tirto.id - Drama penutupan Alexis memasuki babak akhir setelah manajemen PT Grand Ancol Hotel menghentikan operasionalnya pada Rabu pagi, 27 Maret 2018. Lewat spanduk putih yang dibentangkan di halaman gedung, terletak di Jalan RE Martadinata No 1, Jakarta Utara, manajemen hotel mengumumkan penutupan disertai permintaan maaf atas "gaduhnya pemberitaan yang terjadi selama beberapa bulan belakangan ini."
Tempat hiburan malam yang pernah bernama Hotel Grand Ancol itu memang jadi topik berita yang ramai diperbincangkan publik, setidaknya sejak pekan kedua setelah Anies Baswedan dan Sandiaga Uno berkantor di Balai Kota, 30 Oktober tahun lalu.
Waktu itu, Anies menginstruksikan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PM-PTSP) untuk menolak perpanjangan Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP) Hotel dan Griya Pijat Alexis. TDUP harus dipegang sebagai tanda legal operasi.
Dua tempat itu dinilai melanggar ketentuan yang terdapat pada Pasal 14 Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 2015 tentang Kepariwisataan: tak menghormati norma agama, budaya dan nilai-nilai hidup masyarakat setempat, serta melegalkan praktik-praktik prostitusi, perbuatan asusila atau perzinahan.
"Siapa pun pemiliknya, berapa lama pun usahanya, bila melakukan ini, praktik-praktik amoral, apalagi menyangkut prostitusi, kami tidak akan biarkan," kata Anies, saat ditanya alasan mengapa tak memperpanjang TDUP Alexis.
Namun, masalah belum selesai setelah izin beroperasi itu dicabut. Akhir Januari 2018, laporan majalah Tempo mengungkapkan pelanggaran-pelanggaran itu kembali terjadi di tempat yang sama, tapi di unit usaha berbeda yakni 4play bar Alexis.
Berdasarkan temuan itu, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI menurunkan tim Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) ke lokasi dan membuat Berita Acara Pemeriksaan. Kesimpulan atas pelanggaran itu baru disebut secara terang-terangan oleh Anies nyaris dua bulan setelahnya.
23 Maret 2018, surat pencabutan TDUP PT Grand Ancol Hotel, pengelola bisnis Alexis, dilayangkan oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PM-PTSP). Unit-unit usaha yang berada di bawah Alexis Group, terdiri atas 4Play Lounge, diskotek, restoran, karaoke, hotel, dan griya pijat, kontan jadi ilegal.
Penutupan Alexis menjadi "polemik" bukan semata karena prosesnya yang panjang, melainkan juga ada persoalan ketenagakerjaan di sana.
Pada penutupan pertama, Anggota Divisi Legal dan Corporate Alexis Group M. Fajri mengatakan ada 150 pegawai yang diberhentikan sementara setelah izin mereka tak diperpanjang Pemprov. Sementara anggota Divisi Legal lainnya, Lina Novita, menyebut ada 1.000 orang yang terancam kehilangan pekerjaan.
Tapi sikap dua pemimpin Jakarta, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, dalam merespons isu tersebut kerap berbeda, dan bisa dibilang saling bertolak belakang. Pada 1 November 2017, misalnya, Sandi menanggapi isu tersebut dengan retorika ala kampanye--mengajak para pekerja bergabung ke program OK OCE.
"Ada beberapa [anggota OK OCE] yang ingin membuka hotel syariah yang sekarang lagi marak sekali. Jadi bagaimana hotel-hotel itu jadi lahan pekerjaan bagi para pekerja Alexis yang dirumahkan," kata dia.
Tak hanya itu, ia juga menyampaikan bahwa, "Pemprov akan proaktif dan saya akan minta teman-teman dari Alexis Group memberikan nama-nama yang bekerja di sana yang ber-KTP DKI."
Ketika pertanyaan yang sama dilontarkan 27 Maret lalu, sikap Sandiaga berubah dan melempar semua persoalan Alexis kepada Anies Baswedan. Ia memilih diam dan tak mau menyampaikan solusi terkait para pekerja Alexis.
Sementara Anies Baswedan justru menutup mata dan menganggap hilangnya pekerjaan merupakan konsekuensi yang harus ditanggung para karyawan Alexis.
Dengan nada meyakinkan, ia mengatakan bahwa seluruh karyawan itu tahu kalau bekerja di sana itu salah, baik dari segi moral maupun legal. Karena itu lah, menurutnya, tak perlu dikesankan bahwa para karyawan itu adalah korban pemerintah.
"Yang bekerja di sana tahu persis terjadi pelanggaran. Terkait prostitusi tahu, tapi diam saja. Nah, kalau bekerja di tempat yang di situ ada pelanggaran, tinggal tunggu waktu akan muncul tindakan," kata Anies kepada wartawan di kantor BPK RI, Jakarta Selatan, Kamis (28/3) lalu.
Jawaban yang sama dilontarkan Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi DKI Jakarta, Priyono. Saat ditemui di Balai Kota beberapa waktu lalu, ia menyampaikan bahwa soal karyawan Alexis sudah tutup buku.
"Persoalan sudah dari kapan kok kamu bawa-bawa?" ujarnya singkat.
Tak Boleh Lepas Tangan
Apa benar bahwa Pemprov DKI bisa lepas tangan begitu saja soal para pekerja Alexis dengan dalil bahwa mereka sadar kalau itu memang salah? Kalau ini ditanya ke LBH APIK, LSM yang salah satu fokusnya adalah advokasi perempuan dan anak-anak, maka jawabannya adalah tidak bisa.
Koordinator Perubahan Hukum LBH APIK Jakarta, Veni Siregar, menyampaikan bahwa Pemprov DKI tak boleh lepas tangan begitu saja setelah menutup Alexis, apalagi kalau benar bahwa di sana memang tempat prostitusi dan penjualan manusia.
Jika hal itu benar, kata dia, Pemprov DKI justru harus mencari solusi agar praktik serupa tidak kembali terulang. Salah satunya dengan cara melindungi pekerja seks, bukan membiarkannya, lalu mengalihprofesikan mereka ke sektor-sektor lain dengan tetap didampingi fasilitator.
Sebab, kata dia, prostitusi muncul salah satunya adalah karena adanya kemiskinan struktural--atau kemiskinan yang sifatnya bukan karena seseorang malas atau kebiasaan lain, tapi memang sulit menaikkan derajat ekonomi karena kurangnya lapangan kerja atau mahalnya biaya pendidikan.
Karena itu lah, yang harus dilakukan Anies-Sandi, "bukan menstigma perempuan yang telah memilih pekerjaan sebagai pekerja seks. Karena mereka juga rentan dieksploitasi secara ekonomi dan rentan mengalami trafficking."
Selain itu, ujar dia, "LBH Apik juga berharap Pemprov DKI punya jalan keluar untuk mengatasi hak karyawan Alexis yang tidak tahu-menahu soal pelanggaran di tempat usaha tersebut, tetapi ikut terkena imbas kehilangan pekerjaan."
Penulis: Hendra Friana
Editor: Rio Apinino