Menuju konten utama

Kepulauan Cocos: Tempatnya Muslim Australia & Keluarga Clunies-Ross

Kepulauan Cocos di barat daya Indonesia sempat dikuasai John Clunies-Ross dan keturunannya. Setelah 23 November 1955, kawasan itu masuk wilayah Australia.

Kepulauan Cocos: Tempatnya Muslim Australia & Keluarga Clunies-Ross
John Cecil Clunies-Ross (duduk) bersama pangeran Philip dan ratu Elizabeth di Kepulauan Cocos; 1954. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Dari umur 13 tahun, John Clunies-Ross sudah melaut. Tak hanya antarpulau, tapi juga antarbenua. Pangkatnya pun perlahan naik. Pernah menjadi orang nomor tiga di kapal, lalu menjadi komandan kapal perang kecil bernama Olivia—yang kemudian disewa untuk berlayar ke Jawa.

Laki-laki berdarah Skotlandia kelahiran Shetland, 23 Agustus 1786 itu, menurut John B. Lewis, berlayar ke Batavia dan akhirnya bertemu, lalu bekerja pada, Alexander Hare pada 1812 (Darwin's Carol Atoll, 2013, hlm. 9). Alexander Hare adalah kawan Raffless yang sempat berkuasa di Kalimatan Selatan. John Clunies-Ross memimpin Olivia hingga 1814. Setelahnya, dia memimpin kapal penjelajah yang lebih besar ukurannya bernama Mary Anne lalu Betsey. Dia berdagang juga untuk Hare di perairan Jawa.

Hare lalu tak berkuasa lagi di selatan Kalimantan. Masa-masa perginya Hare dari Banjarmasin itu, menurut A History Story and Description of Keeling-Cocos Island (2016:12-13) yang disusun Frederic Wood-Jones dkk, John Clunies-Ross membangun armada dengan kapal berbobot 428 ton yang dinamai Borneo.

Baca juga: Raffles dan Singapura yang Mulanya Disia-siakan

Dengan kapalnya, John Clunies-Ross pernah berlayar ke Bengkulu—yang pernah jadi pangkalan Inggris ketika daerah bekas koloni VOC diserahkan lagi kepada Belanda setelah Napoleon dan Perancis dikalahkan. Di masa-masa itu, John bertemu perempuan Inggris bernama Elizabeth Dymoke (1795-1853).

“Ross jatuh cinta pada gadis yang berteman dengannya dan menjaganya dari para pelaut setengah hati dan menikahinya. Dia dan dan anak anak-anaknya ikut serta dalam petualangannya,” tulis Frederic Wood-Jones dkk (hlm. 13-14). Menurut Pauline Bunce dalam The Cocos (Keeling) Islands: Australian Atolls in the Indian Ocean (1988), mereka menikah di tahun 1820 (hlm. 133).

Pada Mei 1825, John membawa anak-anak dan istrinya berlayar ke Cape Town, Afrika Selatan. Di tempat itu, Alexander Hare dan James Clunies-Ross—adik John yang jadi kapten kapal Hippomenes milik Hare—menantinya. Mereka kemudian berencana menuju ke Kepulauan Cocos di Samudera Hindia.

Baca juga: Kisah 'Raja Maluka' Alexander Hare dan Para Haremnya

John Clunies-Ross dan armadanya tiba lebih dulu pada 6 Desember 1825. John menunggu kapal yang dinakhodai adiknya tiba hingga tanggal 19 Desember. Karena tak kunjung tiba, John pun memutuskan kembali ke Cape Town. Namun, begitu tiba di kota itu, dia dapat kabar jika Hare dan lainnya baru saja berangkat. John tak menyusulnya, melainkan pergi ke London. Kala itu, John sudah berencana membuat rumah di Cocos. Untuk itulah John meminta izin dari otoritas Inggris.

John, dengan kapal Borneo, akhirnya kembali ke Kepulauan Cocos lagi. Menurut John B. Lewis, John dan armadanya mencapai daerah itu pada 16 Februari 1827 dan kaget menemukan Alexander Hare dan pengikutnya di sana. Termasuk perempuan dari berbagai suku Indonesia yang dijadikan harem oleh Hare.

Keduanya sama-masa merasa berkuasa atas kepulauan di barat laut Indonesia itu. Pulau satu dengan pulau lain tak berjauhan di situ. Masalah mudah timbul antara mereka. “Laki-laki dari rombongan Ross mulai merayu budak-budak perempuan Hare,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia - Volume 1 (2004) yang tertera di halaman 139.

Hare yang tidak nyaman kemudian angkat kaki dari pulau itu dan John Clunies-Ross pun berkuasa. John Clunies-Ross nampak seperti James Brooke di Serawak, orang kulit putih dari Inggris Raya yang jadi raja di Timur.

Baca juga: Dinasti Raja Bule Di Sarawak, Kalimantan

Infografik Kepulauan COCOS

Mayoritas penduduk kepulauan Cocos adalah keturunan pengikut Hare. Mereka orang-orang yang datang dari kepulauan Nusantara. Menurut Rosihan Anwar, di tahun 1927, pulau ini punya 925 penduduk. Berdasarkan catatan CIA, pada 2014, kawasan itu punya 596 orang penduduk. Agama mayoritas yang dianut para penghuni Cocos adalah Islam, mencapai angka 80 persen.

Kawasan ini, menurut CIA, di bawah kuasa keluarga Clunies-Ross hingga 1978. Tak hanya pulaunya, tapi juga kopra yang dihasilkan dari pohon-pohon kelapanya. John Clunies-Ross berkuasa hingga dia meninggal pada 1854. Anaknya, John George Clunies-Ross alias Ross II, menggantikannya sebagai orang nomor satu di Cocos.

Setelah Inggris menganeksasi kawasan itu pada 1854, Ross II diangkat sebagai gubernur. Setelah Ross II meninggal pada 1871, kuasa kepulauan itu jatuh ke tangan George Clunies-Ross dengan gelar Ross III. Tahun 1910, setelah Ross III meninggal, maka John Sidney Clunies-Ross berkuasa atas pulau itu. Cocos juga mengalami dua perang dunia.

Kepulauan Cocos tak hanya terkait dengan Indonesia dan Australia, tapi juga dengan Sri Lanka. Kepulauan Cocos adalah saksi perlawanan pro-kemerdekaan Sri Lanka. Di mana seorang Katolik Sri Lanka bernama Gratien Fernando (1915-1942)—kopral di garnisun artileri—bersama para prajurit sebangsanya, menurut James Hartfield dalam Unpatriotic History of the Second World War (2012), berontak pada 8 Mei 1942 (hlm. 261-262).

Mereka hendak melumpuhkan penguasa pulau dan mengontak Jepang agar menghancurkan basis Inggris di Pulau Horsburgh. Pemberontakan yang dipengaruhi kelompok nasionalis Sri Lanka itu gagal. Fernando, bersama prajurit Benny da Silva dan prajurit Carlo Gander, akhirnya dieksekusi mati di Penjara Welikada pada 4 Agustus 1942.

Baca juga artikel terkait PULAU atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan