tirto.id - Pada pertengahan dekade 1800an, dunia baru saja mengenal fotografi komersial. Namun, menciptakan selembar foto kala itu lebih serupa menambang Bitcoin hari ini. Rumit dan mahal. Ini dialami oleh George Eastman. Pada 1878, kala hendak pergi berpetualangan ke Santo Domingo di Republik Dominika, Eastman membawa peralatan fotografi, yang selain mahal, juga memiliki ukuran besar melebihi microwave. Jelas saja, Eastman tidak menikmati petualangan yang dilakukannya.
Pada 1888, berbekal pengalaman tidak enak itu, Eastman mendirikan Kodak, perusahaan fotografi yang memiliki slogan “press the button, we do the rest". Kodak kemudian tumbuh pesat, seiring tumbuh pesatnya dunia fotografi. Ia menjadi penguasa pasar. Sayangnya, Kodak secara perlahan mulai tersingkir oleh hadirnya dunia digital.
Hari ini, 130 berlalu sejak Kodak didirikan, perusahaan itu sudah tidak banyak berarti lagi dalam dunia fotografi kini. Namun, slogan “press the button, we do the rest” nampaknya masih bisa bertahan. Jelas bukan untuk Kodak lagi, melainkan digunakan untuk mendeskripsikan keunggulan kamera dalam tubuh smartphone saat ini.
Hari ini, masyarakat dunia menciptakan foto melebihi masa-masa manapun dalam rentang sejarah modern manusia. Publikasi yang dilakukan Business Insider menyebut ada 1,2 triliun foto yang diambil manusia di seluruh dunia pada 2017. Angka ini meningkat dari hanya 660 miliar foto yang diambil manusia pada 2013. Yang unik, 85 persen dari jumlah tersebut terjadi karena smartphone, bukan kamera digital konvensional. Kamera digital hanya menyumbang 10,3 persen dari total foto yang diciptakan dunia.
“Tidak ada keraguan bahwa smartphone menjadi cukup baik dimanfaatkan di banyak waktu, terima kasih pada ponsel, lebih banyak foto yang diambil daripada sebelumnya,” ucap Liz Cutting, anggota NPD, firma riset digital, pada Wired.
Annie Leibovitz, salah seorang tokoh di dunia fotografi, mengatakan bahwa populernya smartphone jadi alat untuk menciptakan foto ialah karena ia gampang ditemui dan mudah digunakan. Leibovitz, mengatakan bahwa iPhone dan smartphone secara umum merupakan “kamera bidik zaman ini.”
“Fotografi mobile (smartphone) hebat karena ini mengikis batasan untuk menggunakannya,” kata Doc Pop. “Tanpa investasi yang besar, setiap orang dapat memasuki dunia fotografi hari ini,” tambah Leibovitz, yang senang menggunakan iPhone untuk mengambil foto ini.
James Abbott, kolumnis teknologi pada Techradar, menyebut dalam salah satu artikelnya bahwa teknologi kamera di smartphone telah meloncat menuju kesempurnaan di tahun-tahun terakhir ini. Menurut Abbot, “jika prestasi ini bisa dipertahankan katakanlah 10 tahun ke depan, kamera smartphone diprediksi akan memiliki kemampuan setara dengan kamera profesional high-end hari ini.
Masa Depan Smartphone adalah Kamera
Pada 2007, mengutip laman XDA-Developers, Samsung merilis kamera flip yang mengusung konsep dual kamera. Peluncuran itu mengukir sejarah karena merupakan ponsel pertama yang menggunakannya. Di ranah smartphone, konsep dual kamera diperkenalkan oleh HTC EVO 3D dan LG Optimus 3D. Secara umum, konsep dual kamera yang disusung di dekade akhir 2000an itu lebih menyasar penciptaan konten 3D. Sayangnya, motif penciptaan konten 3D tersebut gagal.
Di ajang Mobile World Congress 2016, LG G5 dan Huawei P9, menciptakan sejarah baru. Mereka mengusung konsep dual kamera tapi bukan untuk menciptakan konten 3D, melainkan untuk meningkatkan kualitas foto. Umumnya, konsep dual kamera hari ini menyertakan kamera biasa dan monokrom, yang berguna menciptakan foto dengan detail tinggi. Tidak disangka, ini jadi tren saat ini.
Publik, memang menginginkan kualitas foto semakin bagus. Alih-alih menciptakan konten multimedia yang tidak perlu semisal foto 3D.
Huawei, dalam riset yang dilakukan bersama Lighspeed Research di 10 negara Eropa, menyatakan bahwa 77 persen publik menginginkan foto yang berkualitas tanpa kerepotan berarti. Lalu, 81 persen responden menginginkan kamera smartphone yang menghasilkan kualitas baik di saat cahaya kurang.
Keinginan menghasilkan foto berkualitas, semisal dengan konsep dual kamera, bisa dibaca pada data yang dirilis Statista. Pada tahun 2016 lalu, hanya 3 persen total smartphone yang dirilis mengusung konsep dual kamera. Pada 2018 ini, angkanya diprediksi akan mencapai 21 persen. Lalu, di tahun 2020 diperkirakan menjadi 53 persen.
Kamera smartphone berkualitas tak hanya sekadar konsep dual kamera. Google, melalui lini Pixel terbaru mereka, bahkan menambahkan chip khusus, dengan 8 inti pemrosesan, untuk memproses foto. Itu ialah Google Visual Core, yang di dalamnya tertanam teknologi HDR+ dan RISR (Rapid and Accurate Image Super-Resolution). HDR+ akan memproses foto menghasilkan rentang cahaya yang banyak, sementara RISPR digunakan untuk memperbaiki digial zoom, yang jadi celah paling busuk dunia kamera ponsel.
“Visual Core memberi kita kemampuan untuk memproses foto lima kali lebih cepat dibandingkan apapun,” kata Ofer Shacham, manager teknis Visual Core pada Wired.
Selain itu semua, teknologi kamera di smartphone di tahun ini dan tahun-tahun mendatang nampaknya akan semakin berkilau. Mengutip pemberitaan The New York Times, beberapa alasannya ialah perkembangan teknologi bernama facial recogniton dan augmented reallity. Facial recognition dipelopori oleh Apple yang mengusung iPhone X yang tertanam fitur membuka kunci via wajah. Ini tentu saja mememerlukan kekuatan kamera depan yang mumpuni. Lalu, untuk urusan augmented reallity, bisa dilihat misalnya melalui perlombaan perusahaan raksasa besar dalam dunia ini. Microsoft yang melncurkan HoloLens, Facebook dengan Camera Effect Platform, dan Google yang menghadirkan ARCore.
“2018 akan jadi tahun di mana kamera smartphone melakukan lompatan kuantum di bidang teknologi,” sebut Philip-James Jacobowitz, Product Manager Qualcomm.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti