Menuju konten utama

Dari Nexus ke Tensor: Jatuh Bangun Eksperimen 'Google Phone'

Melalui Pixel, Google membenamkan segudang teknologi mutakhir di bidang hardware, mulai dari Visual Core, Titan M, hingga Tensor.

Dari Nexus ke Tensor: Jatuh Bangun Eksperimen 'Google Phone'
Google Tensor. FOTO/Google

tirto.id - Delapan tahun sebelum Steve Jobs berdiri di panggung Macworld 2007 untuk mendefinisikan ulang apa itu ponsel melalui iPhone, tanpa disangka dan tak disengaja Google menanam benih imperium ponsel. Kala itu, PageRank kian digemari masyarakat dan Adwords semakin menggurita di bisnis periklanan digital. Jumlah karyawan Google pun menggelembung, sampai-sampai ia harus pindah kantor dari kawasan Palo Alto menuju Mountain View di California, Amerika Serikat. Tepat di tempat yang ditinggalkan Google itu, berdirilah Danger, sebuah startup yang dinahkodai Andy Rubin.

Sebagaimana dikisahkan Steven Levy dalam bukunya berjudul In the Plex: How Google Thinks, Works, and Shapes Our Lives (2011), Rubin merupakan mantan teknisi Apple yang bercita-cita merevolusi dunia ponsel. Kala itu, ponsel adalah sebuah dunia yang dilupakan Apple (dan Steve Jobs) keberadaannya. Maka, ketika Rubin akhirnya memutuskan keluar dari Apple dan mendirikan Danger, cita-cita tersebut diterjemahkan dengan penciptaan Sidekick pada 2012. Sidekick adalah ponsel pintar ber-keyboard nan berkemampuan terbatas untuk memudahkan orang-orang berkomunikasi melalui instant messaging (IM) seperti Yahoo! Messenger. Ketika diperkenalkan ke publik dalam sebuah presentasi di Stanford University, Sidekick dipuji sebagai ponsel "keren" oleh Larry Page, satu dari dua pendiri Google.

Nahas, meski "keren" dan cukup digemari masyarakat khususnya kalangan muda, Sidekick gagal di pasaran. Kegagalan ini menggiring Rubin meninggalkan Danger guna membangun Android.

Berbeda dengan Danger, Android tak dimaksudkan Rubin sebagai ponsel dalam artian fisik alih-alih sistem operasi semata. Lebih spesifik, Danger didesain sebagai sistem operasi open-source yang dapat dimanfaatkan siapapun. Ide ini terlecut karena Rubin mengatahui perusahaan-perusahaan pembuat ponsel dan provider telekomunikasi membayar biaya lisensi yang teramat mahal untuk menggunakan sistem operasi mobile ala Microsoft atau Symbian bagi produk-produk mereka. Sayangnya, untuk merealisasikan sistem operasi open source ini dari nol, Rubin butuh biaya besar hingga mengharuskannya mendatangi setiap perusahaan teknologi guna dimintai sumbangan dana.

Nahas bagi Rubin, meskipun ide Android sebetulnya sangat bermanfaat bagi dunia telekomunikasi, upayanya meminta sumbangan ditertawakan perusahaan-perusahaan yang ia datangi. Bahkan, Samsung, perusahaan teknologi asal Korea Selatan yang kala itu mulai bersinar, menyebut ide Rubin "kegedean" dan menolak memberikan dana bantuan.

Untungnya, Google bersikap lain. Ketika Rubin mendatangi Google pada akhir 2004 untuk meminta dana bantuan penciptaan Android, Larry Page malah menyodorkannya cek untuk membeli Android secara keseluruhan. Sodoran dana inilah yang membuat Android menjadi milik Google sejak 2005, alias dua tahun sebelum iPhone meluncur.

