tirto.id - Pemerintah Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka tengah menyusun Rancangan Peraturan Presiden tentang Peta Jalan Perlindungan Anak di Ranah Daring. Rancangan Perpres ini merupakan bentuk kehadiran negara untuk melindungi anak-anak yang rentan menjadi korban kekerasan di ranah daring.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Ratna Susianawati, mengatakan Perpres ini salah satunya akan mengatur pembatasan anak dalam menggunakan media sosial. Sebab penggunaan media sosial yang tidak bijak dan tanpa batas menurutnya menjadi cikal bakal terjadinya Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).
Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2024, korban terbesar KBGO berada pada rentang usia 15-19 tahun, tetapi ada tren yang ditemukan bahwa usia 25-29 menjadi kelompok yang rentan menjadi korban KBGO. Namun demikian, prevalensi cenderung menurun dari 2021 di setiap kelompok umur (15-19; 20-24; 25-29; dan 30-40) untuk KBGO setahun terakhir.
“Memang saat ini terjadi peningkatan tren dalam setahun terakhir ya penggunaan media sosial ini usia 25-29 itu juga usia-usia produktif. Itu juga penggunaan media sosial yang masif yang kemudian juga dampaknya luar biasa. Ini yang harus diantisipasi, kekerasan berbasis gender online,” ujar dia saat dihubungi oleh Tirto, Kamis (26/12/2024).
Oleh karena itu, Ratna berharap, lewat Peta Jalan Perlindungan Anak di Ranah Daring kasus-kasus KBGO ke depannya bisa diminimalisir. Di samping itu, dalam implementasi aturan ini juga perlu dibarengi dengan peran dari seluruh masyarakat termasuk orang tua.
“Perpres untuk perlindungan anak di ranah daring itu bagus banget lah menurut saya,” ucap dia.
Kepada Tirto, Ratna juga membeberkan berbagai peran pemerintah termasuk kementeriannya untuk meminimalisir terjadinya KBGO terhadap perempuan dan anak. Ia juga menceritakan bagaimana mestinya peran orang tua dalam melindungi anaknya dari kekerasan. Bagaimana isi lengkapnya? Berikut petikan wawancara Tirto dengan Ratna Susianawati.
Kasus kekerasaan seksual di media sosial semakin masif, atau istilah lainnya dikenal KBGO. Dari Kementerian PPPA sendiri bagaimana? Apa yang sudah dilakukan untuk mengantisipasi kejadian tersebut?
Kalau bicara fenomena kekerasan, ini kan fenomena gunung es ya. Kita itu dihadapkan pada situasi yang, karena fenomena gunung es, kemudian banyak kasus-kasus kekerasan yang kemudian tidak terlaporkan karena berbagai alasan.
Tapi sejatinya kita itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sejak 2016 mengadakan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) untuk perempuan. Dan kalau anak di 2018 itu ada Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR). Survei ini kemudian dilanjutkan lima tahun berikutnya 2021, kemudian tiga tahun berikutnya.
Di 2024 ini ada survei lagi untuk perempuan ya. Sejatinya survei itu adalah untuk melihat sejauh mana sih prevalensi kekerasan dalam berbagai bentuk itu terjadi kepada perempuan. Maka, survei ini menjadi satu kebutuhan sebagai baseline.
Ini diinisiasi tidak hanya oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, tetapi pemerintah melihat ada satu urgensi untuk mengatur keseriusan, untuk menentukan nanti kebijakannya apa, langkah-langkah yang harus kita lakukan seperti apa.
Karena memang kan penanganan kekerasan ini dalam berbagai bentuk tidak hanya menjadi tanggung jawab salah satu kementerian, ya. Tapi karena memang tingkat kerentanan, kemudian juga risiko yang terjadi terhadap perempuan dan anak itu lebih besar, dan korbannya juga lebih besar perempuan dan anak, survei ini kemudian dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Tapi intervensinya kan harus dilakukan semua pihak. Tidak mungkin kan hanya dilakukan sendiri-sendiri. Bagaimana semua kementerian dan lembaga melakukan upaya-upaya terutama di hulunya, pencegahan ini. Sering kali kan kejadian sudah terjadi gitu ya, tapi yang penting itu adalah pencegahannya, di hulunya. Selanjutnya untuk penanganan pemulihan termasuk sekarang ini harus dipikirkan ya pemberdayaan membuka aksesibilitas pemberdayaan itu sendiri.
Apa hasil dari survei yang sudah dilakukan Kementerian PPPA?
Dari hasil survei ini juga menunjukkan kalau untuk perempuan, kasus kekerasan yang tertinggi itu memang masih Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), ya. Sementara kalau anak itu masuknya kekerasan seksual.
Kalau kita melihat saat ini, kalau bicara kekerasan berbasis gender online, itu memang banyak karena dipicu oleh masifnya penggunaan teknologi sekarang ini, seperti media sosial kemudian perangkat-perangkat teknologi lainnya. Tapi di satu sisi memang kan kita nggak bisa menghindari ya saat ini memang globalisasi. Karena juga transformasi media yang sebagian cepat. Itu yang harus menjadi perhatian.
Lalu bagaimana upaya pencegahan dilakukan pemerintah dalam hal ini?
Dari sisi regulasi, kita sudah punya satu yang namanya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Undang-Undang yang dengan perjalanan yang sangat panjang, meskipun sudah ada Undang-Undang ITE, sudah ada Undang-Undang Perlindungan Anak.
Kalau untuk menghapuskan kekerasan dalam rumah tangga sudah ada Undang-Undang KDRT. Kalau untuk tindak pidana perdagangan sudah ada undang-undang TPPO, dan lainnya gitu ya.
Tapi ternyata kekerasan seksual ini kan luar biasa, tidak hanya karena bentuknya yang luar biasa yang dampaknya juga luar biasa kepada korban. Fenomena lagi-lagi terbesar itu adalah perempuan dan anak. Nah ini yang kemudian juga mendasari apa saja coverage dari Undang-Undang TPKS.
Salah satu yang menjadi concern pemerintah legislatif itu adalah kalau di Undang-Undang TPKS menyebutnya sebagai kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE). Kita juga melihat itu dalam survei yang kita lihat kan kekerasan fisik, kekerasan seksual gitu ya. Kemudian juga ada praktik-praktik berbahaya terhadap perempuan juga kita lihat, termasuk tindak pidana perdagangan orang.
Nah kalau melihat masifnya penggunaan teknologi informasi gadget dan sebagainya, memang saat ini terjadi peningkatan tren dalam setahun terakhir ya. Penggunaan media sosial ini usia 25-29, itu juga usia-usia produktif. Itu juga penggunaan media sosial yang masif yang kemudian juga dampaknya luar biasa. Ini yang harus diantisipasi kekerasan berbasis gender online.
Sekarang ini juga banyak sekali yang kemudian menggunakan media sosial yang sekarang menjadi concern pemerintah. Kita juga melakukan kampanye-kampanye masif di media sosial ini ya. Tentunya yang dilakukan pemerintah kan pasti literasi, edukasi, mengingatkan.
Kan itu penting ya bagaimana menggunakan media sosial yang bijak. Yang kita harapkan pastinya penggunaan media sosial itu yang mampu meningkatkan produktivitas dan mereka mampu melindungi diri dari berbagai kejahatan siber.
Tidak hanya di ruang-ruang publik kita dorong dengan kampanye-kampanye untuk literasi dan edukasi, tapi kita juga kemarin melakukan goes to campus untuk memberikan diseminasi ke adik-adik mahasiswa ini. Kan justru sekarang penggunaan di rentang usia 15-19 tahun, 25-29 tahun itu kelompok-kelompok yang sejatinya sangat produktif dan kelompok terbesar yang menggunakan gadget dan menggunakan media sosial. Nah disitulah kita membangun early warning system, membangun kesadaran dari dini untuk menggunakan media sosial dengan bijak karena banyak kasus-kasus yang muncul.
Kemarin misalnya kasus-kasus yang karena iming-iming di media sosial oleh para pelaku kejahatan cyber ini banyak perempuan yang jadi korban. Bagaimana dia melakukan perbuatan-perbuatan di luar akal sehat. Misalnya karena dijanjikan dengan uang tertentu yang gak diketahui, kan itu eksploitasi. Jadi saya setuju nih kalau teman-teman juga mengangkat isu ini.
Ini yang sekarang juga yang dipikirkan oleh pemerintah saat ini ya. Regulasi-regulasi kita kuatkan misalnya terkait, penggunaan media sosial yang ramah anak. Kemudian juga tayangan-tayangan yang layak anak, termasuk media-media sosial.
Pemerintah Australia sudah melarang penggunaan media sosial terhadap anak di bawah umur, di Indonesia sendiri bagaimana kalau dilihat dari urgensinya, apakah perlu juga memberlakukan aturan serupa?
Kalau melihat maksud dan tujuannya sih keren ya. Karena sekarang ini ketika masyarakat kita sudah dalam tahap adiktif terhadap media sosial kan harus ada langkah-langkah konstruktif baik regulasi, edukasi, kemudian pemahaman pengetahuan.
Karena sejatinya, Ibu Menteri (Arifah Choiri Fauzi) sudah terpikir nih bagaimana sih [melakukan pembatasan]? Karena ini kan sebenarnya dampak dari Covid juga ya berlebihannya penggunaan media sosial. Semuanya menggunakan media sosial, termasuk proses pembelajaran anak-anak. Nah ini ya harus juga dipikirkan.
Jadi porsi-porsi itu yang harus dikurangi ya. Karena tidak semua tugas itu harus dikerjakan melalui online atau informasi itu harus melalui media sosial. Kemarin juga banyak kasus-kasus yang kemudian terjadi, misalnya kejahatan-kejahatan online ini, kejahatan seksual dan sebagainya. Karena itu juga dilakukan oleh anak. Karena apa? dia adiktif melihat materi-materi pornografi.
Jadi ini langkah-langkah yang pertama, tentunya juga ada upaya yang sangat penting adalah penguatan keluarga. Itu menjadi sangat penting ya. Penguatan keluarga berupa pola-pola pengasuhan, bagaimana menciptakan me time orang tua dan anak.
Sekarang ini kan juga banyak ya, karena rasa sayang orang tua, seringkali ya sudahlah kasih kasih gadget anaknya. Maka pemahaman keluarga itu menjadi penting sih, terkait penguatan karakter dan nilai-nilai, karena keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat.
Artinya untuk menuju pembatasan seperti dilakukan di Australia perlu ada langkah-langkahnya lebih dahulu ya?
Perlu. Kita juga ada Perpres, kan sedang kita dorong ya, Perpres untuk perlindungan anak di ranah daring. Itu bagus banget lah menurut saya. Dan sekarang ini harus ada gerakan-gerakan masyarakat yang mampu untuk memberikan edukasi penggunaan media sosial. Hal yang penting sekarang ini dalam keluarga, karena seringkali orang tua menilai memberikan gadget ke anak itu sebagai solusi.
Dan sekarang ini kan juga banyak ya kasus-kasus viral, segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak yang kemudian terungkap karena media sosial, karena keberanian korban, kerjaan masyarakat yang kemudian memviralkan. Itu juga di satu sisi sangat-sangat membantu untuk penanganan cepat. Tapi sejatinya tidak berarti bahwa kasus-kasus tidak ditangani kalau gak viral kan, gak juga gitu ya.
Dan survey juga menunjukkan peningkatan, kalau dalam usia tertentu penggunaan teknologi ini memang ya kita nggak bisa menghindarkan gitu ya. Tapi bagaimana saat-saat ini yang penting adalah melakukan literasi, melakukan edukasi penggunaan gadget yang ini penting untuk peningkatan kualitas hidup perempuan, menghindarkan dari kekerasan, menjadi sarana untuk kita mampu berkompetensi, mampu untuk bersaing, dan hal-hal positif lah.
Editor: Rina Nurjanah