tirto.id - Perampingan perusahaan pelat merah yang dilakukan Kementerian BUMN dikhawatirkan membawa konsekuensi buruk bagi para pekerja. Apalagi, kebijakan itu bakal menyasar 70 persen dari 128 BUMN dengan 800 entitas anak dan cucu usaha yang terafiliasi.
Di tahun ini, akan ada tiga perseroan yang mulai menjalani perampingan. PT Garuda Indonesia bakal menutup enam cucu usaha, PT Pertamina akan melikuidasi dan mendivestasikan 25 anak dan cucu usaha, sementara PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) melikuidasi 20 anak dan cucu usaha.
VP Corporate Communications Telkom Arif Prabowo mengatakan, konsolidasi terhadap 20 anak perusahaan dilakukan secara bertahap hingga tahun 2021. "Ditargetkan 7 diantaranya akan diselesaikan di tahun 2020," tuturnya saat dihubungi Kamis (8/4/2020).
Kendati demikian, ia belum dapat membeberkan perusahaan mana saja yang akan terdampak mengingat proses konsolidasi memerlukan due diligence terlebih dahulu.
Yang jelas, pemangkasan jumlah anak dan cucu usaha itu sejalan dengan rencana perusahaan untuk mengembangkan portofolio bisnis ke arah digital serta menciptakan pertumbuhan yang optimal baik dalam jangka menengah maupun jangka panjang.
Perusahaan yang kurang efisien dan fokus bisnisnya sama akan dilebur menjadi satu. Namun, ia memastikan langkah tersebut tetap mempertimbangkan skala prioritas, kemudahan proses konsolidasi, hingga kecilnya dampak ke karyawan.
"Telkom telah menyiapkan strategi dan skenario konsolidasi terhadap karyawan, antara lain melalui optimalisasi dan alih tugas antar-anak perusahaan maupun dengan perusahaan induk, dengan berpedoman pada Undang-Undang Ketenagakerjaan dan ketentuan lain yang berlaku," imbuh Arif.
Sementara itu, Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra dalam teleconference bersama wartawan dan Menteri BUMN, Jumat (3/4/2020) pekan lalu, menyatakan pemangkasan ini ditujukan untuk mengurangi beban keuangan perusahaan.Ia menyebut ada sederet anak usaha lain yang ikut dikonsolidasikan ke dalam Garuda.
Salah satunya terkait bisnis charter pesawat. Ia bilang bisnis ini sempat dibuat tetapi kemudian akan dibatalkan oleh manajemen yang baru lantaran tidak efisien dan berpotensi menambah birokrasi yang tak perlu.
Bisnis lainnya yang terdampak adalah training center. Awalnya Garuda berharap bisa memberi sertifikasi kepada pilot hingga awak kabin seluruh Indonesia sampai luar negeri. Namun, bisnis ini lagi-lagi lebih banyak mudaratnya.
“Terlalu banyak birokrasi dan meningkatkan cost. Revenue kita tidak meningkat signifikan. Kami kembalikan dan spin off dibatalkan,” ucap Irfan.
Adapun Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati, mengatakan bahwa pemangkasan anak dan cucu usaha yang dilakukan perseroannya tak akan berdampak pada perumahan karyawan.
“Tidak ada layoff. Untuk perusahaan divestasi seluruh karyawan tetap direkrut,” ucap Nicke.
Di samping itu, ia juga memastikan anak usaha Pertamina terutama yang bergerak di hulu migas tak akan terganggu.
Pasalnya tiap wilayah kerja (WK) memang perlu dibuatkan perusahaan hulu tersendiri. Namun, bila kontrak atau Production Sharing Contract (PSC) sudah selesai, maka perusahaan itu pasti dibubarkan.
Lalu perusahaan yang tak akan terganggu termasuk anak usaha Pertamina di bidang Independent Power Producer (IPP). Ia bilang secara regulasi, IPP harus dibuat untuk menyediakan listrik secara mandiri. “Kalau sudah selesai (konsensi) build operate transfer (BOT) akan kami tutup juga,” imbuhnya.
Pekerja Ketar-Ketir
Seorang pekerja Garuda Indonesia, yang enggan disebutkan namanya, mengatakan, kebijakan perampingan anak perusahaan berpotensi mengganggu proses pengangkatan karyawan kontrak menjadi tetap.
Hal ini menghawatirkan sebab jumlah jumlah karyawan kontrak di Garuda Indonesia cukup besar. Padahal ketidakpastian terhadap pengangkatan karyawan berpotensi melanggar Undang Undang Ketenagakerjaan.
"Jadi hitam di atas putih yang kita punya itu dimajukan sama dia. Yang tadinya dia sudah memungkinkan untuk diangkat menjadi pegawai tetap, kontraknya disetop, [tidak diangkat karyawan tetap]," ujar salah satu karyawan yang tergabung di Serikat Pekerja Karyawan Garuda (Sekarga) tersebut.
Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Ari Gumilar, mengatakan, perlu ada kepastian perusahaan mana saja yang akan ditutup. Hal ini penting agar para karyawan dapat mempersiapkan diri dengan tugas dan penempatan di perusahaan baru.
Ada pun soal pemutusan hubungan kerja, ia yakin hal tersebut tak akan dilakukan Pertamina lantaran selama ini penutupan perusahaan adalah hal yang lumrah dilakukan terhadap perusahaan migas yang telah selesai beroperasi.
"Kalaupun kemarin ada opsi untuk likuidasi anak usaha itu anak usaha yang secara organisasi tidak ada pekerjaannya tapi badan usahanya masih ada," ucapnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Hendra Friana