tirto.id - Seorang pengungsi berkebangsaan Suriah-Palestina tiba di Jerman pada 2015. Ia tiba seorang diri; orang tua dan adiknya di Damaskus. Karena ia berusia 16 tahun dan tanpa orang tua atau wali, ia ditampung di barak pengungsian anak. Begitu mencapai usia 18 tahun, ia kehilangan haknya sebagai pengungsi anak dan harus pindah ke barak pengungsian konvensional.
Kehilangan status pengungsi anak, ia mendapat hanya satu tahun perlindungan lanjutan dari pemerintah Jerman. Dengan peluang mendapat suaka yang rendah dan kemungkinan dideportasi yang tinggi, ia meninggalkan barak pengungsian.
Tidak tinggal di barak pengungsian berarti tidak mendapat bantuan dana dari pemerintah Jerman, akan tetapi ia tetap pergi. Untuk bertahan, ia memasuki dunia prostitusi. Remaja pria berusia 18 tahun itu menawarkan layanan seksual kepada pria dewasa untuk imbalan tempat tinggal selama enam bulan.
“Berusia 18 tahun tidak serta merta berarti seorang anak menjadi dewasa, dan inilah yang dilupakan oleh para pengambil kebijakan,” ujar Henniges sebagaimana dikutip InfoMigrants.
Katina Schubert, pimpinan partai Die Linke (Partai Kiri) untuk Berlin menilai bahwa kebijakan integrasi pemerintah Jerman gagal.
“Tanpa perspektif yang cukup baik dalam hidup, para pemuda – terlepas dari alasan kedatangan mereka ke Jerman, sebagai pengungsi atau bukan – berisiko menempatkan diri mereka sendiri dalam bahaya. Kami sangat membutuhkan lebih banyak sukarelawan dan organisasi yang peduli terhadap pemuda tunawisma, serta program yang memberi mereka kesempatan untuk belajar bahasa Jerman dan bersekolah,” ujar Schubert sebagaimana diwartakan Deutsche Welle.
Selain Henniges dari Moabit Hilft, cerita-cerita tentang para pengungsi pelaku prostitusi ini juga dibenarkan oleh Ralf Rötten dari Hilfe für Jungs. Tiergarten, taman dalam kota paling populer di Berlin, adalah pusat aktivitas tersebut. Pernah dalam satu kesempatan, lima sukarelawan Hilfe für Jungs memberi arahan mengenai AIDS dan penyakit menular seksual lain kepada tiga ratus pengungsi di Tiergarten saja.
Para pengungsi berusia muda, menurut cerita Rötten, saling menawarkan satu sama lain kepada pria dewasa sebagai cara mencari uang. “Mayoritas dari mereka tidak bisa bersekolah atau bekerja,” ujar Rötten kepada Deutsche Welle. “Orang-orang muda ini punya pilihan apa?”
Di luar kebijakan nasional, Berlin secara khusus memang memiliki masalahnya sendiri menyangkut pengungsi. Antrean di Kantor Urusan Kesehatan dan Sosial Jerman (biasa disebut Lageso) mengular. Pengungsi bisa mengantre sampai berhari-hari hanya untuk mengurus izin tinggal di barak pengungsian. Pada Januari 2016, seorang pengungsi berkebangsaan Suriah berusia 24 tahun meninggal setelah terserang demam ketika mengantre.
“Sudah berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan kami laporkan bahwa para pengungsi harus mengantre dalam kondisi yang tidak manusiawi,” ujar Christiane Beckmann dari Moabit Hilft sebagaimana dikutip dari Deutsche Welle. “Para pengungsi mengantre di lumpur sedalam mata kaki, minggu lalu mereka mengantre di luar saat temperatur berada di bawah titik beku – dan mereka melakukannya selama berjam-jam, enam, tujuh, sepuluh jam.”
Olivia Mandeau, sesama sukarelawan, berujar kepada New York Times: “Di tempat lain di Jerman tidak ada masalah seperti ini – semua kota lain mampu menyediakan tempat untuk semua pengungsi. Ini bukan krisis pengungsi. Ini krisis administrasi.”
Para pengungsi yang mengantre di Lageso mendapat bantuan – naungan ketika panas, selimut dan minuman hangat ketika digin – dari organisasi-organisasi seperti Moabit Hilft dan Hilfe für Jungs, tetapi organisasi-organisasi ini memiliki keterbatasan. Mereka bertahan dari sumbangan dan bantuan dana pemerintah. Terutama kepada pemerintah, organisasi-organisasi ini harus terus menerus mengajukan permohonan dana bahkan untuk membayar gaji pegawai saja.
Bagi para pengungsi, selesainya urusan di Lageso tidak serta merta berarti berakhirnya situasi buruk yang harus mereka hadapi. Hidup tidak lebih mudah di barak pengungsian. Barak pengungsian yang mereka tempati adalah barak pengungsian darurat untuk menampung pengungsi selama beberapa pekan, namun mereka bisa tinggal di sana hingga dua tahun.
“Usia saya 26 tahun,” ujar Bashar, seorang pengungsi berkebangsaan Irak, kepada Deutsche Welle. “Tapi sejak saya tinggal di sini, saya merasa seperti orang tua. Kami pikir kami akan menemukan harapan di sini, tapi tidak.
Setelah kondisi barak pengungsian, masih ada masalah lain yang harus dihadapi para pengungsi: permohonan suaka. Permohonan mereka belum tentu dikabulkan, dan ditolak berarti dideportasi.
“Hidup di sini begitu pahit,” ujar Ahmed, kawan Bashar, juga kepada Deutsche Welle. “Saya lebih baik bertahan di Suriah dan menghadapi risiko kematian.”
Penulis: Taufiq Nur Shiddiq
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti