Menuju konten utama

Ketika Dunia Merayakan Masakan Pengungsi

Bagaimana makanan menyatukan manusia yang tercerabut dari rumahnya di tanah asing.

Ketika Dunia Merayakan Masakan Pengungsi
Festival Makanan Pengungsi. UNHCR/Benjamin Loyseau

tirto.id - L'Ami Jean adalah bistro Perancis yang memadukan nilai klasik dan modern. Menunya mengandalkan resep Prancis klasik. Semisal foie grass dengan saus jamur. Tapi belakangan ada menu-menu gagrak Timur Tengah. Seperti kibbeh --semacam perkedel yang terbuat dari tumbukan biskuit, daging cincang, dan bawang bombay-- yang disajikan dengan puree kacang merah, buah jeruk, dan bayam. Ada pula makarel yang dimarinasi dengan lada manis dan tahini --kondimen dari biji wijen panggang yang ditumbuk, banyak ditemui di Balkan dan Timur Tengah. Juga ada burung puyuh yang disajikan bersama freekeh, sejenis sereal yang terbuat dari gandum durum.

Menu itu lahir saat Stephane Jego, sang pemilik bistro, mulai mengajak Mohammad El Khaldy, seorang pengungsi asal Suriah. Khaldy sudah punya pengalaman bekerja sebagai koki selama 20 tahun di Damaskus. "Memasak adalah pekerjaanku, juga hidupku," kata Khaldy pada New York Times. Kini Khaldy dan Jego bekerja sama untuk menghidangkan makanan khas Suriah dengan pendekatan ala Perancis.

Restoran milik Jégo ditawari untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan Refugee Food Festival pertama. Tahun ini, festival ini masuk penyelenggaraan kali kedua. Festival yang didukung oleh lembaga pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa UNHCR ini mengajak banyak pengungsi dan warga setempat di Eropa untuk bekerja sama. Tujuannya memberikan kesempatan untuk berinteraksi, memberi pemahaman bahwa para pengungsi ini punya cerita dan punya keterampilan.

Refugee Food Festival pada 2017 menghadirkan 10.000 orang di 84 restoran di 13 kota di enam negara selama 15 hari. Ini tentu tidak mudah, di tengah bangkitnya xenofobia atau kebencian terhadap orang asing, penyelenggaraan Refugee Food Festival dikhawatirkan akan mendapatkan tentangan dari kelompok sayap kanan. Untungnya seluruh acara ini berlangsung damai tanpa gangguan. Banyak orang mengapresiasi positif acara yang diinisiasi NGO Food Sweet Food dan UNHCR ini.

Tahun ini menu makanan yang jadi bintang utama adalah hidangan Afrika. Kawasan itu menjadi fokus karena dari 6 juta pencari suaka yang datang ke Eropa tahun ini, 2 juta di antaranya berasal dari Afrika. Benua itu selama bertahun-tahun dicabik-cabik oleh perang saudara seperti yang terjadi di Sudan Selatan hingga terorisme seperti di Nigeria. Keberadaan makanan Afrika diharapkan bisa membuat publik lebih awas dan mengerti kondisi yang ada di Afrika saat ini.

Makanan memang menjadi kampanye menarik bagi banyak lembaga advokasi kemanusiaan di Eropa. Selain Food Sweet Food ada pula Les Cuistots Migrateurs atau Masakan Migran, yang berusaha mengajak masyarakat Eropa mengenal makanan dari negara-negara yang saat ini banyak warganya menjadi pengungsi karena perang. Mereka memperkenalkan masakan dari Palestina, Suriah, Irak, Afganistan, Chechnya, hingga Sri Lanka.

