Menuju konten utama

Ketika Amien Rais Lolos dari Jeweran Soeharto

Soeharto hadir dalam Muktamar Muhammadiyah 1995 yang dimenangkan Amien Rais. Kini ia meminta Muhammadiyah mendukung Prabowo, bekas menantu Soeharto.

Ketika Amien Rais Lolos dari Jeweran Soeharto
Amien Rais; 1998. FOTO/Istimewa

tirto.id - Amien Rais tidak setuju dengan sikap Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, terkait Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mendatang. Amien pun melontarkan ultimatum lantaran Haedar menyatakan bahwa Muhammadiyah tidak akan berpihak kepada salah satu kubu.

“Di tahun politik, tidak boleh seorang Haedar Nashir memilih menyerahkan ke kader untuk menentukan sikapnya di Pilpres. Kalau sampai seperti itu, [Haedar] akan saya jewer!” tukas Amien Rais di Surabaya, Selasa (20/11/2018).

"Sekali lagi, kalau sampai itu dilakukan maka akan saya jewer. Pemilihan Presiden ini menentukan satu kursi dan jangan sampai bilang terserah,” tambah mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah yang terpilih dengan perolehan suara mutlak dalam Muktamar tahun 1995 ini.

Ketar-Ketir Jelang Muktamar

Menjelang Muktamar Muhammadiyah ke-43 yang akan digelar di Banda Aceh pada 6 Juli 1995 itu, posisi Amien Rais sebagai salah satu calon ketua umum sejatinya cukup kuat. Kendati begitu, Amien merasa bakal menemui kesulitan karena pihak penguasa ditengarai tidak menghendaki dirinya memimpin Muhammadiyah.

Amien memang beberapa kali mengkritik Soeharto selaku presiden. Bahkan, seperti dikutip dari buku 1 Abad Muhammadiyah: Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan (2010) suntingan Syarifuddin Jurdi dan kawan-kawan, ia pernah bicara mengenai suksesi kepemimpinan nasional dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah pada 1993 di Surabaya.

Presentasi Amien sebenarnya memperoleh respons positif dari muktamirin. Tetapi, Muhammadiyah memutuskan untuk tidak melanjutkan pembahasan tentang hal tersebut lantaran terlalu sensitif (hlm. 298). Apalagi waktu itu Soeharto baru saja kembali terpilih sebagai Presiden RI dalam Pemilu 1992.

Lantaran seruan itulah persiapan Muktamar Muhammadiyah tahun 1995 di Aceh disebut-sebut sempat tersendat. Amien yang akan maju sebagai calon ketua umum pun merasa penguasa bakal berusaha sekuat tenaga menjegalnya.

Pada suatu kesempatan, Amien Rais bercerita bahwa sebelum Muktamar Muhammadiyah 1995 itu, ia sempat diperingatkan seorang sahabatnya.

“Mas Amien, Anda ke Aceh membawa kartu mati karena Anda berani menggedik Pak Harto. Anda bicara suksesi, dan itu Pak Harto nggak berkenan,” kisah Amien menirukan kata seorang teman yang tidak disebutkan namanya itu, seperti dikutip dari portal pwmu.co.

“Bung, saya ini hanya takut kepada Allah,” tegasnya.

“Tapi ‘kan dia presiden,” balas sang sahabat.

“Ya, tapi Allah itu adalah segala-galanya,” tandas Amien seperti yang dikisahkannya.

Untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang bisa saja terjadi, Amien lalu mengusulkan agar Muktamar digelar secara internal saja, tidak mengundang presiden. Ia sempat membicarakan hal ini dengan Ahmad Syafii Maarif.

“Pak Syafii, bagaimana kalau sekarang kita buat tradisi muktamar itu hajatan internal? Kita tidak usah mengundang presiden,” usulnya.

“Setuju, Mas Amien. Kita mandiri,” jawab Syafii Maarif seperti yang ditirukan Amien Rais.

Namun, rencana tersebut ternyata sulit dilakukan. Pemerintah daerah maupun otoritas militer di Serambi Makkah tidak akan mengizinkan jika Muktamar Muhammadiyah dilangsungkan tanpa mengundang Soeharto.

Mau tidak mau, Muhammadiyah harus mengundang Soeharto untuk membuka Muktamar 1995 di Aceh tersebut. “Sehingga saya kemudian datang ke Pak Harto, minta beliau mau memberikan sambutan [dalam Muktamar] itu,” sebut Amien Rais.

