tirto.id - Bertempat di Tanah Lapang Merdeka--kini jadi area Masjid Sabilal Muhtadin--di Kota Banjarmasin, pada awal bulan Maret 1950 sebuah upacara militer diadakan. Letnan Kolonel Veenendal selaku komandan tentara Belanda daerah Kalimantan Timur Tenggara, menyerahterimakan satu kompi pasukan kepada komandan teritorial Kalimantan Letnan Kolonel Sukanda Bratamanggala.
Seperti diberitakan Nieuwe Courant (02/03/1950), pasukan tersebut adalah mantan Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) yang hendak bergabung ke Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS).
Kompi yang pindah angkatan itu dipimpin oleh Sersan Mayor KNIL JPM Sualang. Sementara peleton-peleton dalam kompi tersebut dipimpin oleh Sersan KNIL Slamet, Sersan KNIL Mohammad bin Sabu, dan Kopral KNIL Alitaruno. Setelah pindah ke TNI, Sualang naik pangkat jadi Letnan Satu TNI, Slamet dan Mohammad jadi Letnan Dua TNI, dan Alitaruno menjadi Pembantu Letnan.
Masuknya bekas KNIL ke TNI yang disertai dengan kenaikan pangkat, membuat resah para mantan pejuang Republik yang kebanyakan tak diterima masuk TNI. Entah dalam tes fisik maupun yang lainnya. Bukan hal aneh jika banyak pejuang di masa itu buta huruf. Kondisi ini membuat para bekas pejuang di Kalimantan Selatan merasa dikhianati oleh negara yang diperjuangkannya waktu zaman revolusi.
Organisasi macam Kesatuan Rakjat Jang Tertindas (KRJT) yang dipimpin Ibnu Hadjar kemudian muncul. Pada akhir Maret 1950, kelompok bekas pejuang yang kecewa itu kian besar dan mulai melawan pemerintah RI selama belasan tahun di sekitar Hulu Sungai, Kalimantan Selatan. Belakangan, kelompok Ibnu Hadjar itu terhubung dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Di Balikpapan, serah terima serdadu KNIL ke TNI juga diadakan. Seingat Kapten AEJ Schlosmacher dalam buku Het Andjing NICA (KNIL) in Nederlands-Indie 1945-1950 (1987:267), satu batalion terbentuk di Balikpapan. Komandan batalionnya adalah bekas sersan mayor intelijen keamanan di Magelang. Dalam batalion tersebut terdapat bekas sersan KNIL Smit yang juga masuk TNI. Smit adalah komandan kompi yang berpangkat letnan.
“Batalion [yang dibentuk di Balikpapan] ini kemudian dikerahkan oleh Republik [untuk] melawan pemberontak di Hulu Sungai,” tulis Schlosmacher.
Dalam operasi tersebut, beberapa anggota batalion tewas. Mereka kemudian dimakamkan di Banjarmasin. Schlosmacher menyebut pula bahwa terdapat bekas anggota batalion Andjing NICA yang menjadi pelatih di sekolah kader tentara di Banjarmasin.
“Mereka senang—karena pengetahuan mereka—dihargai,” tulisnya.
Sualang yang pernah jadi komandan pasukan di dekat Samarinda, belakangan menjadi Kepala Seksi IV di Resimen Infanteri ke-21 di Komando Tentara dan Teritorium VI/Kalimantan.
Tak hanya di Kalimantan Timur dan Selatan, di Kalimantan Barat pun banyak bekas KNIL yang masuk TNI. Dalam Tandjungpura Berdjuang: Sedjarah Kodam VII Tandjungpura Kalimantan Barat (1970:137-139) disebutkan bahwa satu kompi bekas KNIL di Sintang pimpinan Letnan Lasamahu, satu kompi di Ketapang pimpinan Letnan Satu Sudiman, satu kompi di Sambas dan Singkang, serta satu kompi tentara federal masuk TNI. Para bekas KNIL ini terutama banyak ditempatkan di Batalion B, Brigade A, Kalimantan Barat.
Komando Tentara & Teritorium VI/Kalimantan diresmikan pada 20 Juli 1950 di halaman kantor Gubernur Kalimantan di Banjarmasin. Saat itu, Zaini Azhar Maulani masih duduk di Sekolah Rakjat. Seingatnya, inti dari pasukan itu adalah bekas serdadu KNIL.
“Kami anak-anak Sekolah Rakyat diikutkan dalam upacara militer itu. Pasukan eks KNIL yang berseragam bagus bersenjata lengkap berdiri rapi di posisi tengah. Di kiri kanannya, di bagian pinggir, berbaris pasukan eks [pejuang] gerilya dengan pakaian seadanya dan dengan senjata beraneka ragam,” tulis Maulani dalam autobiografinya Melaksanakan Kewajiban Kepada Tuhan dan Tanah Air (2005:44).
Komando itu mulanya dipimpin Letnan Kolonel Sukanda Bratamanggala, dari 20 Juli 1950 hingga November 1951. Setelah itu digantikan oleh Kolonel Sadikin, yang sebelum 1942 pernah jadi kopral dan sersan KNIL. Kemudian digantikan oleh Kolonel Abimanju yang pernah jadi perwira KNIL.
Setelah tahun 1958, Angkatan Darat melakukan reorganisasi komando teritorialnya. Komando Tentara & Teritorium berubah menjadi Komando Daerah Militer (Kodam). Kalimantan sempat mempunyai empat Kodam, namun pada 1985 hanya tinggal satu Kodam. Kini di Kalimantan terdapat Kodam Mulawarman dan Kodam Tanjungpura.
Pada 1988, Zaini Azhar Maulani menjadi Panglima Kodam VI/Tanjungpura. Dia dan sejumlah perwira lainnya merasa risi dengan tanggal 20 Juli sebagai Hari Tanjungpura seperti yang ditetapkan Pusat Sejarah Angkatan Darat.
“Beberapa perwira Kodam VI/Tanjungpura sempat menyatakan dengan sinis kepada saya, bahwa tanggal 20 Juli 1950 adalah hari peringatan diresmikannya KNIL menjadi APRIS,” kata Maulani.
“Kita tidak ada sangkut pautnya dengan KNIL,” ujarnya mencoba menenangkan anak buahnya, meski dia sendiri pernah menyaksikan perpindahan KNIL ke TNI waktu masih kecil.
Keresahan Maulani dan para perwira Kodam Tanjungpura lainnya adalah perjuangan rakyat Kalimantan tampak kurang ditonjolkan dalam sejarah Kodam tersebut.
Editor: Irfan Teguh Pribadi