Menuju konten utama

Kenapa Menag Lukman Tak Kunjung Jadi Tersangka Jual Beli Jabatan?

Lukman membenarkan soal duit Rp10 juta. Namun, ia mengklaim uang itu sudah dilaporkan ke KPK sebagai bentuk gratifikasi.

Kenapa Menag Lukman Tak Kunjung Jadi Tersangka Jual Beli Jabatan?
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menunggu untuk menjalani pemeriksaan di kantor KPK, Jakarta, Rabu (8/5/2019). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

tirto.id - Perkara dugaan jual beli jabatan di Kementerian Agama memasuki babak baru. Dalam sidang lanjutan praperadilan yang diajukan tersangka Romahurmuziy, tim biro hukum KPK membeberkan soal keterlibatan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dalam proses promosi Haris Hasanuddin menjadi Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur.

Namun, hingga saat ini, komisi antirasuah belum menetapkan Lukman sebagai tersangka. Politikus PPP itu baru dipanggil sebagai saksi untuk tersangka Romahurmuziy dalam perkara jual beli jabatan di Kementerian Agama ini.

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar menilai KPK sebenarnya bisa saja menetapkan Lukman sebagai tersangka. Ficar berkata, berdasarkan penjelasan KPK di sidang praperadilan Romahurmuziy, Lukman setidaknya bisa dijerat dengan Pasal 55 KUHP tentang penyertaan dalam tindak pidana.

Sebab, kata Ficar, Lukman Hakim telah turut aktif dalam praktik jual beli jabatan yang dilakukan Romahurmuziy yang kini telah jadi tahanan KPK. Selain itu, Lukman juga bisa dijerat dengan Pasal 56 KUHP yang juga bicara tentang penyertaan dalam tindak pidana.

“Menteri LH [Lukman Hakim] bisa dianggap [turut] serta jika dia mengetahui yang dilakukan RMY [Romahurmuziy] yang seharusnya melarang, tapi mendiamkannya, karena itu bisa ditafsirkan sebagai peserta,” kata Ficar saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (8/5/2019).

Dalam sidang praperadilan tersebut, tim biro hukum KPK menjelaskan, Haris Hasanudin mengikuti seleksi Kakanwil Kemenag Jawa Timur pada Desember 2018 hingga Maret 2019. Saat itu, Haris menjabat sebagai Plt Kemenag Jatim.

Niat Haris terkendala karena pernah mendapatkan sanksi disiplin berupa penundaan kenaikan gaji selama setahun. Padahal, salah satu syarat untuk lolos ialah tidak pernah mendapatkan sanksi disiplin sedang atau berat.

Haris lantas bertemu dengan Romahurmuziy dan Lukman Hakim. Kepada Romi dan Lukman, Haris menceritakan masalah yang menimpa dirinya. Pertemuan itu difasilitasi Ketua DPW PPP Jawa Timur Musyafaq Nur.

“Lukman Hakim Sayifuddin dan Romahurmuziy mengatakan akan membantu Haris Hasanudin dalam proses seleksi tersebut,” kata tim biro hukum KPK.

Akhirnya, pada 3 Januari 2019, Haris Hasanudin dinyatakan lulus dalam seleksi administrasi Kakanwil Kemenag Jawa Timur. Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) melihat kejanggalan dalam kelulusan itu dan meminta Menteri Lukman membatalkan keputusan tersebut.

Namun, Lukman tak mau menarik keputusannya. Ia berdalih pemilihan Haris sudah melalui seleksi. Selain itu, Haris juga disebut menempati posisi tiga besar sehingga layak dipertimbangkan di proses selanjutnya.

Setelah dinyatakan lulus, pada 6 Februari 2019, Haris menyambangi kediaman Romahurmuziy di Condet, Jakarta Timur. Haris menyerahkan uang sebesar Rp250 juta dalam tas jinjing berwarna hitam kepada Romi. Uang itu merupakan tanda terima kasih terhadap Romi, sekaligus komitmen dukungan kepada PPP.

Sebulan berselang, Haris dilantik sebagai Kakanwil Kemenag Jawa Timur. Lantas, ia mengirim pesan singkat kepada Romahurmuziy guna menyampaikan terima kasih kepada Romi dan Menteri Lukman.

“Alhamdulillah dengan bantuan yang luar biasa dari panjenengan dan Menteri Agama akhirnya sore ini saya selesai dilantik dan selanjutnya mohon arahan dan siap terus perkuat barisan PPP khususnya Jawa Timur,” demikian isi pesan tersebut sebagaimana dibacakan tim KPK.

Tak hanya itu, Haris pun memberikan uang Rp10 juta kepada Menteri Lukman pada 9 Maret 2019. Pemberian itu terjadi dalam kunjungan Menteri Agama ke salah satu pesantren di Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur. Uang itu masih terkait dengan pelantikan Haris.

Selain itu, penyidik KPK juga pernah menggeledah ruang kerja Lukman Hakim, pada Senin (18/3/2019). Penyidik kemudian menemukan dan menyita uang sebesar Rp180 juta dan 30 ribu dolar AS. Uang itu diduga terkait dengan jual beli jabatan di lembaga Ikhlas Beramal itu.

KPK Terapkan Prinsip Kehati-hatian

Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Oce Madril menilai KPK harus tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam menangani kasus ini. Sebab, kata dia, tidak semua informasi bisa dijadikan alat bukti, tapi harus diklarifikasi termasuk ke Lukman Hakim sendiri.

Oce mengatakan, KPK perlu menunggu putusan praperadilan yang diajukan Romahurmuziy disampaikan majelis hakim. “Menunggu praperadilan Romi itu untuk melihat apakah proses penegakan hukum kemarin itu bermasalah atau tidak dari sisi prosesnya,” kata Oce.

Selain itu, kata Oce, meskipun KUHAP mengatakan orang sudah bisa ditersangkakan jika terdapat dua alat bukti permulaan, tapi KPK tidak boleh hanya mengejar batas minimum tersebut.

Lukman Hakim sendiri hadir di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta pada Rabu (8/5/2019) pagi. Ia baru keluar dari gedung KPK sekitar pukul 15.00 WIB.

Lukman kepada awak media membenarkan bahwa dirinya menerima uang Rp10 juta tersebut. Namun, kata Lukman, uang itu sudah dilaporkan ke KPK sebagai bentuk gratifikasi.

“Jadi saya tunjukkan tanda bukti laporan yang saya lakukan bahwa uang itu saya serahkan kepada KPK karena saya merasa tidak berhak untuk menerima uang itu,” kata Lukman di lobi Gedung KPK.

Namun, Lukman enggan membicarakan lebih lanjut soal perkara, termasuk soal dugaan pertemuan atau uang yang ditemukan penyidik di meja kerjanya. Ia hanya berjalan meninggalkan Gedung KPK seraya meminta awak media menanyakan langsung ke penyidik.

Baca juga artikel terkait JUAL BELI JABATAN atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz