Menuju konten utama

Kisah "Raja Maluka" Alexander Hare dan Para Haremnya

Alexander Hare yang mendapat mandat dari Raffles sempat menjadi raja sebentar di sebuah wilayah bernama Maluka, Kalimantan.

Kisah
Ilustrasi kapal Alexander Hare. tirto.id/Quita

tirto.id - Ada Malaka, ada Maluku, ada juga Maluka. Pada masa kolonial, seperti dicatat buku Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie (1863), Maluka adalah sebuah distrik (kecamatan atau kewedanaan) di Kalimantan Selatan. Saat Thomas Stanford Raffles berkuasa di Hindia Belanda atas nama Inggris, Maluka bahkan sempat dianggap kerajaan.

"Kerajaan" ini dipimpin oleh seseorang bernama Alexander Hare. Menurut F. Pridmore dalam Asian Territories (1962), “Maluka adalah negara kecil yang didirikan pada 1812 oleh Alexander Hare, dalam wilayah Kesultanan yang lebih tua Banjarmasin, di Kalimantan Selatan. Kerajaan ini eksis hingga tahun 1818 ketika Hare [sang pendiri] diusir Belanda.”

Hare adalah orang Inggris. Sebelum bercokol di Maluka, ia merupakan pegawai maskapai dagang Inggris East India Company (EIC). Menurut D.J.M. Tate dalam The European Conquest (1971), dia lahir antara tahun 1780-1885 sebagai anak tertua seorang pembuat jam yang cukup mapan di London.

Hare memulai karirnya dengan menjadi juru tulis perusahaan dagang (EIC) di Lisabon, Portugis. Setelah itu, dia pergi ke Kalkuta lalu Malaka, tempat dia membangun bisnisnya pada 1807. Di sana, setahun kemudian, dia berkenalan dengan Thomas Stanford Raffles. Perkenalan itu kemudian menjadi perkoncoan yang mengantarkan Hare tiba Kalimantan Selatan. Ketika Raffles menjabat Letnan Gubernur Jenderal di Indonesia, Hare diangkat jadi Resident Commissioner Inggris di sana pada 1812-1816.

Menurut buku terbitan Departemen Penerangan RI, Republik Indonesia Kalimantan, “Alexander Hare ke Banjarmasin dan meminta kepada Sultan sebuah tanah yang dijadikan miliknya yaitu jang melingkungi Maluka, Liang Anggang, Kurau dan Pulau Lamai.” Permintaan dikabulkan. Jadilah Hare raja kecil di Maluka.

Saat itu, jumlah perempuan Eropa di kawasan Asia minim, Maka, banyak laki-laki Eropa di Asia seenaknya kawin dengan perempuan Asia. Hanya segelintir dari laki-laki itu menikahi perempuan-perempuan Asia yang mereka tiduri.

Katika Hare dipindahkan ke Kalkuta, dia bertemu dengan budak perempuan yang masih berumur 14 tahun. “Dia kawini gadis penari 14 tahun bernama Dishta sebelum lebih lanjut berlayar ke timur,” tulis Tim Hannigan dalam Raffles and the British Invasion of Java (2012).

Menurut Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia, Volume 1 (2004), Dishta tadinya adalah seorang penari dari kumpulan penari dan penyanyi yang memberi hiburan pada pesta raja-raja, yang dibelinya dengan harga mahal.

Ketika Hare menjadi resident-commissioner di Kalimantan Selatan, Hare mendapat restu dari Raffles untuk “mendeportasi penjahat dan gelandangan dari Jawa ke lahan pedesaan milik Tuan (Hare) itu dekat Banjarmasin.” Demikian yang ditulis Bernard Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia (2008).

Menurut J. U. Lontaan dalam Menjelajah Kalimantan (1985), dari Raffles, Hare mendapat “bantuan 4.000 orang tenaga dari tahanan. Mereka dipekerjakan sebagai petani kopi, petani lada, petani sayur-mayur dan lain sebagainya. Di antara mereka terdapat juga orang-orang pandai kayu.” Selain itu, dari Sultan Banjar, Hare dapat 200 budak untuk membuka daerah yang dikuasakan pada Hare.

“Dari sejumlah budak tersebut, minat Hare terutama tertuju kepada budak-budak perempuan yang berasal dari berbagai etnis di nusantara,” tulis Rosihan.

Ada Moskina dari tanah Bugis, Sarinten Jagolan dari Sunda, Mariatim dari Timor, Kodarmina dari Papua. Dari luar nusantara, Hare tak mau ketinggalan. Selain Dishta dari India, Hare punya Marona dari Basuto, Afrika Selatan juga Nyo An dari Kanton, Tiongkok. Meski main gila sana-sini, Dishta tetap menjadi perempuan yang paling disayangi Hare.

“Hampir berusia 40 tahun dan memberikan beberapa anak kepada Hare namun masih tetap elok rupawan. Dishtalah yang memilih budak perempuan mana yang malam itu akan melayani kebutuhan (birahi) Tuan mereka,” tulis Rosihan.

Infografik Alexander Hare

Inggris tak lama di Indonesia. Pada 1816, Inggris memberikan tanah koloni Hindia Belanda kepada Kerajaan Belanda. Masa tugas Raffles pun berakhir. Hare yang merasa betah di Maluka akhirnya terusir juga di tahun 1818.

Hare lalu meninggalkan Maluka dengan membawa berkarung-karung kekayaannya. Dia sempat tinggal di Batavia dan kota lain di pesisir utara Jawa. Namun, orang-orang Belanda yang risih melihat hidup Hare bersama harem-haremnya kemudian mengusirnya. Ia kemudian angkat kaki dari Hindia Belanda pada Maret 1819. Dia sempat kabur ke Lombok, Bengkulu, dan Afrika Selatan.

Di Afrika Selatan, hidupnya tak tentram. Sebuah kapal pun dibeli. Kapal bernama Hippomenes itu membawa Hare beserta harta dan pengikutnya ke Kepulauan Cocos pada 1826. Perkampungan yang merupakan kerajaan surga bagi Hare pun berdiri di Pulau Beras. Tentu saja, Hare di sana masih bisa bersenang-senang.

“Hare punya kegemaran khas. Yaitu naik perahu bersama budak-budak perempuannya. Mereka pergi ke pantai yang sunyi. Di sana mereka mandi-mandi di laut jernih dalam keadaan setengah bugil. Kemudian pergi ke belakang belukar. Di sana Hare bermesraan dan bercintaan dengan perempuan anggota haremnya,” Rosihan Anwar menggambarkan hubungan Hare dan para perempuan di sekelilingnya. Setelah orang-orang berdatangan, di kepulauan itu akhirnya berdiri Kampung Melayu dan Kampung Banten.

Namun, hidup Hare yang semula tenang berubah ketika rombongan Kapten John Clunies Ross—bekas bawahan Hare—datang. Pengikutnya yang berjenis kelamin laki-laki pun menjadi ancaman. Satu per satu harem Hare menghilang karena terpikat oleh mereka. Koleksi harem yang semula 14 orang akhirnya tinggal 4 atau 5 orang.

Akhirnya, Hare pun angkat kaki. Setelah perjalanan panjang, dia tiba Bengkulu. Di Bengkulu, Hare berdagang rempah-rempah hingga ke pedalaman. Hare kemudian meninggal dunia di sana pada 1831, dengan mewariskan banyak harta untuk Dishta.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani