tirto.id - Ragam aplikasi yang tersedia di telepon pintar dan website telah banyak menunjang kehidupan dan mengatasi masalah manusia sehari-hari. Misalnya aplikasi berbasis navigasi dan transportasi, aplikasi eksistensi diri hingga yang lebih serius seperti persoalan kemanusiaan khususnya pengungsi.
Belakangan ini, negara-negara di Eropa sedang disibukkan dengan gelombang pengungsi asal Timur Tengah. Fenomena ini menuai pro dan kontra masyarakat di sana. Namun, saat tubuh Aylan Kurdi, seorang migran Suriah berusia 3 tahun terdampar di Pantai Turki dan fotonya menjadi viral di seluruh dunia, banyak mendorong tindakan dan aksi bantuan kemanusiaan guna mencegah korban selanjutnya.
Dilansir dari The Atlantic, banyak dari pengungsi di era digital ini juga memiliki ponsel pintar. Hal ini kemudian mendorong para sukarelawan untuk mulai mengembangkan aplikasi guna membimbing para pengungsi dalam perjalanan mereka. Seperti yang dilakukan Nina Kov, seorang koreografer sekaligus peneliti. Musim panas 2015 lalu saat para imigran mulai memasuki stasiun kereta kota di Budapest, Kov dan suaminya melihat adanya desakan akan kebutuhan informasi yang andal dan terkini meliputi jadwal kereta hingga keamanan air ledeng. Sebuah aplikasi bernama InfoAid kemudian lahir memberi solusi atas kebutuhan tersebut.
Dilansir dari Euronews, aplikasi ini mencakup berbagai informasi di negara tujuan para migran yang telah tersedia dalam bahasa mereka yaitu Arab. Bahkan mencakup risiko memakan jamur beracun, bahaya yang memiliki konsekuensi tragis bagi migran nekat yang mencari makanan. Memakan data internet yang sangat sedikit, aplikasi ini disesuaikan dengan keterbatasan kuota para imigran.
Selama puncak krisis pengungsi di Budapest, sebuah ruang obrolan terjemahan online dikelola oleh sukarelawan dengan keterbatasan hanya menggunakan bahasa Arab yang spesifik. Tidak hanya berbasis aplikasi, situs website yang fungsinya sama guna membantu para imigran juga banyak didirikan.
Situs Refunite misalnya, didirikan dengan melihat latar belakang bahwa banyak keluarga imigran yang terpisah dan menyisakan trauma bagi mereka. Situs dengan dukungan enam bahasa ini meminta pengguna untuk memasukkan informasi tentang diri mereka sendiri dan orang-orang yang hendak mereka cari. Sistem akan memberikan daftar yang memungkinkan pencari untuk menemukan orang yang dituju dan dapat saling berkirim pesan.
Ada pula inisiasi dari Red Cross and Red Crescent yang mendirikan website aplikasi bernama Trace the Face. Sesuai dengan namanya, website ini memungkinkan para imigran mencari sanak keluarganya melalui foto dan identitas yang telah diunggah, lalu menyaring menurut kriteria seperti jenis kelamin, usia, dan negara asal.
Sebaliknya, para imigran juga bisa mengunggah foto dirinya maupun sanak keluarganya sehingga proses pencarian terjadi. Sedangkan di Kroasia, seorang insinyur bernama Valent Turkovic menyediakan akses internet di kamp-kamp pengungsi yang seringkali tidak mendapat jangkauan akses internet dengan memasang router Wifi pada 2015. Diketahui kemudian bergabung bersama MeshPoint untuk menggarap router lebih serius lagi untuk digunakan.
Beberapa Kurang Kompatibel
Banyak daftar aplikasi maupun website lainnya yang bergerak di bidang kemanusiaan khususnya pengungsi. Meski begitu, UNHCR telah menyoroti soal banjirnya tren ini juga menyisakan beberapa persoalan saat diterapkan, misalnya aplikasi yang kurang dapat bekerja dengan presisi dan optimal. Aplikasi I Sea misalnya, awalnya mampu mengklaim pengguna dapat menjelajahi Laut Tengah untuk melihat secara real time kapal-kapal para imigran yang sedang dalam bahaya.
Kenyataannya aplikasi ini justru sering hanya sekedar citra statis dari lautan dan dianggap tidak akurat. Beberapa saat kemudian aplikasi yang tersedia untuk iPhone ini dihapus dari Apple’s App Store seperti turut dilansir dari The New York Times. Lainnya, seperti aplikasi untuk telepon pintar bernama Refoodgee yang diluncurkan oleh Memorado berbasis di Berlin. Aplikasi ini berguna untuk menghubungkan para pengungsi yang baru tiba dengan penduduk setempat sekaligus terkait dengan ketersediaan makanan.
Menurut UNHCR, aplikasi ini awalnya banyak menuai pujian, tapi dalam perkembangannya selama berbulan-bulan belum ada pembaharuan dari aplikasi. Termasuk hanya terdapat beberapa ratus pengguna saja di dalamnya. Para desainer, peng-coding dan profesional lainnya di sektor teknologi memang telah memberi kontribusi untuk membantu meluncurkan berbagai aplikasi, situs web terutamanya sejak krisis pengungsi Suriah mencuri perhatian dunia.
Bahkan acara seperti Hackathons diselenggarakan dengan tema tantangan mengenai krisis pengungsi. Para spesialis teknologi berkumpul dan tugasnya membuat aplikasi dalam tema tersebut yang berlangsung selama beberapa hari selama kompetisi. Acara semacam ini diselenggarakan di kota-kota besar dunia. Salah satu jebolannya adalah aplikasi seperti Refoodgee.
Aplikasi untuk para pengungsi memang ada yang memiliki kelebihan dan kekurangan, tapi setidaknya aplikasi ini mencoba membantu untuk bisa menekan biaya dan waktu, dan terpenting menolong kehidupan para pengungsi di kehidupan baru mereka.
Penulis: Tony Firman
Editor: Suhendra