Infografik Festival Masakan pengungsi

Berdasarkan data dari UNHCR, pengungsi terbanyak yang datang ke Eropa adalah warga Suriah (46,7%), Afghanistan (20,9%) and Irak (9,4%). Mereka banyak tersebar di kamp-kamp pengungsi dan kerap mengalami stigma negatif. Pada 2016 pemerintah Jerman mencatat ada sekitar 3.500 serangan terhadap para pengungsi di negara itu. Serangan itu menyebabkan 560 orang pengungsi terluka, 43 di antaranya masih anak-anak. Kebencian dan kecurigaan terhadap para pengungsi yang dianggap sebagai imigran gelap ini makin berkembang setahun terakhir.

Ini mengapa Refugee Food Festival dan Les Cuistots Migrateurs menjadi penting. Operasi kebudayaan melalui lidah terbukti banyak membuka mata warga Eropa. Mereka yang penasaran dengan para pengungsi atau imigran akan datang untuk mencari tahu. Di lokasi Refugee Food Festival, mereka akan diperkenalkan langsung dengan para koki yang memasak. Mereka berbagi cerita, pengalaman, dan juga apresiasi makanan. Interaksi ini yang kemudian diharapkan membuka mata warga Eropa bahwa parang pengungsi dan imigran ini juga manusia.

Lebih dari 10.000 orang menikmati makanan dari Suriah, Afganistan, Irak, Somalia, dan Kamerun. Para pelanggan yang datang juga ditawari berbagai koktail dan es krim khas dari negara-negara pengungsi itu. Louis Martin, salah satu penggagas Food Sweet Food, menyebut bahwa festival ini akan dikembangkan menjadi proyek yang lebih besar. Mereka akan melebarkan lokasi tak hanya di Eropa tapi juga di Amerika Serikat, Kanada, Brazil, dan Australia.

“Ada banyak hal lain yang perlu dilakukan, mulai dari mengembangkan integrasi profesional dari masing-masing koki (pengungsi),” katanya.

Para koki yang berasal dari negara pengungsi sebenarnya telah memiliki keterampilan yang baik. Tidak jarang dari mereka juga merupakan profesional di negara asalnya. Mereka butuh pengakuan dan mungkin sertifikasi yang menyebutkan bahwa mereka adalah tenaga kerja terampil yang profesional. Ini penting, karena dengan mendapatkan pengakuan, kesempatan kerja dan kemungkinan hidup lebih baik di negara baru akan bisa digapai.

Penyelenggaraan Refugee Food Festival Athena misalnya, dilakukan di lima restoran yang telah penuh terpesan jauh-jauh hari. Sebanyak 1.500 orang berpartisipasi untuk makan dari koki pengungsi. Vassinelas, restoran yang sebenarnya hanya dijadwalkan untuk dua hari penyelenggaraan, dipaksa membuat acara tambahan pada malam ketiga karena banyaknya pelanggan yang ingin mencoba makanan dari koki asal Somalia bernama Hassan Hassan.

“Para pengungsi adalah orang dengan kemampuan dan bakat. Ini jadi vital saat mereka ditawari kesempatan yang tepat untuk mengembangkan bakat mereka,” kata Thanassis, pemiliki Vassilenas.

Imigran atau pengungsi kerap dianggap sebagai orang yang cari enaknya saja. Mereka juga dianggap tidak memiliki bakat dan hanya menjadi beban negara. Philippe Leclerc, perwakilan UNHCR di Yunani menyebut bahwa Refugee Food Festival menjadi pembuka mata yang penting, bahwa banyak orang pengungsi yang juga berprofesi seperti mereka. Melalui makanan, para pengungsi bisa berbagi cerita dan pengalaman tentang bagaimana tradisi kuliner di sebuah negara, pula tentang tragedi yang menimpa mereka, hingga kisah haru dari tanah konflik.

UNHCR menyebut hingga Juli 2017 ada 101.561 orang yang menyeberang melalui laut pada 2017, 2.306 di antaranya tenggelam. Saat ini ada 65,6 juta orang yang terusir dari rumahnya, 22,5 juta orang di antaranya berusia di bawah 18 tahun.

Baca juga artikel terkait PENGUNGSI atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Humaniora
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nuran Wibisono