Namun, Eric Schmidt, mantan teknisi Bell Labs di era 1970-an serta mantan chief executive officer (CEO) Novell yang akhirnya ditunjuk Larry Page dan Sergey Brin untuk memimpin Google, dengan tegas menolak mentah-mentah bahwa Google hendak menciptakan ponsel, GPhone (Google Phone) melalui pembelian Android.

"Tidak. Kami tidak akan masuk ke bisnis ponsel. Pembelian Android hanya dilakukan untuk memastikan Google ada di tiap-tiap ponsel yang dimiliki masyarakat," cetus Schmidt.

Sikap tegas dari Schmidt tentu saja tidak bisa ditelan mentah-mentah. Sebab, pada tahun ketika Google membeli Android, Apple tengah mengembangkan iPhone. Dan Schmidt, beserta beberapa koleganya di Google, adalah anggota dewan komisaris Apple. Bahkan, Steve Jobs telah menganggap Larry Page dan Sergey Brin sebagai anak didik. Maka, melalui bantahan Schmidt, Google sekadar berupaya menjaga citranya agar tidak dianggap sebagai penghianat oleh Apple. Terlebih lagi, bantahan tersebut muncul karena membuat ponsel (utuh, alias hardware dan software) bukanlah keterampilan Google.

Berkutat sebagai perusahaan pembuat aplikasi berbasis web seperti Gmail, Google Drive, dan Google Search, Google butuh waktu untuk membuat ponsel.

Dari Nexus Terbitlah Pixel

"Pada tahun ketika mana Android muncul ke publik," tulis Steven Levy dalam bukunya berjudul In the Plex: How Google Thinks, Works, and Shapes Our Lives (2011), "Google menganggap sistem operasi buatannya itu sebagai etalase semata." Pasalnya, meskipun berstatus open source sehingga memungkinkan modifikasi oleh pihak pengguna, Android merupakan tempat di mana Google memasang segala produknya. Dan segala produk Google yang dipasang di Android diberikan secara cuma-cuma karena, menurut Rubin, "kami tidak pernah menjual apapun yang kami buat. Kami hanya menjual pengguna produk-produk kami kepada pengiklan."

Singkat kata, pada awal-awal kemunculannya, Android dimanfaatkan sebagai motor penggerak pertumbuhan jumlah pengguna pelbagai layanan berbasis web milik Google semata.

Steve Jobs, sebagaimana dimuat dalam biografi berjudul Steve Jobs (2011), menyebut penciptaan produk utuh (hardware dan software) merupakan satu-satunya cara untuk memastikan kualitas produk. Prinsip inilah yang kemudian dianut Google. Terlebih, ponser pintar merupakan bisnis senilai $330 juta kala itu (kini lebih dari $500 juta) yang sangat menggiurkan, Google nampaknya terlena untuk terjun dalam bisnis ponsel (utuh).

Maka, usai merilis contoh ponsel Android bernama T-Mobile G1 Phone alias HTC Dream pada 23 September 2008, Rubin menginisiasi penciptaan "Google Phone" sesungguhnya. Kala itu, pada pertengahan 2009, Rubin memulai proyek bernama Nexus. Sayangnya, karena saat itu Google memang belum bisa sepenuhnya membuat ponsel, Nexus hanya berlabuh sebagai proyek setengah matang. Nexus memang dirancang Google, namun proses penciptaannya dialih-dayakan ke pelbagai perusahaan, dari HTC hingga Samsung.

Proses alih-daya ini membuat Samsung harus membagi konsentrasi antara Galaxy atau Nexus. Begitu pula produsen lainnya. Walhasil, Nexus ditinggalkan rekanan-rekanan Google . Dari Nexus One yang dirilis pada 2010 hingga Nexus 6P pada 2015, semua gagal di pasaran.

Namun, meskipun Nexus gagal, Google tak menyerah menciptakan ponsel utuhnya sendiri. Dari abu Naexus, Google akhirnya merilis Pixel dan Pixel XL pada 2016 hingga, melalui publikasi terbaru Google, Pixel 6 pada 2021 ini.

Berbeda dengan Nexus, Pixel merupakan produk ponsel utuh dari Google. Ponsel ini dilengkapi teknologi canggih nan mumpuni buatan Google. Google Visual Core, misalnya, yang tak lain adalah chip khusus dengan 8 inti pemrosesan guna mengolah foto yang diambil oleh Pixel. Dalam chip ini, Google membenamkan HDR+ dan RISR (Rapid and Accurate Image Super-Resolution). HDR+ akan memproses foto untuk menghasilkan rentang cahaya yang banyak, sementara RISPR digunakan untuk memperbaiki zoom digital, yang menjadi celah paling busuk dunia kamera ponsel. Selain itu, Pixel pun memiliki chip khusus lain, Titan M, yang bekerja sebagai two-factor authentication (2FA) guna mengamankan Pixel dari serangan siber.

Lebih baru, dalam seri ke-6 Pixel, Google menggunakan prosesor buatannya sendiri, Tensor.

Melalui teknologi-teknologi ala Google yang termuat dalam Pixel ini, Google mencoba merenggut singgasana kekuasaan Android secara mutlak, yang saat ini harus terbagi antara dirinya sendiri dengan Samsung, Xiaomi, hingga OPPO. Upaya ini memunculkan tanda tanya besar: mengapa akhirnya Google dapat menciptakan ponsel utuhnya sendiri, bahkan membuat prosesornya?

Jawabannya, meskipun berkutat dalam produk-produk berbasis web, hardware tak pernah dilupakan Google sejak kelahirannya.

Gara-Gara Tidak Ingin Google Search Hancur, Google Membuat Hardware Sendiri

"Ketika Sergey (Brin) dan Larry (Page) mendirikan Google pada 1998, mereka menjalankan perusahaan ini dengan prinsip yang sederhana," tutur Eric Schmidt, chief executive officer (CEO) pertama sekaligus "adult advisor" Google, dalam bukunya berjudul How Google Works (2015). Prinsip itu kira-kira berbunyi: Google hanya ingin membuat penggunanya senang lewat produk yang benar-benar hebat.

"Ketika Google memberikan produk hebat, uang akan datang dengan sendirinya," tulis Schmidt, yang kini bertindak serupa Bill Gates di Microsoft, yakni Penasehat Teknis untuk Alphabet, induk usaha Google.

Di satu sisi, cara kerja sederhana ala Google ini memang menyenangkan. Di sisi lain, tulis Schmidt, "tidak ada perencanaan jangka panjang dalam tubuh Google. Jika ada insiden, misalnya, para insinyur dipaksa cepat-cepat memikirkannya". Salah satu insiden yang dikhawatirkan Schmidt adalah soal server. Schmidt khawatir mesin yang menghidupkan Google tiba-tiba mati, sementara mereka terlalu sibuk memikirkan produk.

Benar saja, di awal-awal kehadiran Google, perusahaan ini memiliki rasio kegagalan server antara 4 hingga 10 persen saban bulan. Besarnya rasio ini membuat Schmidt ketakutan. Pun, selain rasio kegagalan server yang cukup besar, Google memiliki masalah lain: server yang kurang besar dan kurang mumpuni.

Infografik Google Tensor

Infografik Google Tensor. tirto.id/Fuad

Maka, berangkat dari dua masalah yang menggelayuti di masa-masa belianya, Google menciptakan servernya sendiri. Berbeda dari hari ini, kala itu Google belum besar dan hanya memiliki dana terbatas. Kedua, dari pengalamannya meminjam dan menitipkan server dari perusahaan colocation bernama Exodus, tidak ada server yang sanggup melayani Google yang saban hari kian berkembang.

Untuk mengatasi masalah ini Google kemudian "membajak" Jim Reese, salah satu karyawan kunci Exodus, guna mengepalai proses penciptaan server dan pusat datanya sendiri yang terbebas dari perusahaan pihak ketiga mana pun. Dari tangan Reese, serta dibantu salah satu teknisi pertama Google bernama Douglas Merrill, Google membangun server dan pusat datanya dari modul-modul murahan, serta meminta bantuan Jeff Dean, Doktor Ilmu Komputer lulusan University of Washington, untuk membuat modul-modul murahan tersebut tak hancur ketika digunakan melalui "The Google File System", suatu software yang dirancang untuk mendistribusikan data alias "data sharding".

Perlahan, kekuatan server yang dibangun dari modul murahan itu ditingkatkan melalui bantuan Xian Zhou, salah satu ilmuwan komputer yang direkrut Google. Melalui tangannya, sebuah teknologi bernama MapReduce, yang bertugas menduplikasi--men-cache--database milik Google ke banyak server di berbagai pusat data di seluruh dunia, lahir. Dan melalui tangan Xhou pula, Google menginisiasi penciptaan Datacenter Optics, suatu jaringan kabel fiber optik khusus berkecepatan 400 gigabit detik untuk melayani pencarian dari pengguna pada server-server Google dengan mulus.

Pada 2006, sebagaimana dituturkan oleh Norman P. Joupi, peneliti Google, dalam studinya berjudul "In-datacenter Performance Analysis of Tensor Processing Unit" (dipaparkan dalam simposium Computer Architecture ke-44 2017), Google berhasil menciptakan Tensor Processing Unit (TPU).

Berbeda dengan Intel i7 ataupun Apple M1, misalnya, Tensor merupakan application-specific integrated circuit alias ASICs yang dibuat untuk memproses kerja spesifik. Jika i7 atau M1 dapat memproses segala hal, mulai dari word processing, visual imagery, hingga neural network, Tensor dibuat untuk hanya memproses word processing, hanya visual imagery, atau hanya neural network. Ya, dengan hanya dapat memproses kerja spesifik, Tensor seakan tidak sehebat i7 atapun M1. Namun, dari kekhasan inilah Tensor dapat memproses data dengan lebih cepat serta lebih hemat daya. Klaim Joupi, tatkala prosesor seperti i7 atau M1 dapat memproses suatu permintaan dalam tempo biasa-biasa saja, Tensor dapat memprosesnya dalam tempo 10 kali lebih cepat. Di awal-awal kemunculannya, kerja yang diproses Tensor lebih cepat itu adalah basis data.

Perlahan, sebagaimana dituturkan Samuel J. Kaufman, ilmuwan Google, dalam studinya berjudul "A Learned performance Model for Tensor Processing Units" (dipaparkan dalam lokakarnya MLSys Conference 2021), Tensor bertransformasi menjadi chip machine learning, yang bertugas menangkap pola dari data-data yang terlihat acak-acakan hingga membuat chip ini bertransformasi menjadi "The Datacenter as a Computer" alias komputer yang bekerja berdasarkan data, bukan sebatas berapa core (inti) prosesor semata.

Karena belum dirilis secara resmi, tak ada keterangan apapun tentang apa sebetulnya Tensor yang termuat dalam ponsel Pixel 6. Namun, besar kemungkinan bahwa Tensor yang tersemat dalam Pixel 6 merupakan versi mungil dari TPU yang telah dikembangkan Google. Maka, dengan Tensor serta beragam chip spesifik yang pernah dirilis Google, Pixel 6 nampaknya akan menjadi titik baru perjalanan Google di dunia Android. Perjalanan untuk menjadi penguasa sesungguhnya.

Perjalanan ini jelas tak mudah dilakukan saat ini. Sebab, dengan mengesampingkan persaingan dari Apple, Samsung, Xiaomi hingga segudang produsen Android lainnya, pabrik-pabrik chip di Cina dan Taiwan tengah kesusahan melayani pesanan prosesor dari perusahaan-perusahaan teknologi gara-gara Donald Trump dan wabah Covid-19.

Baca juga artikel terkait GOOGLE atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf