tirto.id - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengingatkan efek dari pembatalan kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional oleh Mahkamah Agung (MA).
Ia mengatakan, hal tersebut bakal berdampak pada keberlanjutan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
“Apakah presiden sudah diinformasikan? Sudah. Yang kita lakukan ini dipelajari, konsekuensinya sangat besar pada keberlangsungan program JKN,” ucap Sri Mulyani dalam konferensi pers di Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu, Selasa (10/3/2020).
Sri Mulyani juga menyampaikan bahwa penyusunan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 yang memuat kenaikan tarif iuran JKN telah mempertimbangkan banyak hal, mulai dari peserta yang mampu, tidak mampu, kesehatan keuangan, sampai kewajiban atau tunggakan BPJS Kesehatan ke rumah sakit atau puskesmas.
Adapun dalam perpres terbaru itu, pasal 34 memuat tentang besaran iuran BPJS Kesehatan bagi Pekerja Bukan Penerima Upah dan peserta Bukan Pekerja (BP).
Pasal 34 ayat 1 menyatakan iuran PBPU dan peserta BP senilai Rp42 ribu bagi peserta kelas 3, Rp110 ribu bagi peserta kelas 2, dan Rp 160 ribu bagi peserta kelas 1. Pasal 34 ayat 2 Perpres tersebut menyatakan kalau besaran iuran berlaku per tanggal 1 Januari 2020.
“Rumah sakit apoteker, dokter dan non dokter. Semua ekosistem itu yang coba kita tuangkan salam perpres itu. Keputusan ini (pembatalan kenaikan) membuat semua berubah,” ucap Sri Mulyani.
Kendati demikian, ia mengatakan pemerintah akan menyiapkan langkah-langkah alternatif untuk tetap mengamankan nasib sistem JKN yang tengah mengalami defisit ini. Salah satunya ia juga akan meminta BPJS Kesehatan lebih transparan dalam pengelolaannya.
“Kami akan minta BPJS Kesehatan lebih transparan. Biaya operasi, bayar gaji, utang, defisit, dan jatuh tempo. Supaya masyarakat tahu ini masalah kita bersama,” tandasnya.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana