tirto.id - Banyak sekali rumor serta mitos yang tersebar di masyarakat perihal vaksinansi COVID-19, sehingga menciptakan ketakutan tersendiri dan menjadi penghalang untuk melakukan vaksinasi bagi sebagian orang.
Tidak ingin mitos serta rumor itu makin menyebar hingga menjadi ganjalan bagi program vaksinasi yang bertujuan menghentikan pandemi, Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO memberikan penjelasan di laman resminya melalui wawancara di program Science in 5.
Pentingnya Vaksinasi COVID-19
WHOyang diwakili oleh Dr Katherine O’Brien menjelaskan pada laman resminya who.int, bahwa cara kerja vaksin adalah mengenalkan pada tubuh kita sedikit bagian dari virus, agar tubuh bisa mengembangkan respons kekebalan sendiri untuk menghadapi virus yang sebenarnya.
Dalam kasus virus corona, bagian luar dari virus berupa protein yang diambil untuk dijadikan vaksin.
Saat bagian protein tersebut masuk dalam tubuh kita, maka sel tubuh yang bertugas melawan infeksi (antibodi) sudah mengenalinya dan mempersiapkan diri.
Dengan begitu peluang tubuh akan lebih rendah untuk terkena gejala penyakit yang parah. Karena itu vaksinasi penting dilakukan, untuk mencegah gejala yang parah dan meminimalisir kematian.
Berikut ini beberapa mitos dan fakta yang menjadi pembahasan tersebut:
1. Mitos: Vaksin memengaruhi infertilitas (kemandulan) manusia
Faktanya: Menurut Dr Katherine O’Brien sebagai perwakilan WHO, vaksin yang diberikan tidak menyebabkan infertilitas.
Tidak ada vaksin yang menyebabkan kemandulan karena bagian yang disasar oleh vaksin adalah antibodi tubuh, bukan organ reproduksi.
2. Mitos: Vaksin bisa mengubah DNA
Faktanya: Dua vaksin yang digunakan saat ini adalah jenis vaksin mRNA, yang tidak mungkin mengubah DNA sel manusia atau berubah menjadi DNA. Yang disebut mRNA adalah instruksi untuk tubuh agar membuat sejenis protein.
Kebanyakan vaksin dikembangkan dengan memberi contoh protein atau memberi komponen kecil virus yang divaksinasikan.
Pendekatan terbaru yang digunakan adalah yang pertama, yakni memberi instruksi kepada tubuh untuk membuat bagian protein seperti yang ada pada vaksin sehingga kekebalan tubuh meresponnya.
3. Mitos: Bahan kimia dalam vaksin COVID-19 berbahaya bagi manusia
Faktanya: Menurut Dr. Katherine O’Brien, vaksin yang mereka miliki aman, semua komponen diuji betul untuk memastikan bahwa semua komponen, dengan dosis yang ada, aman bagi manusia.
Terdapat elemen yang berbeda pada vaksin dan masing-masing sudah diuji pada hewan sebelum diuji ke manusia.
Uji klinis pada manusia melibatkan puluhan ribu orang sebelum akhirnya diizinkan untuk dipakai masyarakat umum. Setiap vaksin melewati evaluasi keamanan untuk memastikan bahwa aman.
Proses pembuatan vaksin memakai sistem pengawasan konstan sehingga tiap bahan yang masuk dalam vaksin dipastikan punya kualitas terbaik.
4. Mitos: Vaksin pneumonia bisa mencegah COVID-19
Faktanya: Vaksin terhadap pneumonia seperti vaksin pneumokokus dan vaksin Haemophilus influenza tipe B (Hib), tidak memberi perlindungan terhadap virus corona baru.
Virus corona adalah varian baru dan berbeda sehingga butuh jenis vaksin sendiri. Namun, vaksinasi untuk penyakit pernapasan itu disarankan juga untuk melindungi kesehatan pernapasan.
5. Mitos: Vaksin bisa sebabkan autisme
Faktanya: Kandungan vaksin tidak ada kaitannya sama sekali dengan autisme pada anak. Hal itu dijelaskan oleh Windhi Kresnawati, dokter spesialis anak dari Yayasan Orangtua Peduli.
Penelitian lebih dari 10 tahun yang telah dilakukan membuktikan bahwa thimerosal, zat pengawet dalam vaksin yang dituduh jadi biang penyebab autisme anak, bukan pemicu autisme.
Amerika Serikat yang menghapuskan penggunaan thimerosal pada tahun 1999 disebabkan karena khawatir zat tersebut bisa memicu autisme, faktanya tidak mengalami penurunan angka pengidap autisme.
Bahkan penderitanya malah meningkat, yang membuktikan tidak ada kaitan antara vaksin yang memakai thimerosal sebagai pengawet dengan autisme.
Penulis: Cicik Novita
Editor: Yandri Daniel Damaledo