Menuju konten utama

Kenaikan UMP 8,03 Persen: Beratkan Pengusaha, Ditentang Buruh

Setiap tahun, buruh dan pengusaha berbeda pendapat soal kenaikan UMP. Bagi buruh, kenaikan tersebut masih dianggap jauh dari KHL.

Kenaikan UMP 8,03 Persen: Beratkan Pengusaha, Ditentang Buruh
Massa buruh dari berbagai aliansi melakukan aksi di Jl. Merdeka Barat, Jakarta Pusat,Jumat (10/11/2017). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengumumkan Upah Minimum Provinsi (UMP) naik sebesar 8,03 persen pada 2019. Keputusan ini diambil dengan memperhitungkan tingkat inflasi dan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), sebagaimana tercantum dalam Surat Edaran Menaker Nomor B.240/M-NAKER-PHI9SK-UPAH/X/2018 tertanggal 15 Oktober 2018.

Besaran kenaikan UMP sebesar 8,03 persen ini mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Dalam regulasi ini dijelaskan, formulasi penghitungan didasarkan pada UMP tahun berjalan dikalikan dengan angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Inflasi nasional ditetapkan sebesar 2,88 persen dan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,15 persen. Dengan demikian, UMP 2019 harus ditetapkan dan diumumkan gubernur secara serentak pada 1 November 2018.

Lazimnya tiap tahun, pro-kontra terkait kenaikan UMP 2019 ini kembali muncul, khususnya di kalangan pengusaha dan buruh. Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jakarta, Sarman Simanjorang, misalnya, menilai kenaikan UMP 2019 sebesar 8,03 persen masih belum tepat dan perlu dikaji ulang.

Sarman menyatakan, kenaikan UMP yang mengacu pada PP 78 itu masih memberatkan pengusaha dan abai terhadap faktor eksternal yang mempengaruhi dunia usaha, seperti menguatnya dolar terhadap rupiah.

"Kami rasakan melemahnya nilai rupiah berdampak pada biaya operasional yang dialami pengusaha. Apalagi pemerintah menerapkan hampir semua komoditi impor dan di antara komoditi itu banyak bahan baku yang dibutuhkan industri," kata dia kepada reporter Tirto, Kamis (18/10/2018).

Karena itu, kata Sarman, kenaikan UMP 2019 harus benar-benar dikaji secara tepat, sebab berpengaruh terhadap investasi di Indonesia yang ujung-ujungnya akan menciptakan lapangan pekerjaan baru.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani menilai kenaikan upah seberapa 8,03 persen yang mengacu pada PP 78 adalah opsi terbaik yang bisa diambil saat ini.

Sebab, kata dia, bila dibandingkan dengan kondisi sebelum PP 78 keluar, kenaikan upah yang diatur hanya berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Sehingga, kenaikan upah hampir selalu sama dengan hasil survei kebutuhan hidup layak (KHL).

"UMP itu sebetulnya adalah salah satu yang membuat pendapatan pekerja pemula, tidak ada pengalaman dan lajang. Itu dulu prinsipnya, tapi dalam kurun waktu lebih dari 10 tahun itu berubah, bukan jaring pengaman lagi tapi pada kenyataannya menjadi upah rata-rata," kata Haryadi.

Dalam beleid itu, kata Haryadi, "upah minimum itu diarahkan menuju KHL, artinya KHL sebagai plafon atas."

Jika hal itu dibiarkan, kata dia, industri padat karya lama-kelamaan akan terus berkurang karena tak sanggup membayar upah para pekerja. Hal ini, menurut Haryadi, akan meningkatkan jumlah pengangguran lantaran hampir 50 persen tenaga kerja di Indonesia merupakan lulusan sekolah menengah pertama (SMP).

Skill mereka terbatas dan harus diarahkan ke industri padat karya atau UMKM. Jadi ini pilihan terbaik dari yang ada. Kalau enggak ada PP 78, lebih enggak bisa diprediksi lagi kebaikannya,” kata dia.

Sebaliknya, Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos menyampaikan, persentase kenaikan masih terbilang rendah. Apalagi, kenaikan itu disertai dengan meningkatnya harga-harga kebutuhan pokok.

"Misalnya, tarif dasar listrik naik, maka kami akan membayar dengan harga lebih mahal. Ini bertolak belakang dengan Nawa Cita yang ingin mewujudkan hidup dan pekerjaan layak," kata dia kepada reporter Tirto.

Selain itu, kata Nining, Surat Edaran Menaker dinilai merugikan sejumlah daerah, lantaran gubernur tak dapat menetapkan besaran upah minimum lebih tinggi dari UMP.

"Artinya bagi kabupaten/kota yang tidak mengajukan atau merekomendasikan kenaikan upah kepada gubernur yang berdasarkan pada ketidakmampuan, maka di daerah itu tidak ada kenaikan. Hal itu merugikan kaum buruh,” kata Nining.

Nining melanjutkan, kenaikan upah yang dibatasi dengan inflasi dan PDB nasional dalam PP 78 dapat dipastikan nilainya akan sangat kecil. "Dengan kata lain, pemerintah telah membuat kebijakan yang berorientasi pada politik upah murah," kata Nining.

Kenaikan UMP Tak Perlu Dipukul Rata

Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Atma Jaya Surya Tjandra menyebut kenaikan upah minimum provinsi pada 2019 sebenarnya tidak bisa dipukul rata. Karena itu, menurut dia, nantinya kenaikan di tiap daerah harus didasarkan pada survei kebutuhan layak hidup (KLH) yang berbeda-beda.

"Dari dulu, kan buruh nuntutnya UMP itu disesuaikan dengan KLH," kata Surya kepada reporter Tirto.

Jika UMP itu berlaku sama di tiap daerah, kata dia, maka disparitas atau perbedaan gaji yang ada selama ini akan sulit untuk dihilangkan. Di Provinsi Jawa Tengah, misalnya, hanya naik sebesar Rp119.331 dari Rp1.486.065 menjadi Rp1.605.396.

Angka ini terbilang cukup kecil, terutama untuk daerah perkotaan seperti Semarang dan Solo. Biaya hidup di dua daerah itu, kata Surya, tak berbeda jauh dengan wilayah Jabodetabek.

"Jateng butuh kenaikan lebih tinggi. Kalau tidak, akibatnya terjadi disparitas upah yang lumayan jomplang. Buruh pertama baru kerja 0 tahun, itu enggak sampai dua juta," kata dia.

Meski demikian, Surya menyampaikan, ada hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan pemerintah dalam penetapan UMP. Di antaranya, menurunkan harga kebutuhan pokok atau setidaknya membuat harga stabil.

Menurut Surya, intervensi dari pemerintah berupa subsidi bagi para pekerja juga diperlukan jika angka yang ditetapkan tidak dikehendaki buruh. Di Jakarta, misalnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberikan subsidi pangan dan transportasi bagi para buruh lewat Kartu Pekerja.

Hal ini, kata Surya, lebih fair tetapi dengan catatan program-program subsidi dengan kartu itu berjalan lancar. Di Jakarta penghitungan kenaikan upah yang tidak sesuai memang menuai protes dan menyebabkan ribuan buruh berdemo di depan Balai Kota.

Para buruh bahkan sempat membandingkan Anies dengan Ahok yang dianggap tukang marah, tapi berani menaikkan UMP di atas patokan PP 78/2015. Pada 2016, misalnya, Ahok sempat memutuskan tidak menggunakan PP 78/2015 dan menaikkan UMP 2016 sebesar 14,8 persen.

"Jadi sebenarnya waktu itu enggak beda jauh, tapi ada regresi. Karena waktu itu pengitungan di Oktober, dan berlaku Januari, November dan Desember juga dihitung ulang. Makannya kalau di Jakarta UMP pasti lebih tinggi dari KLH waktu itu," kata Surya.

--------------------

Ralat: sebelumnya di judul tertulis "Kenaikan UMP 2019 8,3" direvisi menjadi "Kenaikan UMP 8,03" per pukul 17. 30 WIB. Kami mohon maaf atas ketidakcermatan ini.

Baca juga artikel terkait KENAIKAN UMP atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz