tirto.id - Penerbitan surat utang luar negeri PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) dipersoalkan menyusul buruknya rating obligasi BBB serta kenaikan bunga refinancing. Kondisi tersebut dinilai dapat mendistorsi kinerja saham perseroan ke depan.
Assistant Vice President Fixed Income RHB Sekuritas, Adra Wijasena mengatakan, perseroan harus memasang kupon obligasi lebih tinggi akibat peringkat obligasi BBB- dari Fitch Ratings yang merupakan investment grade paling rendah.
Dengan kualitas obligasi serendah itu, lanjut Adra, total biaya bunga (cost of fund) yang dikeluarkan perseroan juga akan semakin tinggi. Di sisi lain, US Treasury yang menjadi benchmark penerbitan global bonds juga tengah memasuki tren kenaikan bunga pada saat ini.
Mengacu pada yield obligasi INDON28 (maturity April 2028) dengan peringkat BBB, kupon yang ditawarkan sekitar 4,45 persen.
“Karena ratingnya lebih rendah, wajar kalau perseroan harus tawarkan kupon lebih tinggi yaitu 5,15 persen karena risiko investasinya juga sangat tinggi,” ujarnya kepada wartawan, dikutip Selasa (2/5/2023).
Adra turut mengingatkan terdapat sejumlah risiko yang harus dihadapi perseroan dalam penerbitan surat utang luar negeri ini. Pertama risiko likuiditas, di mana bank sentral global saat ini tengah pada fase pengetatan (tightening). Selain itu, ia khawatir jika penyerapan obligasi yang ditawarkan PGEO tidak berjalan optimal.
“Dengan rating BBB- dan kondisi global yang seperti ini takutnya investor bersikap risk averse. Jadi menghindari dulu obligasi-obligasi yang rating-nya rendah,” ungkapnya
Pada kesempatan terpisah, CEO Finvesol Consulting Fendy Susianto mengatakan, kenaikan kupon/bunga pinjaman yang diraih PGEO akan berdampak pada cost of equity capital, yaitu tingkat pengembalian yang diinginkan oleh penyedia dana, baik investor maupun kreditur dan berkaitan dengan risiko investasi atas saham perseroan.
“Jadi cost of equity naik dan ini akan berisiko penurunan harga saham, kecuali kalau pada restructuring atau refinancing ini dapat bunga yang lebih bagus,” ujarnya.
Melihat kondisi saat ini, Fendy pesimistis emiten yang berbisnis panas bumi tersebut dapat mendapatkan kupon obligasi lebih rendah dari bunga pinjaman sebelumnya. Dia mengacu pada kondisi ekonomi global, di mana suku bunga Bank Sentral AS alias the Fed telah naik secara agresif beberapa tahun terakhir.
“Belum kalau investornya men-consider kenaikan suku bunga lagi, jadi kupon obligasinya mungkin bisa lebih tinggi,” paparnya.
Fendy menyebut tak banyak opsi bagi PGEO untuk menyelesaikan permasalahan ini karena jatuh tempo pinjaman yang kian dekat, yaitu Juni 2023. Sehingga perseroan mau tidak mau harus melakukan sebuah aksi korporasi untuk menutupi utangnya.
“Potensi calls refinancing mesti dilakukan sekalipun jadi sentimen buruk bagi pelaku pasar. Dari sisi likuiditas, kebijakan ini harus diambil. Tapi dari sisi performance, perbandingan kupon obligasi dengan bunga pinjaman yang lama pasti akan memburuk, karena biayanya lebih tinggi, interest expand-nya lebih besar," tegasnya
PGEO sendiri berencana menerbitkan surat utang berwawasan hijau alias green bonds di luar wilayah Indonesia sebesar 400 juta dolar AS atau sekitar Rp6 triliun dengan kupon 5,15 persen per tahun yang jatuh tempo pada tahun 2028.
Anak usaha Pertamina ini akan menggunakan dana hasil emisi obligasi untuk melunasi seluruh sisa utang sebanyak 400 juta dolar AS dengan bunga di bawah 5 persen yang diraih pada Juni 2021 melalui sebuah sindikasi. Fasilitas pinjaman tersebut akan jatuh tempo pada 23 Juni tahun ini.
Corporate Secretary PT Pertamina Geothermal Energy, Muhammad Baron mengklaim, tingkat kupon yang diberikan atas obligasi yang diterbitkan Perseroan masih berada dalam batas wajar. Hal ini karena berada di dalam kisaran kupon surat utang pembanding dengan rating serupa dan jatuh tempo berkisar pada tahun 2027-2029.
"Penggunaan dana untuk pembayaran utang juga sudah sesuai dengan Eligibility Criteria yang telah ditetapkan dalam Green Financing Framework PGE sehingga tidak akan berisiko bagi keberlangsungan Perseroan," kata Baron kepada Tirto.
Baron mengatakan jika dibandingkan pinjaman bank yang memiliki rate dan risiko lebih tinggi, green bond yang pada dasarnya merupakan bentuk fundraising berwawasan lingkungan. Menurutnya ini lebih menguntungkan karena dapat memberikan premium/discount dari investor fixed income yang memiliki kepedulian terhadap pengembangan bisnis berwawasan lingkungan, misalnya panas bumi.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang