tirto.id - Mengapa seseorang mau jadi tentara?
Tentu tidak ada jawaban tunggal atas pertanyaan itu. Mungkin ada yang menjawab dengan gaya idealis seperti hendak membela negara dan bangsa; yang standar seperti mengikuti jejak orang tua; yang pragmatis seperti ingin meningkatkan derajat sosial—apalagi di Indonesia yang masyarakatnya masih kerap segan dengan orang berseragam; atau gabungan dari itu semua.
Selain itu mungkin juga karena faktor ekonomis. Untuk alasan ini, kita bisa berkaca pada Amerika Serikat, negara dengan militer terkuat di dunia yang jumlah personelnya mencapai 1,4 juta—terbesar ketiga di dunia setelah Cina dan India.
Menurut survei Pew Research Center pada 2019 lalu, sebanyak 68 persen responden veteran—yang pernah dikirim ke medan perang pasca 9/11—mengaku pengabdiannya di angkatan bersenjata berdampak positif pada situasi keuangan mereka. Rumah tangga yang dikepalai oleh veteran juga kondisi sosioekonominya lebih baik dibandingkan keluarga nonveteran. Pada 2017, median pendapatan tahunan keluarga veteran bisa menembus 88 ribu dolar (1,3 miliar rupiah), sedangkan nonveteran hanya 76 ribu (1,1 miliar).
Situasi finansial lebih baik juga ditemui pada veteran dari etnis minoritas—yang selama ini termarjinalkan secara sosioekonomi. Keluarga veteran kulit hitam mempunyai median pendapatan tahunan 77 ribuan dolar, sedangkan nonveteran hanya 50 ribu dolar. Kisaran perbedaannya juga cukup jauh di kalangan Hispanik, 83 ribu dolar versus 52 ribu dolar.
Kemakmuran yang berhasil didapatkan mayoritas veteran tentu tidak bisa dipisahkan dari sokongan pemerintah pusat. Anggaran yang digelontorkan untuk Departemen Veteran terus meningkat setiap tahun, dari awalnya 40 miliar dolar pada 2001 menjadi 94 miliar dolar pada era Barack Obama tahun 2009. Kini, di bawah administrasi Joe Biden, anggarannya menembus 240 miliar dolar (tertinggi kedua setelah jatah 700 miliar dolar untuk Departemen Pertahanan).
Dana veteran di atas, yang jika dirupiahkan jadi 3.600 triliun, dialokasikan untuk layanan kesehatan, perawatan 135 taman makam pahlawan, program kredit rumah, dan, salah satu yang terpenting: membiayai kuliah baik sekolah pascasarjana atau berbagai pelatihan profesional.
Manfaat pendidikan bagi para veteran tertuang dalam GI Bill, sebuah undang-undang yang riwayatnya bisa ditarik sampai era Perang Dunia II. Keuntungan lebih besar dapat diterima oleh tentara yang mengabdi setelah peristiwa 9/11 karena mereka berhak menerima uang akomodasi alih-alih sebatas uang sekolah atau SPP. Bahkan jatah mereka boleh dialihkan kepada suami, istri, atau anak.
Menurut Departemen Pendidikan AS, semakin banyak veteran yang mengambil manfaat pendidikan setelah versi baru GI Bill ditetapkan pada 2008. Jumlah veteran penerima manfaat, termasuk anggota keluarganya, tumbuh 93 persen hanya dalam kurun waktu empat tahun (2009-2013). Setiap tahun setidaknya terdapat 900 ribu individu yang pendidikannya disokong GI Bill.
Dalam konteks negeri kapitalis yang elite politiknya menganggap pendidikan tinggi harus ditebus dengan biaya mahal sampai-sampai para mahasiswa dipaksa berutang—total utang mahasiswa sarjana mencapai 1,7 triliun dolar atau rata-rata 450-600 juta rupiah—beasiswa pendidikan ini sudah pasti menarik.
Tak mengherankan jika, mengutip survei Departemen Pertahanan tahun 2017, manfaat pendidikan jadi alasan utama 49 persen responden tertarik masuk militer.
Merekrut Si Miskin
Pemerintah AS pernah menerapkan wajib militer tapi kemudian menghapusnya. Mereka menggantinya dengan sistem partisipasi sukarela. Ini terjadi menjelang akhir Perang Vietnam pada 1973. Karena tak lagi wajib, Pentagon perlu berusaha lebih keras merayu anak muda agar mau turut serta.
Pemerintah kemudian membuat program Reserve Officers’ Training Corps (ROTC) yang sasarannya adalah mahasiswa. Selain meniti karier di bidang militer setelah lulus, mereka juga menerima beasiswa selama kuliah.
ROTC disokong kuat oleh Washington melalui Solomon Amandement. Lewat aturan ini, sejak 1996 lalu Departemen Pertahanan dapat berhenti menyalurkan dana kepada kampus yang menolak bekerja sama mendukung kurikulum ROTC (pada 2005 lalu pernah ada dua kampus yang dijatuhi sanksi ini, sementara yang kurang kooperatif dengan ROTC, termasuk jurusan elite Yale Law School, jadi sasaran kritik politikus Republikan).
Selain usia dewasa muda, target utama lain adalah remaja bau kencur yang masih galau pacar dan masa depan. Kegiatan yang tidak kentara sebagai proyek rekrutmen ini disebut Junior ROTC atau JROTC. Ia ditawarkan seperti ekstrakurikuler di tingkat SMA. Dikutip dari situs resminya, JROTC didapuk sebagai “salah satu program pembangunan karakter dan kewarganegaraan terbesar di dunia.”
Semua rekrutmen di atas cenderung menyasar mereka yang berasal dari keluarga dengan kondisi sosioekonomi rentan. Riset oleh think tankRAND pada 2017 menyebut JROTC lebih banyak ditemui di sekolah dengan komposisi etnis minoritas lebih banyak. Terungkap pula bahwa lebih dari 56 persen siswa di SMA negeri yang menawarkan program JROTC berhak dapat makan siang gratis atau keringanan biaya makan—salah satu indikator untuk mengukur daya ekonomi keluarga peserta didik. Persentasenya sepuluh persen lebih tinggi daripada SMA negeri yang tidak punya JROTC.
Upaya merekrut remaja kian digencarkan dalam beberapa dekade terakhir, terutama setelah George W. Bush mengesahkan undang-undang “No Child Left Behind Act” pada 2001. Di bawah aturan kontroversial tersebut, SMA negeri terancam tidak menerima anggaran dari pemerintah federal apabila menolak memberikan akses data siswa kepada tim rekrutmen tentara.
Bahkan staf militer kerap dilaporkan hadir di sekolah secara langsung. Mereka terlihat membawa pamflet lalu berusaha mengajak ngobrol anak-anak yang baru keluar kelas atau tengah bersantai di jam istirahat. Topik pembicaraan tak jauh-jauh dari berbagai manfaat—besaran gaji sampai bantuan untuk menempuh pendidikan tinggi—apabila selepas SMA nanti mereka mau berkontribusi di militer.
Tim perekrut juga dilaporkan “pilih kasih”. Education Week menyebut di pinggiran kota Hartford, negara bagian Connecticut, sepanjang 2011-2012 tim perekrut hanya berkunjung empat kali ke suatu SMA yang lima persen siswanya berhak dapat tunjangan makan siang. Di sisi lain, di SMA yang nyaris separuh siswanya berhak dapat bantuan makan siang, kunjungan dilakukan sampai sepuluh kali lebih.
Dengan segala potensi keuntungan yang didapat, tidak heran jika cara ini terutama berhasil memikat kalangan ekonomi rendah. Pada 2005 lalu, Seattle Times mengutip data Pentagon bahwa 44 persen hasil rekrutan berasal dari area pinggir kota atau perdesaan. Hanya 14 persen yang berasal dari kota besar.
Nyaris separuh dari calon tentara diperkirakan berasal dari keluarga kelas menengah-bawah—dilihat dari kode pos tempat tinggal dan rata-rata pendapatan keluarganya di sana. Terungkap juga bahwa hampir dua per tiga kadet yang direkrut pada 2004 berasal dari area dengan pendapatan rumah tangga di bawah median nasional.
Ringkasnya, problem struktural justru dieksploitasi untuk memenuhi ambisi militeristik segelintir elite politik. Banyak yang menjadi tentara karena faktor kemiskinan dan terbatasnya pilihan untuk keluar dari situasi tersebut. Di sisi lain orang kaya seperti Donald Trump berhasil menghindari panggilan wajib militer sebanyak lima kali saat Perang Vietnam. Demikian juga Bill Clinton dan Joe Biden yang mengajukan pengecualian dengan alasan tengah menjalani perkuliahan.
Rekrutmen tentara dari kalangan remaja mendapat kritik dan semakin kencang terutama setelah serangan 9/11 dari para orang tua. Orang tua menjadi musuh berat Departemen Pertahanan. Mereka cenderung enggan mendukung anak-anaknya jadi kadet. Antara 2001-2002, persentase dukungan orang tua merosot dari 70 persen jadi 40 persen, dan kelak 20 persen pada 2006 (seiring dengan turunnya sokongan publik terhadap invasi AS ke Irak).
Amy Hagopian dan Kathy Barker dalam studi di American Journal of Public Health (2011) bahkan mengatakan tindak tanduk para perekrut menyerupai “predatory grooming”—istilah yang lazim merujuk pada perilaku manipulatif predator seks agar membuat korban percaya. Mereka juga menolak perekrutan di tingkat SMA dengan alasan bahwa otak manusia usia belasan akhir belum mencapai perkembangan utuh untuk menghadapi stres level tinggi yang kelak dihadapi di medan pertempuran.
Perlu dicatat bahwa AS adalah satu-satunya negara ekonomi mapan yang belum meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak—yang jelas-jelas menyinggung kerentanan remaja dalam rekrutmen militer dan konflik bersenjata. Konvensi tersebut ditentang oleh kalangan konservatif Republikan karena dikhawatirkan akan menggerus kedaulatan AS. Hak-hak sosioekonomi di dalamnya juga dikhawatirkan melahirkan banyak tuntutan terhadap pemerintah.
Tidak Semua Makmur
“Kami menawarkan cuti 30 hari, jasa kesehatan komplet, tempat tinggal, tunjangan biaya hidup, uang pendidikan, layanan keluarga, bahkan dukungan karier setelah kalian selesai mengabdi.”
“Di samping pelatihan karier dan paket manfaat tak tertandingi, kalian akan menerima gaji yang disebut Upah Dasar Tentara. Semakin lama kalian mengabdi, semakin banyak yang yang dihasilkan.”
Di balik berbagai manfaat menggiurkan yang disampaikan dalam laman resmi rekrutmen tentara Go Army di atas, tetap saja ada yang namanya veteran miskin di AS. Ketika populasi veteran turun drastis dalam dua dekade terakhir, persentase yang miskin malah menunjukkan tren naik: 5,6 persen pada 2000 menjadi 6,7 persen dari total 17,4 juta veteran pada 2019.
Dilansir dari artikel di situs think tank RAND, sebanyak 1,5 juta veteran hidup di bawah garis kemiskinan. Di dalamnya termasuk 1,3 juta veteran yang mengalami kerentanan pangan (food insecurity) sampai-sampai mereka berpartisipasi dalam Supplemental Nutrition Assistance Program (SNAP) agar dapat menerima BLT khusus untuk beli tambahan makanan bergizi.
Selain itu, meskipun jumlahnya sudah berkurang separuh dalam satu dekade terakhir, sampai sekarang masih ada sekitar 40 ribu veteran hidup menggelandang. Angka tersebut diperkirakan mencakup 11 persen dari total gelandangan di AS.
Trauma atau stres pascaperang PTSD disinyalir membuat veteran kesulitan berbaur kembali ke masyarakat atau terserap pasar kerja. Hal ini memperbesar peluang mereka untuk mengalami kerentanan pangan. Bahkan, tingkat bunuh diri veteran pada 2021 mencapai yang tertinggi sejak 1938, yakni 36,18 kematian per 100 ribu orang.
Pada 2018, untuk pertama kalinya dalam satu dekade, Departemen Pertahanan gagal memenuhi target rekrutmen. Mereka kekurangan 6.500 personel. Sempat muncul pula laporan tentang 1.100 SMA yang melarang kehadiran perekrut militer. Menurut elite Pentagon, rekrutmen tersendat karena situasi ekonomi membaik. Ini membuat banyak kaum muda terserap di pasar tenaga kerja. Tingkat pengangguran kala itu mencatat rekor terendah dalam 49 tahun, yakni 3,8 persen.
Alasan tersebut patut dipertanyakan kebenarannya karena Departemen Pertahanan masih saja kesulitan mendapat rekrutmen baru saat ekonomi porak-poranda oleh pandemi Covid-19. Dilansir dari NBC News, sebanyak 23 persen warga usia 17-24 punya kualifikasi sebagai kandidat tentara, namun hanya 9 persen yang memenuhi syarat dan cenderung minat bergabung—terendah sejak 2007.
Proses rekrutmen tentara AS untuk tahun keuangan 2022 akan ditutup September nanti. Dan sampai akhir Juni kemarin, angkatan bersenjata baru memenuhi kuota 40 persen. Veteran Thomas Spoehr dari think tank konservatif Heritage Foundation sampai-sampai berkomentar bahwa tahun ini adalah “tahun ketika kita mempertanyakan keberlanjutan pasukan sukarelawan.”
Tentu banyak alasan mengapa menjadi tentara tidak lagi menarik banyak pemuda. Mungkin mereka melihat bahwa pekerjaan ini tidak benar-benar memberikan jaminan keamanan; mungkin mereka merasa jadi tentara sudah terlalu kuno; mungkin mereka memang tidak suka kekerasan; atau mungkin gabungan dari itu semua.
Editor: Rio Apinino