tirto.id - Direktur Jenderal (Dirjen) Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Rasio Ridho Sani mengatakan, pihaknya telah menerapkan pengawasan dan sanksi berlapis untuk menata pelaksanaan perizinan yang diterbitkan kementerian tersebut.
“KLHK melakukan pengawasan terhadap perizinan yang diterbitkan oleh gubernur dan bupati/wali kota, apabila pemerintah daerah tidak melaksanakan pengawasan terhadap izin yang diterbitkan sebagaimana yang tercantum pada pasal 76 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup," ujarnya, di Jakarta, Sabtu (3/12/2016).
Dalam kurun waktu dua tahun sepanjang 2015 sampai dengan 2016, telah dilakukan pengawasan terhadap 684 izin. Terdiri dari 225 izin di tahun 2015 dan 459 izin di tahun 2016. Dari 225 izin yang diawasi pada tahun 2015, sebanyak 57 izin dari sektor Industri, Prasarana dan Jasa.
Selain itu 168 izin dari sektor sumber daya alam. Sedangkan 2016 sebanyak 189 izin dari sektor Industri, prasarana dan jasa. Ditambah 270 izin dari sektor sumber daya alam.
Hasil Pengawasan ditindaklanjuti dengan pemberian surat rekomendasi penegakan hukum berupa sanksi administrasi, hingga penegakan hukum pidana. "Instrumen penegakan hukum menggunakan tiga pendekatan yaitu penerapan sanksi administrasi, penegakan hukum pidana dan penegakan hukum perdata," kata dia.
Sepanjang tahun 2015-2016, KLHK telah memberikan 241 sanksi administratif kepada beberapa perusahaan yang telah melanggar aturan. Sanksinya berupa pencabutan izin (3 perusahaan), pembekuan izin (16 perusahaan), paksaan pemerintah (84 perusahaan), teguran tertulis (23 perusahaan) dan surat peringatan (115 perusahaan).
Sementara untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup (penegakan hukum perdata), dilakukan melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Penyelesaian di luar pengadilan dilakukan melalui negosiasi, fasilitasi dan mediasi. Penyelesaian sengketa LH dilakukan terhadap industri, prasarana dan jasa dan pengelolaan sumber daya alam.
Sepanjang 2015-2016, ada 19 kasus ditangani melalui pengadilan (gugatan) dan 64 kasus ditangani di luar pengadilan (kesepakatan).
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan dilakukan untuk kasus kebakaran hutan, penebangan tumbuhan yang dilindungi dan penambangan pasir kuwarsa.
Besar ganti kerugian dari kasus yang dikabulkan gugatannya oleh pengadilan baik tingkat pengadilan negeri sampai dengan peninjauan kembali adalah sebesar Rp5.625.853.658.500 yang terdiri dari kerugian lingkungan sebesar Rp4.425.102.151.500 dan biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp1.200.751.507.000.
Sedangkan untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar Pengadilan dilakukan untuk kasus pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. KLHK sebagai penggugat dan fasilitator antara masyarakat dengan perusahaan, berhasil memperoleh hasil dengan nilai total kerugian lingkungan yang telah disepakati sepanjang 2015-2016, mencapai Rp 28.849.649.054 dari 18 perusahaan.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz