tirto.id - Investasi menjadi isu yang kerap kali disorot Presiden Jokowi lantaran belum sesuai dengan ekspektasi. Di periode keduanya, Jokowi lantas mengambil keputusan yang dianggap ‘lucu’, yakni menggeser urusan investasi di bawah koordinasi Kemenko Maritim.
Pergeseran urusan itu pun mengubah tata nama atau nomenklatur dari sebelumnya Kemenko Maritim menjadi Kemenko Maritim dan Investasi. Sebelumnya, koordinasi urusan investasi berada di bawah Kemenko Perekonomian.
Usai mendapatkan tugas tambahan dari Presiden, Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan langsung memasang target. Pria kelahiran Toba Samosir, Sumatera Utara ini akan menggenjot penanaman modal di sektor hulu, seperti petrokimia dan biodiesel.
Untuk merealisasikan itu, Kemenko Maritim dan Investasi juga akan menambah kedeputian khusus di bidang investasi. “Nanti akan ada penambahan kedeputian [bidang investasi] di sini,” ujar Luhut di Jakarta, Rabu (23/10/2019).
Sementara itu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengaku tidak keberatan dengan pelimpahan tersebut. Menurut Airlangga, koordinasi investasi bisa dilakukan multi-lembaga, sehingga tak seharusnya terkotak-kotak.
Ia mencontohkan soal kecocokan lulusan lembaga pendidikan dengan dunia kerja atau link & match saja, terdapat koordinasi tiga menko sekaligus, yakni Menko Perekonomian, Maritim, dan Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK).
“Ini tentu untuk investasi jangka panjang. Koordinasinya bisa multiple. Jangan terkotak-kotak begitu,” kata Airlangga kepada wartawan saat ditemui di kantor Kemenko Perekonomian, Rabu (23/10/2019).
Memicu Ketidakpastian Dunia Usaha
Selama 5 tahun terakhir, urusan investasi ada di bawah koordinasi Kemenko Perekonomian. Pelbagai upaya pun sudah mereka kerjakan guna menggenjot investasi, salah satunya adalah dengan menelurkan 16 paket kebijakan ekonomi.
Namun, hasil yang didapat masih belum sesuai harapan Presiden Jokowi, terutama investasi asing atau (penanaman modal asing/PMA). Tahun lalu, realisasi PMA yang didapatkan hanya Rp393 triliun, meleset dari target sebesar Rp477 triliun.
Secara tren, realisasi PMA sebenarnya tumbuh. Pada 2015, realisasi PMA mencapai Rp366 triliun. Tahun berikutnya, angka PMA tumbuh menjadi Rp397 triliun, dan naik lagi menjadi Rp431 triliun pada 2017.
Pada 2018, kinerja realisasi PMA justru melempem menjadi Rp393 triliun, anjlok 9 persen dari Rp431 triliun. Adapun, realisasi PMA untuk paruh pertama tahun ini juga tumbuh tipis, hanya 4 persen menjadi Rp213 triliun.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai pergeseran wewenang koordinasi untuk investasi sebenarnya tidak perlu. Hal itu justru hanya memicu ketidakpastian dunia usaha.
“Lucu itu mas. Pengusaha memang lintas sektor, tapi ini ke siapa? Bagaimanapun pengusaha tetap ke Menko Perekonomian, tapi sekarang harus juga ke Maritim. Susah kalau ada dua kepala,” ucap Tauhid kepada reporter Tirto, Jumat (25/10/2019).
Selain itu, Tauhid juga mengurai alasan lainnya mengapa pergeseran urusan investasi justru akan memperburuk koordinasi. Pertama, kementerian yang mendukung kebijakan investasi banyak berada di bawah Kemenko Perekonomian.
Contoh, Kementerian Perindustrian; Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat; Kementerian Keuangan; Kementerian Perdagangan; Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Ketenagakerjaan; dan lain sebagainya.
Perusahaan jasa konsultan global asal AS, AT Kearney juga mengonfirmasikan itu. Dalam survei AT Kearney 2019 bertajuk Foreign Direct Investment Confidence Index, sejumlah hal yang disoroti investor, mayoritas di bawah koordinasi Kemenko Perekonomian.
Mulai dari pajak, upah tenaga kerja, kepastian memiliki properti, ketersediaan pendanaan di dalam negeri, insentif fiskal maupun nonfiskal dan lain sebagainya. Hampir seluruh isu utama ini berada di bawah Kemenko Perekonomian.
Hal ini jelas menjadi kekhawatiran jika koordinasi investasi digeser ke Kemenko Maritim, di mana selama ini mengurusi kelautan dan perikanan, termasuk sumber daya. Tauhid menilai langkah itu justru akan memperburuk realisasi investasi Indonesia.
Kedua, Kemenko Maritim dinilai tidak memiliki kemampuan dalam mengurusi isu investasi. Pasalnya, Kemenko Perekonomian yang sudah lima tahun menerbitkan 16 paket kebijakan saja belum menghasilkan capaian sesuai ekspektasi presiden.
“Menurut saya akan sulit apabila urusan itu tiba-tiba ditarik ke Kemenko Kemaritiman dan Investasi, padahal [paket kebijakan] masih belum maksimal, dan masih perlu dievaluasi oleh Kemenko Perekonomian,” ujarnya.
Ketiga, pergeseran koordinasi investasi dinilai bisa mengganggu rancangan omnibus law atau penggabungan sejumlah UU demi memperbaiki iklim investasi. Bagaimana tidak, rancangan Omnibus Law ini juga dikerjakan Kemenko Perekonomian.
Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menilai pergeseran koordinasi investasi ke Kemenko Maritim ini belum penting, apalagi bisa menjamin masalah investasi selesai.
Belajar dari lima tahun terakhir, Piter bilang peningkatan investasi akan selalu ditentukan bagaimana pemerintah mampu menyelesaikan pelbagai hambatan. Apabila tidak, Piter ragu investasi akan membaik secara signifikan ke depannya.
“Itu PR yang harus dilakukan pemerintah. Apakah Kemenko Kemaritiman ada investasi atau enggak dan terlepas koordinasinya bagaimana? Saya pikir ada masalah yang lebih penting dari itu,” ucap Piter.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Ringkang Gumiwang