Menuju konten utama

Ketika Anak Jadi Kurir Narkoba

Diversi idealnya menjadikan anak kapok menjajal lagi kejahatan yang mereka lakukan. Miris di Indonesia cara ini justru membuka celah pemerasan dan eksploitasi dilingkaran narkoba.

Ketika Anak Jadi Kurir Narkoba
Ilustrasi kurir narkoba. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Bukan karena uang, anak yang memilih jadi kurir narkoba kebanyakan merasa perlu setia kawan.

Diceritakan kembali oleh seorang pengacara yang sering menjadi kuasa hukum bagi anak-anak terjerat pidana. Rahman (18 tahun, bukan nama sebenarnya) menjalani kehidupan remaja secara tidak lazim. Bukan lagi bergaul dengan teman sebaya, ia malah karib dengan bandar-bandar narkoba yang beroperasi di sebuah Lembaga Permasyarakatan (LP) Bandung.

Rahman mulai mengenal semesta gelap peredaran narkoba ketika bergabung dengan sebuah komunitas motor Bandung. Ia kemudian ikut mengicip narkoba dan diperalat sebagai kurir pada tahun 2016. Seorang bandar mengendalikan penjualan sabu dari dalam lapas dan menggunakan Rahman sebagai perpanjangan tangan.

“Sudah empat kali mengedarkan sabu, awal tahun 2018 lalu kena dan dapat vonis 1 tahun 6 bulan,” jelas Asep Permana, kuasa hukum Rahman bercerita kepada Tirto, beberapa waktu lalu.

Hukuman yang diterima Rahman hanya setengah dari jumlah hukum pidana dewasa. Alasannya, karena di Indonesia, anak yang terjerat pidana pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara bisa diupayakan langkah diversi, yakni pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 7 No 11 tahun 2012 Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SSPA) (PDF). Diversi anak tak terbatas pada kasus narkoba saja, asal ancamannya di bawah tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana, mereka berhak mendapat perlakuan khusus tersebut.

Mekanisme diversi memiliki konsep yang berlandaskan pada hukum restoratif. Anak didorong memahami dan bertanggung jawab atas tindakan mereka. Masyarakat, penegak hukum, dan orangtua harus bisa bersinergi mendidik anak supaya tidak mengulang kesalahannya. Dalam setiap jenjang hukum, baik di kepolisian hingga hingga pengadilan mekanisme ini harus dilakukan.

Nantinya, anak didorong untuk mendapat pendidikan atau masuk ke pelayanan masyarakat. Namun jika harus dipidana, pasal 81 menjelaskan hukuman pidana anak paling lama dijatuhkan setengah dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Celakanya, di negara kita, ketentuan UU SPPA ini yang kemudian dipergunakan para bandar untuk mengeksploitasi anak.

“Sudah jadi modus yang jamak ditemui, bandar ini menggunakan anak sebagai kurir,” ungkap Andi Akbar, Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) kepada Tirto, Jumat (20/9/2019).

Alasannya, selain mudah dibujuk dan dimanipulasi dengan imbalan yang tak seberapa, anak-anak juga jarang dicurigai sebagai kurir narkoba. Terlebih, jika ditangkap pun hukumannya rendah. Data tahun 2016 dari BNN menyebutkan jumlah tersangka kasus narkoba kelompok umur anak cukup besar.

Pada kelompok anak di bawah 16 tahun jumlahnya mencapai 133 orang, sementara ada 2.285 orang tersangka untuk kelompok umur 16-19 tahun. Andi mengatakan, umur paling rentan dan jamak dieksploitasi adalah anak remaja di tingkat sekolah menengah.

“Kita bisa bilang anak yang dijadikan kurir adalah korban human trafficking karena mereka belum punya kapasitas menentukan dampak dari sikapnya.”

Tak Terbatas Status Sosial

Rahman tidak dibesarkan dari keluarga yang kekurangan. Kedua orangtuanya juga utuh. Tak ada masalah berarti dari hidup Rahman, kecuali ayah dan ibunya hanya punya sedikit waktu di rumah karena sibuk bekerja. Celah itulah yang membuat lingkup pergaulannya tidak terawasi. Ketika berada dalam komunitas motor di kotanya, Rahman mulai terlibat aktivitas terkait narkoba.

“Polanya dibuat ketergantungan, lalu mereka butuh uang untuk beli, jadilah pengedar,” ujar Andi.

Kisah Rahman bisa menjadi cermin bahwa eksploitasi anak di lingkaran narkoba tak melulu diakibatkan kesulitan ekonomi. Cerita lain dari mantan kurir narkoba anak dari Inggris, Sephton Henry bisa jadi gambaran. Henry dulunya merupakan anggota geng paling terkenal di London Selatan.

Kepada BBC(26/6/2017) ia mengaku mulai jualan narkoba pada usia delapan tahun. Ia mulai bergabung jadi anggota geng karena sering menerima makanan dari anak laki-laki yang lebih tua. Setelahnya, Henry sering dicekoki beragam jenis narkoba. Ia bahkan pernah dipaksa menelan 17 pil ekstasi sekaligus.

Menjadi kurir narkoba adalah salah cara anggota membuktikan kesetiaannya kepada geng. Saat ada yang memutuskan keluar dari lingkaran, anggota lain tak segan menarik mereka dengan beragam cara, termasuk kekerasan. Pengalaman ini meninggalkan bekas yang dalam pada Henry, sampai-sampai ia tak lagi peka terhadap kekerasan.

“Ketika berhasil mengedarkan (narkoba), kamu akan dipuji, punya banyak uang,” katanya, di saat itulah ia termanipulasi dengan sanjungan dan merasa punya posisi penting.

Petualangan Henry di dunia hitam berhenti pada usia 23, tepatnya saat ia masuk penjara untuk ketujuh kalinya. Ia memutuskan berubah karena merasa hidupnya sudah tidak karuan. Kini ia bekerja di sebuah badan amal bernama Gangsline untuk membantu menangani tradisi geng di Inggris.

Infografik Anak Jadi Kurir Narkoba

Infografik Anak Jadi Kurir Narkoba. tirto.id/Quita

Penjara Bukan Jalan Keluar

Anak-anak sering dimanipulasi dan dimanfaatkan sebagai pengedar narkoba. Tak hanya di Indonesia, tapi juga di Inggris, Amerika latin, Afganistan, dan Brazil. Di Inggris, biasanya anak-anak yang rentan dieksploitasi adalah mereka yang tinggal di panti dan jauh dari pengawasan orangtua.

Menurut laporan BNN prevalensi anak di Indonesia yang terdampak narkoba meliputi pelajar indekos (15,3 persen), pelajar yang tinggal bersama keluarga (6,2 persen), dan anak jalanan (28,2). Kesimpulannya semakin jauh dari pengawasan keluarga, maka anak semakin rentan terdampak narkoba.

Kondisi ini semakin diperparah ketika jalur diversi pada hukum anak justru disalahartikan menjadi restitusi. Menurut Andi, kebanyakan pidana anak yang masih berada di tahap kepolisian akhirnya menguap dan terselesaikan dengan uang, tanpa adanya pembinaan terhadap anak.

Di sisi lain, ketika diversi tidak tercapai dan anak masuk penjara, mereka justru berisiko terpapar tindak kriminalitas lain. Namun, pembinaan tetap tidak dilakukan. Akibatnya, selepas keluar dari penjara, anak akan kembali masuk lingkaran eksploitasi yang sama, bahkan mungkin semakin lihai melakukan kejahatan.

Organisasi Anak Dunia (UNICEF) telah menyepakati bahwa hukum restoratif (diversi) adalah jalan keluar terbaik untuk menyelesaikan pidana anak. Penjara hanya menimbulkan banyak efek buruk, karena ketika anak dipenjara, haknya atas masa depan telah terenggut.

“Mereka berpeluang melakukan kriminalitas di masa mendatang. Lebih dari 85 persen anak-anak itu ditangkap lagi atau mengalami persidangan kembali,” tulis sebuah laporan Department of Corrections di New Jersey yang bertanggung jawab mengurus fasilitas penjara.

Tapi, agaknya penyelesaian hukum anak dengan cara diversi di Indonesia musti melewati jalan panjang. Selain karena masyarakat masih sering memberikan stigma pada anak dengan kasus pidana, diversi saat ini justru dijadikan alat pemerasan bagi kelompok tertentu, termasuk penegak hukum.

Baca juga artikel terkait NARKOBA atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Hukum
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Windu Jusuf