Menuju konten utama

Kerusuhan dan Karya Besar yang Lahir Karena Tambora

Sebuah tahun tanpa musim panas yang memicu kerusuhan dan melahirkan karya besar.

Kerusuhan dan Karya Besar yang Lahir Karena Tambora
Lukisan karya Joseph Mallord William Turner berjudul Chichester Canal menggambarkan langit senja di Chichester Canal, Sussex, yang ditutupi awan kelabu akibat letusan Gunung Tambora tahun 1815. FOTO/Istimewa

tirto.id - Dunia pernah mengalami sebuah masa kelam. Gelap. Dingin. Namun, saat itu tak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Yang mereka tahu hanyalah bumi yang tiba-tiba muram.

Hal itu terjadi pada 1816 ketika seharusnya Eropa tengah berhangat ria di musim panas. Tapi tahun itu berbeda. Salju turun lebat di kawasan Britania dan hujan turun dengan deras di Eropa. Tahun nan suram ini disebut sebagai "tahun tanpa musim panas". Kisahnya amat tenar di Benua Eropa dan Amerika Selatan.

Pada 1815-1817 itu, Eropa tengah dalam masa pemulihan setelah Perang Napoleon. Namun, ternyata mereka harus menghadapi masa kelam selanjutnya (baca: Cina dan Ramalan Bonaparte).

Nun jauh di benua yang lain, dari jarak 15.000 kilometer ke timur dari Eropa, Gunung Tambora berdiri dengan gagah di atas tanah Dompu, Nusa Tenggara Barat. Suatu hari, tepatnya pada 10 April 1815, ia meletus dengan sangat dahsyat.

Indikasi letusan sudah terlihat pada 5 April. Gunung nan agung yang waktu itu masih setinggi 4.300 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini mulai terbatuk-batuk. Lima hari setelahnya, sang gunung meletus hebat dan menjadi letusan paling dahsyat sepanjang sejarah kehidupan modern. Letusannya memuntahkan lebih dari satu 1,5 juta ton debu asap ke lapisan atmosfer, menutupi bumi dari cahaya matahari selama beberapa waktu. Membumbung tinggi jauh ke atas hingga menembus ke stratosfer. Dalam waktu 24 jam, debu asapnya sudah sebesar Benua Australia, tulis Nicholas Klingaman dalam Huffingtonpost.

Akibat letusan ini, dunia menjadi gelap. Temperatur di seluruh dunia menurun hingga 3 derajat celcius karena berkurangnya cahaya matahari yang masuk ke Bumi. Chester Dewey, seorang profesor matematika dan ilmu alam dari William College Massachusetts menulis dalam catatannya yang dikutip dalam publikasi Clive Oppenheimer dalam jurnal Progress in Physical Geology (2003): "Tanggal 6 Juni suhu 44 derajat sepanjang hari dan beberapa kali turun salju. 7 Juni tidak begitu beku namun tanah begitu dingin dan air beku di mana-mana."

Akibat iklim yang tiba-tiba berubah ini, dinamika pertanian di berbagai belahan bumi pun berubah. Para petani di kawasan New England hampir putus asa menanam gandum lantaran hujan yang selalu turun kerap membasahi tanaman mereka bahkan sampai membuat banjir. Kebanyakan dari mereka memilih untuk migrasi ke barat.

Ilmuwan Universitas Illonis Gillen D'Arcy Wood menuliskan dalam jurnalnya 1816, The Year without Summer, warga desa di Vermont terpaksa mengonsumsi landak dan merebus daun jelatang. Dalam kurun waktu 1816-1817, warga yang paling menderita di Eropa adalah warga Swiss. Selama 130 hari sepanjang bulan April-September 1816 hujan terus turun - menggenapi Danau Jenewa, membanjiri kota, bahkan salju di puncak gunung tak jua mencair. Hal ini membuat para petani gandum gagal panen sehingga terjadilah kelaparan massal.

Sedangkan di Jerman, saking langkanya bahan makanan, harganya melambung tinggi. Di Irlandia dan Italia kemudian terjadi wabah tipus dan kolera akibat langkanya bahan makanan dan kemiskinan. BBC mencatat, peristiwa ini telah merenggut nyawa 200.000 warga Eropa.

Semua itu merembet menjadi masalah yang lebih suram dan menyedihkan. Saking depresinya dengan suplai makanan yang minim, perampokan makanan di Eropa, khususnya Inggris dan Perancis, meningkat drastis. Kerusuhan terjadi di kawasan Inggris Timur pada bulan Mei 1816. Para buruh tani berseru dengan membawa bendera bertuliskan "Bread or Blood". Peristiwa kerusuhan ini menjadi catatan sejarah yang penting di Inggris.

Laporan lebih lengkap tentang dampak Letusan Tambora, baca:

Meletusnya Tambora dan Dampaknya Kepada Dunia

Munculnya kisah Frankenstein dan Masterpiece Lainnya

Epidemi. Kelaparan. Kematian massal. Kemiskinan. Ini menjadi tahun terburuk bagi Eropa. Di Jerman, tahun 1816 dikenang sebagai Tahun Kesengsaraan. Waktu itu, tidak ada seorangpun yang tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan iklim bumi. Jawabannya baru ditemukan pada tahun 1960an. Para ilmuwan akhirnya mengungkap koneksi antara aktivitas vulkanik Gunung Tambora dengan perubahan cuaca yang dramatis.

Di lain sisi, masa kelam ini justru menjadi inspirasi bagi para seniman dan sastrawan. Washington Post pernah menulis soal ini pada 2015. Pada saat musim panas tahun 1816, penyair Lord Byron meninggalkan Inggris, berencana mencari kehangatan di tempat lain. Siapa tahu di tempat lain ia menemukan musim panas yang sesungguhnya. Tapi walau sudah melangkah jauh sampai Swiss, ternyata ia menemukan kondisi alam yang sama saja. Dingin dan suram.

Di tepi danau Jenewa ia berjumpa dengan Percy Bysshe Shelley, Mary Wollstonecraft (yang kemudian menjadi istri Percy Shelley), John William Polidori dan beberapa kerabat lainnya. Mereka menghabiskan musim panas yang gelap dan basah itu sembari membaca dan bercerita tentang kisah horor Jerman. Byron waktu itu berinisiatif membuat kontes kecil-kecilan pada rombongan liburannya untuk menulis cerita horor.

Infografik Tambora 1815

Polidori yang pertama kali menyelesaikan ceritanya dengan judul The Vampyre. Sementara itu Byron muncul dengan puisinya berjudul Darkness. Lalu, Mary menulis tentang "Dr. Victor Frankenstein" yang menceritakan seorang ilmuwan gila yang menciptakan monster dari potongan orang-orang mati. Cerita karangannya ini kemudian dikembangkan menjadi novel dan pertama kali dipublikasikan pada 1818 dengan judul Frankenstein atau The Modern Prometheus.

Musim panas yang dingin dan gelap pun menjadi inspirasi bagi pelukis asal Inggris J.M.W Turner untuk mengabadikan kegelapan tersebut. Lukisannya yang berjudul Chichester Canal menggambarkan langit senja di Chichester Canal, Sussex, yang ditutupi awan kelabu. Lukisan yang dibuat pada1828 ini menjadi salah satu petunjuk visual bagaimana keadaan Eropa di masa musim panas yang dingin tersebut.

Membumbungnya harga bahan pangan juga menjadi cikal bakal Karl Drais untuk menciptakan sebuah alat transportasi pengganti kuda. Waktu itu kuda menjadi alat transportasi utama masyarakat Eropa. Tingginya harga gabah yang merupakan makanan kuda membuat biaya perjalanan ikut-ikut melambung tinggi. Akhirnya, Karl Drais menemukan inspirasi untuk menyelesaikan masalah ini, yakni dengan menciptakan sebuah alat bernama "laufmachine" yang kemudian berkembang menjadi sepeda.

Letusan Gunung Tambora oleh para ilmuwan disebut sebagai salah satu dari empat letusan terdahsyat sepanjang 10.000 tahun kehidupan Bumi, 100 kali lebih kuat daripada letusan Gunung Saint Helens pada 1980.

Hindia Belanda, sebutan lama untuk kawasan Indonesia, tentu saja menjadi kawasan yang paling terdampak karena letusan Tambora. Sebanyak 100 ribu orang dinyatakan meninggal dunia dan wilayah Sumbawa mengalami kerusakan berat. Hampir seluruh desanya terkubur oleh batu-batuan dari letusan Gunung Tambora.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Arifina Budi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Arifina Budi
Penulis: Arifina Budi
Editor: Zen RS