. "Hasil ini merupakan pencapaian yang positif untuk mengakhiri tahun 2020, meski dengan kondisi pandemi COVID-19 yang juga tidak kalah menantang bagi peningkatan kepesertaan," tulis lembaga tersebut dalam siaran persnya, Senin (18/1/2020).

Klaim Jamsostek Membludak

Di sisi lain, lonjakan pemutusan hubungan kerja (PHK) mendorong peningkatan klaim asuransi bagi pekerja, termasuk BPJS TK atau disebut juga BP Jamsostek. Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto mengatakan dalam siaran pers yang sama, lonjakan klaim imbas dari PHK tidak bisa dihindari, khususnya untuk JHT.

Secara rinci, badan asuransi pekerja milik negara ini telah mengucurkan pembayaran klaim Rp36,5 triliun pada 2020 atau peningkatan 20,01 persen dari 2019.

Lonjakan jumlah klaim paling tinggi terjadi pada Jaminan Hari Tua (JHT) yaitu 15,22 persen atau sebanyak 2,2 juta klaim. Pengajuan klaim JHT dalam nominal juga melonjak 24,25 persen dibandingkan 2019 sehingga total klaim JHT sepanjang 2020 mencapai Rp33,1 triliun untuk 2,5 juta kasus.

Nilai klaim jaminan sosial lainnya untuk tenaga kerja juga meningkat, kecuali JKK. Klaim JKK pada tahun 2020 sebanyak 221,7 ribu kasus dengan nominal sebesar Rp 1,55 triliun, sedikit lebih kecil jika dibandingkan 182,8 ribu kasus dengan nominal sebesar Rp 1,56 triliun pada tahun 2019.

Jaminan Baru?

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah pada Rapat Kerja juga mengungkap bahwa Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (RPP JKP) sedang dalam tahap finalisasi. Dalam RPP ini, peserta JKP ialah orang yang sudah mengikuti empat program lainnya di bawah BPJS TK, yakni JHT, JKK, JKM dan JP.

Peserta dapat mengklaim JKP jika peserta di-PHK akibat penggabungan, perampingan, efisiensi karena perubahan status kepemilikan perusahaan, kerugian, tutup dan pailit, atau kesalahan pengusaha terhadap pekerja. Kriteria tersebut mengecualikan pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), pensiun, meninggal, dan cacat total.

Jika dihubungkan dengan pesangon, nilai pesangon buruh maksimal menurut UU Cipta Kerja adalah 25 bulan upah, yakni 19 bulan yang dibayarkan pengusaha dan 6 bulan melalui JKP. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia pada 3 November 2020 mengkritik ketentuan tersebut karena mengurangi nilai pesangon tersebut yang awalnya 32 bulan upah.

Catatan penting, nilai jaminan hari tua dan jaminan pensiun buruh Indonesia masih kecil dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN. KSPI membandingkan nilai iuran jaminan hari tua dan pensiun buruh Malaysia yang mencapai 23 persen, tiga kali lebih besar dibandingkan yang nilai JHT yang hanya 8,7 persen, meskipun jumlah pesangon di Malaysia hanya di antara 5-6 bulan upah.

"Akibat nilai jaminan sosial yang lebih kecil itulah, wajar jika kemudian negara melindungi buruh melalui skema pesangon yang lebih baik," sebut Said Iqbal dalam keterangan tertulisnya.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Made Anthony Iswara

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Made Anthony Iswara
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara