tirto.id - Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut siklon Seroja yang melanda NTT dan berdampak ke sebagian wilayah NTB sebagai siklon terbesar karena siklon pertama yang sampai ke daratan di Indonesia.
"Inilah pertama kali terjadi. Bedanya siklon-siklon sebelumnya, siklon ini masuk ke daratan padahal pada umumnya, siklon yang terjadi di Indonesia itu tidak masuk ke daratan," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam konferensi pers daring, Selasa (6/4/2021).
Dwikorita lantas menunjukkan peta yang memperlihatkan bentuk angin berwarna merah. Warna merah menandakan angin tersebut sudah berkekuatan tinggi. Angin yang berasal dari siklon Seroja itu pun masuk ke Kupang.
Dwikorita lantas membandingkan dengan siklon Cempaka yang merupakan salah satu siklon terkuat di Indonesia. Kala itu, siklon Cempaka hanya sedikit menyentuh daratan karena berpusat di laut. Begitu masuk ke darat, siklon tersebut pecah dan berurai.
"Tetapi yang saat ini mulai berkembang saja sudah kena pulau. Dan itulah yang membuat lebih dahsyat. Bayangkan kecepatannya saat terbentuk bisa sampai pusarannya 85 km per jam," kata Dwikorita.
Sementara itu, siklon Seroja saat terbentuk sudah berada di Kupang. Kondisi langsung dengan pusaran kecepatan tinggi berada di darat. "Ini yang baru pertama kali terjadi di Indonesia," kata Dwikorita.
Dari sisi kekuatan, kata Dwikorita, siklon Seroja termasuk yang terkuat. Sejak 2008, Indonesia mengalami 10 kali siklon tropis yakni 2010 sebanyak 1 kali, 2014 sebanyak 1 kali dan lalu 2-4 tahun sekali.
"Tetapi sejak 2017, itu setiap tahun selalu terjadi. Setiap tahun dan bahkan dalam setahun bisa dua kali dan Seroja ini baru yang pertama kali benar-benar cukup dahsyat, karena masuk sampai ke daratan. Ini tidak lazim," kata Dwikorita.
Oleh karena itu, Dwikorita menyarankan perlu evaluasi dalam segala kegiatan di masa depan. Sebab, berdasarkan temuan BMKG, penyebab siklon adalah semakin panasnya suhu muka air laut yang tentunya laut itu tempat mengabsorbsi CO2. Absorbsi tersebut lantas adalah dampak dari gas rumah kaca, bisa dirunut ke siklon.
"Ini baru hipotesis ya, tapi ada korelasi dengan peningkatan suhu muka air laut yang dipengaruhi juga oleh global warming," tutur Dwikorita.
"Nah jadi itulah yang perlu kita sadari bersama, global warming memang benar-benar harus dimitigasi. Kalau tidak, kondisi siklon ini akan menjadi kejadian rutin setiap tahun, menjadi hal yang normal. Ini yang harus kita antisipasi bersama," kata Dwikorita.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz