Menuju konten utama

Ketakutan Memicu Sikap Tak Empati yang Menghakimi Korban Corona

Identitas "kasus-1" dan "kasus-2" Corona tersebar. Ini menyusahkan korban, penyebarnya dapat pidana.

Ketakutan Memicu Sikap Tak Empati yang Menghakimi Korban Corona
Petugas Dinas Kesehatan DKI Jakarta dengan pakaian pelindung diri lengkap memeriksa Amigos Resto di Kemang, Jakarta, Selasa (3/3/2020). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/wsj.

tirto.id - Identitas dan informasi pribadi pasien Corona atau COVID-19 segera menyebar pada 2 Maret lalu, tak lama setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan kasusnya ke media massa. Nama jelas, alamat lengkap, bahkan wajah mereka menyebar di media sosial, juga grup aplikasi pesan instan.

Seorang korban mengatakan “tertekan” karena riuhnya pemberitaan sekaligus gencarnya identitas mereka tersebar ke masyarakat. Seorang korban lain mengatakan dia “stres” salah satunya karena banyak membaca “pesan broadcast tentang saya.” Ia juga mengatakan sangat mengapresiasi jika masyarakat “tidak menyebarkan foto-foto saya seperti ini.”

Pelaku penyebaran identitas itu tak hanya orang-orang biasa. Beberapa pejabat publik dan pesohor juga melakukan hal serupa.

Salah satu yang menyebar data pribadi korban adalah Wali Kota Depok Idris Abdul Somad. Dalam konferensi pers di kantornya, pada hari yang sama dengan pengumuman Presiden, Idris menyebut tempat tinggal korban, sebuah perumahan, yang ada di wilayah administrasinya.

Dahlan Iskan, mantan Menteri BUMN, juga punya rekam jejak yang panjang sebagai wartawan, bahkan memasukkan foto salah satu korban dalam tulisannya berjudul "Dua Pertama." Ia juga menyebut nama lengkap, alamat jelas, sekaligus deskripsi bagaimana situasi di sekitar rumah korban.

Dahlan lekas dikritik di kolom komentar artikel tersebut. Ia lantas merevisi bagian yang menyebut identitas itu, sekaligus menambah keterangan: “Dengan mempertimbangkan arahan pemerintah dan pihak-pihak terkait, admin DI's Way telah melakukan penyesuaian terhadap isi naskah ini. Sebelumnya, DI's Way menampilkan profil korban dengan maksud agar semua orang yang pernah berinteraksi dengan korban segera melakukan deteksi dini.”

Dahlan melakukan ini setelah pada Selasa (3/3/2020) Jokowi mengingatkan agar “rumah sakit, agar pejabat pemerintah, tidak membuka privasi pasien.” Jokowi sendiri menyebut dua orang ini sebagai “kasus 1” dan “kasus 2”. Ia menegaskan semua pihak harus menghormati hak-hak pribadi pasien.

“Media juga harus menghormati privasi mereka sehingga secara psikologi tidak tertekan, dan bisa segera pulang dan sembuh kembali,” tambahnya.

Dampak

Dr. Pamela Rutledge, Direktur Media Psychology Research Center, pernah menyebut paparan informasi yang tak habis-habis membuat orang malas memverifikasi dan mencari kebenaran. Mereka juga merasa tak berdaya dan takut. Orang yang menerima kabar buruk atau tragedi juga, katanya, merasa punya tanggung jawab moral untuk berbagi.

Masalahnya sikap itu, dalam kasus ini, berdampak negatif bagi psikologi pasien, kata Shela Putri Sundawa, seorang dokter yang juga pengelola Relatif Perspektif, podcast yang membahas dunia kesehatan.

“Sebenarnya ini fenomena [juga] di penyakit lain. Misalnya, dia curiga HIV, tapi mungkin saja enggak mau diperiksa karena takut dapat stigma, enggak dapat pekerjaan, dan sebagainya. Jadi masih ada kebiasaan di masyarakat kita, saat ada orang yang terkena penyakit, yang dibenci bukan penyakitnya tapi malah orangnya,” jelas Shela kepada reporter Tirto, Rabu (4/3/2020).

Apa yang terjadi terhadap korban adalah beban ganda, kata Shela. Pertama beban dari penyakit itu sendiri, kedua beban dari stigma masyarakat. “Enggak ada yang mau kan jadi korban. Itu malah jadi konsumsi wartawan, semua orang ke rumah dia, dia jadi seolah kriminal,” Shela menegaskan.

Hal ini semakin diperparah karena polisi memasang police line di rumah korban. Sekretaris Ditjen P2P Kemenkes Achmad Yurianto menegaskan kalau itu berlebihan. “Kenapa sih kok sampai kayak gitu?” katanya.

Hal serupa berlaku bagi catatan medis. “Kalau sampai data itu terbuka, bisa sampai ke mana-mana dampaknya. Pertama, tentunya, informasi pribadi orang tersebut bisa jadi sasaran kriminalitas, bisa dicuri,” katanya. “Yang paling ditakutkan adalah orang-orang malah jadi takut mengalami hal yang sama kalau mengecek medisnya. Makanya data medis tidak pernah boleh keluar dari dokter dan rumah sakit.”

Lalu apa yang mesti dilakukan jika menerima identitas korban? Shela mengatakan, “Ya sudah, berhenti di kita. Tidak perlu disebar, atau konfirmasi.”

Dipidana

Penyebaran informasi pribadi bukan sekadar menyalahi etik, tapi juga pelanggaran pidana.

Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto mengatakan itu diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE), khususnya pasal 26 dan 45, serta UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), khususnya pasal 54. Sanksinya maksimal tiga tahun dan denda paling banyak Rp 20 juta.

“Catatan medis itu informasi publik yang dikecualikan. Kalau di perlindungan data pribadi, itu juga masuk dalam data pribadi yang bersifat sensitif. Kalau ada pelanggaran, dapat dikenakan pidana,” tegas Damar kepada reporter Tirto.

Damar lantas mengecam tindakan pemerintah, bahkan media massa, yang turut serta menyebarkan data tersebut. “[Menyebarkan] alamat malah membuat korban kesusahan karena harus menghadapi serbuan media,” kata Damar.

Damar juga menilai penyebaran informasi pribadi tak relevan. “Tidak membantu penyelesaian masalah korban Corona,” tegasnya. Apa yang justru harus terus-menerus diinformasikan adalah peta persebaran Corona, dan segala informasi yang penting diketahui seperti bagaimana cara mengantisipasinya.

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Rio Apinino