Menuju konten utama

Kenaikan Tarif Ojol Dinilai Tak Tingkatkan Kesejahteraan Pengemudi

Menurut Rumayya, kenaikan tarif ojek online ini tidak meningkatkan kesejahteraan pengemudi karena ada penurunan jumlah konsumen. 

Kenaikan Tarif Ojol Dinilai Tak Tingkatkan Kesejahteraan Pengemudi
Pengemudi ojek online (ojol) menunggu penumpang di kawasan Paledang, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (26/3/2019). Kemenhub membuat kisaran tarif ojol bagi area Jabodetabek tanpa potongan (nett) dengan batas bawah Rp 2.000/km dan batas atas Rp 2.500/km. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/pd.

tirto.id - Pemerintah sedang menerapkan masa uji coba kenaikan tarif ojek online (Ojol) sejak 1 Mei 2019. Kebijakan ini berdasarkan, Ketetapan Peraturan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) No. 348/2019 yang membahas mengenai aturan batas atas dan bawah dari tarif ojek online.

Namun, aturan tersebut dikeluhkan oleh pihak Go-Jek karena terjadi penurunan penumpang lantaran konsumen menilai tarifnya lebih tinggi. Bahkan Go-Jek sempat menurunkan tarif dari Rp2.500 menjadi Rp1.900 pada Sabtu, meskipun pada akhirnya dinaikkan kembali menjadi Rp2.500.

Peneliti Research Institute of Socio-Economic Development (RISED) sekaligus ekonom dari Universitas Airlanga, Rumayya Batubara mengatakan, berdasarkan hasil survei RISED, kenaikan tarif ojek online ternyata tidak menjamin peningkatan kesejahteraan para pengemudi.

"Kalau kondisinya kemudian jadi ada penurunan [konsumen] kan tidak akan meningkatkan kesejahteraan pengemudi Ojol," ujar Rumayya dalam diskusi “Diseminasi Hasil Riset Survei Persepsi Konsumen terhadap Kenaikan Tarif Ojek Online” di Gado-gado Boplo, Kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Senin, (6/5/2019).

Survei ini dilakukan pada 3.000 konsumen ojek online di sembilan wilayah Indonesia yang mewakili 3 zona yang disebut dalam Kepmenhub tersebut, yaitu Jabodetabek, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Medan, Semarang, Palembang, Makassar, dan Malang, dan dilakukan dari 29 April sampai 3 Mei 2019.

"Tarif atau biaya jasa yang tertera pada Kepmenhub No. 348 tahun 2019 merupakan tarif bersih yang akan diterima pengemudi. Artinya, tarif yang harus dibayar konsumen akan lebih mahal lagi, mengingat harus ditambah biaya sewa aplikasi," papar dia.

Ia menjelaskan, dengan asumsi tambahan biaya sewa aplikasi sebesar 20 persen, tarif batas bawah yang harus dibayar oleh konsumen di Jabodetabek adalah sebesar Rp2.500/km, bukan seperti yang tertera di Kepmenhub yang menyatakan Rp 2.000/km.

Di Zona I yaitu kawasan Jawa non-Jabodetabek, Bali, dan Sumatera biasanya konsumen yang akan melakukan perjalanan sekitar 7-10 km/hari. Kemudian ada pula Zona ll yaitu Jabodetabek, konsumen yang akan melakukan perjalanan sekitar 8-11 km/hari. Kemudian ada pula Zona Ill konsumen yang akan melakukan perjalanan sekitar 6-9 km/hari.

Ia merumuskan, dengan skema tarif yang berpedoman pada Kepmenhub tersebut dan jarak tempuh sejauh itu, diprediksi pengeluaran konsumen akan bertambah sebesar Rp4.000-11.000/hari di Zona I. Kemudian Rp6.000-15.000/hari di Zona ll. Kemudian Rp5.000-12.000/hari di Zona Ill.

"Dengan bertambahnya pengeluaran sebesar itu sudah memperhitungkan kenaikan tarif minimum untuk jarak tempuh 4 km ke bawah. Jangan lupa tarif minimum juga mengalami peningkatan. Misalnya di Jabodetabek dari sebelumnya Rp 8.000 menjadi Rp 10.000-12.500," papar dia.

Perhitungan soal bertambahnya pengeluaran sebesar itu akan ditolak oleh 47,6 persen kelompok konsumen yang hanya mau mengalokasikan pengeluaran tambahan untuk ojol maksimal Rp4.000-5.000/hari. Bahkan, sebenarnya ada pula 27,4 persen kelompok konsumen yang tidak mau menambah pengeluaran sama sekali.

Baca juga artikel terkait HARD NEWS atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Alexander Haryanto