tirto.id - Pada masa Orde Baru, tentara bisa jadi apa saja, termasuk menduduki jabatan-jabatan yang sebenarnya untuk sipil seperti kepala daerah. Jenderal bintang dua, misalnya, bisa jadi gubernur, sementara beberapa jabatan menteri disediakan untuk mereka yang telah berpangkat bintang tiga.
Tradisi itu berubah setelah reformasi 1998. Jumlah personel tentara dalam birokrasi sipil disunat dan berkurang signifikan. Di sisi lain, TNI tidak mempersiapkan para perwiranya untuk menjalani kehidupan di luar ketentaraan. Sebagian besar prajurit ingin jadi jenderal. Efek jangka panjangnya adalah surplus perwira.
Data per Februari 2018 menunjukkan bahwa TNI kelebihan jenderal sebanyak 141 orang. Dari jumlah itu, ada 63 jenderal AD, 45 dari AL, dan 37 orang dari AU. Jumlah kelebihan kolonel juga sangat tinggi, yakni 790 orang, dengan rincian sebanyak 469 kolonel AD, 214 dari AL, dan 140 dari AU.
Beberapa upaya restrukturisasi pun dilakukan untuk menyalurkan surplus ini. Mulai dari menggemukkan jumlah staf khusus yang tidak masuk ke formasi struktural, menambah 60 jabatan baru untuk posisi perwira tinggi (pati), hingga rencana memasukkan tentara ke berbagai kementerian dan lembaga.
Sulit Beradaptasi
Permasalahan surplus seketika menjadi ancaman karier bagi para tentara di Indonesia. Bayang-bayang pensiun dini menghadang ketika prospek karier masih cerah ada di depan mata.
Calon pensiunan tentara barangkali tak perlu pusing. Sejarah membuktikan bahwa kesempatan karier setelah tak lagi jadi serdadu tetap terbuka lebar—dan Amerika adalah contoh yang tepat untuk menggambarkannya. Tak sedikit aktor Hollywood yang punya latar belakang militer, meskipun profesi main di layar lebar tak jadi pilihan utama.
Kasus paling terkenal tentu datang dari Ronald Reagan, Presiden AS ke-40. Karier Reagan dimulai dari militer, tepatnya pada April 1942 ketika ia diminta aktif bertugas untuk kebutuhan AS selama Perang Dunia II. Pangkatnya waktu itu adalah letnan di Angkatan Darat. Tapi, berhubung punya rabun dekat, Reagan hanya ditugaskan di dalam negeri.
Setelah penugasan singkat di San Fransisco, Reagan bergabung dengan Korps Udara Angkatan Darat sebagai juru bicara. Tak hanya itu, bersama 1st Motion Picture Unit dan Warner Bros, Reagan memproduksi film-film propaganda perang. Film pertamanya adalah This Is Army (1942) yang kelak masuk nominasi Oscar. Total, ada sekitar 400 judul film propaganda yang diproduksi unit ini.
Menurut H.W. Brands, penulis Reagan: The Life (2015), karier Reagan di dunia akting bermula usai lulus dari Eureka College pada 1932. Ia sempat menjadi penyiar radio hasil pertandingan klub baseball Chicago Cubs. Saat ia melawat ke California pada 1937, Reagan ikut sejumlah proses casting. Hasilnya, ia dikontrak tujuh tahun oleh studio Warner.
Mula-mula ia main di film kelas B. Sejak 1940, kariernya menanjak dengan membintangi film-film kelas A bersama aktor dan aktris besar Hollywood. Film yang melesatkan namanya dan dinilai kritikus sebagai yang terbaik adalah Kings Row (1942).
Pada Januari 1944, Reagan dipromosikan jadi kapten dan bertugas di Kementerian Perang. Setahun berselang, ia direkomendasikan naik jabatan sebagai mayor. Rekomendasi ini pun ditolak. Ia pensiun pada 1953.
Setelah tak lagi di militer, Reagan mencoba peruntungannya di gelanggang politik. Awalnya, ia bergabung dengan Demokrat. Namun, ia pindah ke Republik hingga terpilih sebagai gubernur California dan akhirnya presiden AS. Sejak periode pertamanya berkantor di Gedung Putih, Reagan telah menggelontorkan dana besar untuk memperkuat sektor pertahanan AS. Semuanya demi memenangkan Perang Dingin dan menggulung habis komunisme.
Ada banyak aktor seangkatan Reagan yang dulu bekerja sebagai serdadu. Sesuatu yang wajar mengingat mereka muda pada masa Perang Dunia II dan wajib ikut rekrutmen tentara.
Adam Driver punya cerita yang berbeda. Aktor yang memerankan karakter Kylo Ren dalam Star Wars: The Force Awakens (2015) dan Star Wars: The Last Jedi (2017) sempat bergabung dengan Marinir AS pasca-peristiwa teror 11 September.
“Aku suka menjadi seorang Marinir,” ujar Driver di panggung Ted Talk pada 2015. “Salah satu hal paling membanggakan yang pernah kulakukan. Menembakkan senjata itu keren, berkendara dan meledakkan barang-barang mahal itu luar biasa.”
Tapi, beberapa bulan sebelum dikirim ke Irak, Driver menderita patah tulang dada saat bersepeda. “Mereka yang tidak pernah masuk militer akan sulit mengerti ini, tapi diberi tahu batal diberangkatkan ke Irak atau Afghanistan membuat perasaanku remuk,” ujar Driver yang kemudian memutuskan untuk kembali ke kehidupan sipil.
Hasil survei Pew Research Center pada 2011 menunjukkan bahwa 27 persen dari 1.853 veteran perang merasa kesulitan kembali ke kehidupan sipil. Persentasenya lebih tinggi (44 persen) di kelompok yang bertugas dalam rentang waktu sepuluh tahun pasca 11 September 2001. Tingkat kesulitan beradaptasi mereka bahkan lebih rendah ketimbang veteran Perang Vietnam, Perang Korea, atau Perang Dunia II.
Kesulitan transisi militer ke sipil sendiri, masih menurut Pew Research Center, dipengaruhi beberapa faktor. Latar belakangan pendidikan, tugas semasa wajib militer, trauma semasa bertugas adalah beberapa di antaranya. Veteran yang ditugaskan di medan tempur dan mereka yang menyaksikan rekannya tewas lebih sulit kembali menjadi sipil.
Lahan lain yang bisa dijajaki usai tak jadi tentara ialah peran stuntman. Pada 1950-an dan 1960-an, Needham adalah stuntman ternama di Hollywood. Ia telah main dalam lebih dari 90 judul film, mulai dari The Undefeated (1969), Little Big Man (1970), hingga Shenandoah (1965).
Sebelum jadi stuntman, Needham lebih dulu berkarier di militer sebagai penerjun payung. Selama kariernya, Needham akrab dengan banyak cedera: patang tulang sebanyak 56 kali, paru-parunya rusak, giginya hancur, dan bahunya remuk.
Pengalaman paling berbahaya yang pernah ia lakukan adalah melompat dari satu kuda ke kuda lainnya dalam film Little Big Man (1970) yang disutradarai Arthun Penn serta dibintangi Dustin Hoffman.
“Kami melakukan seluruh adegan sebanyak 13 kali,” ujarnya. “Inilah yang benar-benar sulit dipercaya: kami harus lompat dari satu kuda ke kuda lainnya yang berjarak 14 kaki. Aku pikir tidak ada atlet yang bisa melakukan itu.”
Seandainya ia gagal, konsekuensinya tak main-main: diinjak bukan hanya oleh kuda, tetapi juga kereta yang berbobot 4.000 pon. Needham sendiri meninggal pada Oktober 2013.
Pemandangan serupa juga terlihat di Benua Kanguru yang memiliki perusahaan stuntman bernama Extra Specialist. Perusahaan ini didirikan oleh mantan tentara yang pernah bertugas di Timor Leste, Shaun Barry, untuk membantu para rekan-rekannya setelah tak lagi bertugas di militer.
Pada 2011, Barry dipulangkan dari Afghanistan karena menderita PTSD (Post Trauma Stress Disorder). Kepulangannya itu makin membuat situasi mentalnya memburuk. Ia merasa telah mengecewakan pasangannya.
“Ketika aku pertama kali keluar dari tentara, rasanya begitu sulit untuk menonton film tentang tentara,” jelasnya kepada ABC News. “Aku benar-benar berada pada titik di mana aku cemas dan sakit secara fisik karena pengalamanku sebagai tentara. Aku benci itu.”
Tapi, Barry tak ingin lama-lama murung. Ia perlahan bangkit dan mencari kesempatan demi kesempatan yang akhirnya menuntunnya pada peran stuntman di Thor: Ragnarok (2017) dan Dorathe Explorer (2019).
Sejauh ini Extra Specialist mempekerjakan kurang lebih 650 orang. Tak hanya mantan tentara, tapi juga mantan polisi, pemadam kebakaran, hingga tenaga paramedis. Para 2019, tim produksi Danger Close mempekerjakan 50 karyawan Extra Specialist.
“Luar biasa. Orang-orang ini luar biasa,” ucap John Schwarz, produser film berlatar Perang Vietnam itu.
Potensi Surplus
Laporan interaktif New York Times“Is America’s Military Big Enough?” (2017) yang disusun Rebecca Lai, Troy Griggs, Max Fisher, dan Audrey Carlsen menyebutkan bahwa AS punya sekitar 1,3 juta tentara aktif, 865 ribu tentara cadangan, dan kurang lebih 200 ribu personel dikerahkan di lebih 170 negara. Dengan jumlah personel sebesar itu, AS adalah negara dengan pasukan tempur terbesar di dunia.
Masalahnya, jumlah itu rupanya belum cukup buat Presiden Donald Trump. Beberapa waktu lalu, ia berencana menambah 70 ribu personel aktif di Angkatan Darat dan Korps Marinir. Trump juga berniat menaikkan bujet pertahanan sebesar $54 miliar.
Sikap Trump seketika membelah opini publik. Beberapa pihak menilai keinginan Trump wajar belaka mengingat AS masih punya kebijakan luar negeri yang ambisius: mempertahankan perbatasan, menjaga ketertiban tatanan global, serta mempromosikan kepentingan Amerika di berbagai negara.
Sementara suara-suara yang lebih kritis berpendapat bahwa upaya Trump sudah tak lagi relevan mengingat AS sudah banyak mengurangi campur tangannya dalam berbagai konflik di dunia. Tak ada lagi operasi Teluk Persia sebagaimana yang dilakukan Jimmy Carter, tak ada lagi perlombaan senjata dengan Uni Soviet semasa Perang Dingin. Isu pertahanan yang masih mengganjal AS adalah penarikan pasukan di tempat-tempat yang dulu mereka invasi, misalnya Irak dan Afghanistan.
Hal lain yang ditakutkan dari rencana Trump adalah surplus tentara, sebagaimana yang terjadi di Indonesia. Dengan jumlah personel yang sudah gemuk, bukan tidak mungkin situasi yang sama muncul. Tapi, jika memang betul-betul kejadian, tentara kiranya tak perlu takut. Mereka bisa meniru jejak rekan-rekannya yang mencari peruntungan di industri hiburan, entah jadi aktor laga maupun stuntman.
Editor: Windu Jusuf