Ternyata Tak Kena Jewer

Presiden Soeharto benar-benar hadir di Aceh dalam pembukaan Muktamar Muhammadiyah ke-43 tahun 1995 itu. Alih-alih menjewer Amien, Pak Harto justru menyatakan bahwa ia adalah bagian dari Muhammadiyah, organisasi Islam yang lahir di Yogyakarta, yang kebetulan juga menjadi tempat kelahiran penguasa Orde Baru itu.

“Tanpa tedheng aling-aling, saya ini bibit Muhammadiyah yang ditanam di bumi Indonesia, dan alhamdulillah memperoleh kepercayaan masyarakat Indonesia untuk memimpin pembangunan nasional,” kata Soeharto.

“Semoga apa yang saya lakukan ini tidak mengecewakan warga Muhammadiyah,” lanjut presiden seperti dikutip dari Kliping Tentang Muktamar Muhammadiyah ke-43 Volume 1 (1995: 123).

Entah apa yang sebenarnya terjadi dalam pertemuan antara Amien Rais dan Soeharto sebelum Muktamar. Yang tampak adalah sang penguasa yang kerap menjadi sasaran tembak Amien Rais itu justru berupaya mendekatkan diri dengan warga Muhammadiyah.

Muhidin M. Dahlan melalui tulisan bertajuk “Soeharto dan Muhammadiyah” yang terhimpun dalam buku Kosmopolitanisme Islam Berkemajuan: Catatan Kritis Muktamar Teladan ke-47 Muhammadiyah di Makassar 2015 (2016) menyebut bahwa pengakuan Soeharto itu tidak hanya memiliki sayap tafsiran yang banyak, tapi juga bisa menyiratkan bagaimana tarik-menarik politik praktis dalam tubuh Muhammadiyah.

Bagi Muhammadiyah, ulas Muhidin, pengakuan Soeharto itu menjadi tonggak bahwa Muhammadiyah berada dalam perhatian khusus kekuasaan. Sementara bagi Soeharto, merangkul Muhammadiyah—termasuk kelompok intelektual dan tokoh utama kelas menengah muslim yang tergabung di ICMI—menjadi modal besar untuk pembangunan “tinggal landas” (hlm. 275).

Apapun itu, kekhawatiran Muhammadiyah tidak terbukti. Soeharto ternyata tidak menjewer Amien Rais dalam Muktamar 1995 di Aceh tersebut. Amien bahkan menang telak dan terpilih sebagai Ketua Umum Muhammadiyah periode 1995-2000.

Amien sendiri mengaku terkejut dengan perolehan suara yang mendekati sempurna dalam pemilihan itu. “Ternyata di luar dugaan, saya dipilih oleh 98,5 persen muktamirin,” tulisnya dalam buku Membangun Politik Adiluhung: Membumikan Tauhid Sosial, Menegakkan Amar Ma'ruf Nahi Munkar (1998: 160).

Soeharto barangkali “salah langkah” telah membiarkan Amien Rais melenggang sebagai pemimpin utama Muhammadiyah. Tiga tahun setelah Muktamar di Aceh itu, Amien tampil sebagai bagian dari gerakan reformasi yang menggulingkan Soeharto dari kursi kepresidenan pada 1998.

Infografik Amien Rais

Karier politik Amien Rais kian menjulang setelah itu. Masih menyandang status Ketua Umum PP Muhammadiyah, ia mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) tidak seberapa lama setelah rezim Orde Baru pimpinan Soeharto gulung tikar.

Tahun 1999 hingga 2004, Amien duduk sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan menjadi tokoh kunci dalam beberapa prosesi pergantian kekuasaan tertinggi negara. Ia sempat maju sebagai calon presiden pada Pemilu 2004 berpasangan dengan Siswono Yudhohusodo, namun kalah.

Menjelang Pilpres 2019, Amien Rais amat sering mencerca pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang bakal maju lagi sebagai calon presiden. Sementara itu, PAN yang dulu didirikan Amien usai menumbangkan Orde Baru sudah mantap mendukung Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno yang ternyata juga didukung anak-anak Soeharto.

Bagaimana dengan Muhammadiyah? Amien menghendaki Haedar Nashir membawa gerbong besarnya untuk berperan aktif di Pilpres 2019 nanti. Padahal, sejak Muktamar 1971 di Makassar, Muhammadiyah sudah menegaskan tidak akan berpolitik praktis.

Lantas, presiden macam apa yang oleh Amien Rais diharapkan akan dipilih umat Muhammadiyah? “Pilih pemimpin yang beriman, diyakini dan tidak diragukan keislamannya. Tanpa harus saya sebut nama, pasti Muhammadiyah sudah tahu,” ujar Amien.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Politik
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan