Menuju konten utama

Ketika Kamera Menjadi Bintang Utama Smartphone

Foto adalah raja. Maka, pelbagai perusahaan pembuat ponsel menjadikan kamera sebagai fitur nomor satu.

Ketika Kamera Menjadi Bintang Utama Smartphone
Seorang turis memotret lampu dekarasi natal pada malam hari menggunakan kamera ponsel. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Dalam acara peluncuran iPhone 13 yang digelar Apple pada September lalu, dan dalam peluncuran Pixel 6 yang dilaksanakan Google minggu kemarin, kamera--salah satu modul yang tersemat dalam smartphone--jadi bintang utama. Ketika memperkenalkan iPhone 13, dalam waktu 40 menit ngalor-ngidul membicarakan seri termutakhir ponsel garapannya, Apple mengalokasikan waktu sekitar 18 menit khusus mengulas kamera.

Sementara Google, sepanjang 54 menit acara "Goole Presents: Pixel Fall Launch" berlangsung, 17 menit di antaranya didedikasikan khusus untuk kamera, jauh lebih lama dibandingkan waktu yang disediakan untuk Tensor, System-on-Chip (SoC) buatan Google, yang hanya memperoleh waktu 4 menit.

Memanfaatkan sensor peka-cahaya IMX seri 7 (iPhone 13) buatan Sony dan Isocell GN1 (Pixel 6) bikinan Samsung, Apple dan Google menggaungkan kemampuan ponsel masing-masing dalam menangkap gambar, baik foto maupun video. Namun, karena sensor yang tersemat dalam ponsel berukuran kecil, 1/1,9 inci untuk iPhone 13 dan 1/1,31 inci untuk Pixel 6, maka sangat jauh apabila dibandingkan dengan sensor bertitel APS-C (25,1 x 16,7 milimeter atau sekitar 16,5 inci) atau pun Full Frame (36 x 24 milimeter atau sekitar 34 inci) yang tersemat dalam kamera profesional. Apple dan Google tak menjual kemampuan kamera dalam iPhone 13 dan Pixel 6 hanya dari sensor yang terpasang, tetapi cara mereka mengakali keterbatasan ini untuk menghasilkan foto berkualitas.

Cara itu, menurut studi garapan Brian Hayes berjudul “Computational Photography” yang terbit pada American Scientist Volume 96 (2008), meskipun kamera yang tersemat dalam iPhone 13 dan Pixel 6 sesungguhnya masih menjunjung tinggi prinsip obscura, ada kerja komputer (prosesor) beserta algoritma yang dilakukan untuk menghasilkan gambar.

Tatkala ponsel mengambil gambar, berlainan dengan cara kerja Leica Q 2, misalnya, ponsel tak lantas menjadikan bidikan tersebut menjadi gambar utuh--sebuah foto atau video, tetapi hanya sebatas data. Sebuah data yang lalu dipikirkan oleh prosesor (SoC) ponsel, dengan bantuan data-data lain yang diambil melalui ragam modul--seperti LiDAR milik iPhone--yang tersemat dalam ponsel berbarengan ketika tombol rana ditekan, untuk diubah menjadi gambar utuh.

Kamera ponsel, tegas Hayes, sesungguhnya “tidak mengambil foto, melainkan menciptakan foto.”

Dalam iPhone, yang berperan paling penting dalam proses menciptakan gambar adalah Smart HDR, sementara Google mendelegasikannya pada "makhluk matematis" bernama Pixel Visual Core.

Tentu tak hanya Apple dan Google yang menjadikan kamera beserta SoC dan algoritmanya sebagai bintang utama dari ponsel yang mereka buat. Sony, si raja fotografi digital zaman mirrorless pun melakukannya melalui Xperia. Dalam peluncuran Xperia PRO-I yang berlangsung 22 menit, semuanya dihabiskan untuk membicarakan keunggulan kamera. Sementara Huawei memilih bekerjasama dengan Leica pada seri P ponsel mereka. Langkah yang juga diambil oleh Vivo dengan menggandeng Carl Zeiss dan OnePlus dengan Hasselblad--merek kamera yang berhasil membantu umat manusia menemukan Bumi untuk pertama kalinya melalui earthrise.

Didaulatnya kamera sebagai bintang dalam pelbagai ponsel karena foto adalah raja, yang dibuktikan dengan meroketnya foto yang dihasilkan umat manusia saat ini.

Infografik Kamera ponsel masa kini

Infografik Kamera ponsel masa kini

Pada tahun 2000, saat fotografi film tengah berjaya, Kodak memperkirakan 80 miliar foto dihasilkan oleh manusia di seluruh dunia. Perlahan, usai Apple merevolusi ponsel melalui iPhone pada 2007, terjadi pertumbuhan eksponensial atas foto yang dipotret manusia, menyentuh angka 1,4 triliun pada 2020. Dan dari angka ini, sekitar 85 persen dihasilkan melalui ponsel, melebihi kamera konvensional ala DSLR ataupun mirrorless yang hanya menyumbang 10,3 persen. Bahkan, di kalangan fotografer, iPhone manjadi "senjata utama" menghasilkan foto, menyumbang 54 persen foto yang dipotret fotografer alih-alih menggunakan kamera buatan Canon, misalnya, yang hanya 23 persen.

Pertumbuhan eksponensial foto terjadi karena media sosial. Dalam dokumen yang dikirim Facebook sebagai syarat melakukan penawaran saham perdana (IPO) pada 2012 lalu, platform buatan Mark Zuckerberg ini mengaku menerima 250 juta foto yang diunggah tiap hari ke server mereka, lalu meningkat menjadi 350 juta foto per hari setahun kemudian.

Dengan memperhitungkan beragam media sosial, diperkirakan masyarakat dunia mengunggah satu foto setiap dua menit. Fenomena ini terjadi--merujuk Carol Moser dalam "Parents’ and Children’s Preferences about Parents Sharing about Children on Social Media" (dipaparkan dalam Conference on Human Factors in Computing Systems 2017), misalnya--karena masyarakat zaman kiwari tak ingin terlewat mengabadikan peristiwa apapun dalam hidupnya, termasuk hal-hal yang bersifat ptivat.

Lainnya, dalam studi yang dilakukan Kristin Diehl berjudul "How Taking Photos Increases Enjoyment of Experiences" (Journal of Personality and Social Psychology 2016), foto yang diambil untuk diunggah ke media sosial dianggap memberikan kenikmatan bagi masyarakat. Ia memberi rasa lebih sedap pada hidangan yang disantap ketika yang tersedia di piring juga diunggah ke Instagram.

Namun, melejitnya foto yang dihasilkan masyarakat dunia tak hanya berpaku pada kenikmatan media sosial. Dalam laporan Sara Morrison untuk Recode (kompartemen teknologi Vox), kamera yang tersemat dalam ponsel kini dimanfaatkan juga untuk melindungi masyarakat dari kesewenang-wenangan aparat. Merujuk paparan Vilem Flusser dalam Towards a Philosophy of Photography (1983), kamera juga sebagai alat utama masyarakat untuk melaporkan pelbagai peristiwa yang terjadi di sekitarnya sebagai "upaya pencatatan sejarah yang hakiki."

Baca juga artikel terkait SMARTPHONE atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh