Menuju konten utama

Kemenangan Surat dan Kotak Suara Kosong sebagai Protes Pemilu

Protes dengan membuat surat suara tak valid atau tidak datang sekalian ke TPS jadi tradisi orang-orang yang muak dengan praktik demokrasi yang sedang berjalan.

Kemenangan Surat dan Kotak Suara Kosong sebagai Protes Pemilu
Kolase foto tangan warga yang golput saat Pilpres 2014. Zabur Karuru/Antara Foto

tirto.id - Surat suara kosong menggegerkan pemilihan kepala daerah di Kota Makassar. Ia tak hanya menjadi lawan satu-satunya bagi pasangan calon walikota dan wakil walikota Munafri Afifuddin-Rachmatika Dewi (Appi-Cicu), akan tetapi juga mampu mengalahkannya.

Setidaknya demikian yang terpampang dalam hasil hitung cepat atau quick count versi lembaga riset Celebe Research Center (CRC). Pasangan Appi-Cicu hanya memperoleh 46,55 persen, kalah dengan kotak kosong yang mendapat 53,45 persen suara. Direktur CRC Herman Heizer mengumumkannya saat data yang masuk sudah 86 persen.

Sebagaimana Tirto mengutip Antara, Rabu (27/6/2018), Herman menyatakan, kemenangan kolom kosong di Pilkada Makassar cukup mengejutkan, mengingat pasangan Appi-Cicu ini diusung oleh koalisi 10 parpol yang mengontrol 43 kursi di DPRD Makassar.

Dalam rekapitulasi formulir model C1 yang diterbitkan di laman infopemilu.kpu.go.id yang diakses Tirto pada Jumat (29/6/2018) pukul 11.09 WIB (saat ini tidak bisa diakses), perolehan kolom kosong mencapai 236.785 suara atau 52,50 persen, sementara pasangan Appi-Cicu memperoleh 214.219 suara dengan persentase 47,50 persen. Total data yang masuk saat itu sebanyak 80,41 persen.

Sementara di Makassar polemik masih bergulir, surat suara kosong sendiri adalah fenomena unik dalam praktik demokrasi di berbagai negara. Selain “blank vote”, nama lainnya yakni “protest vote” atau suara protes sebab sering dimotivasi oleh ketidakpuasan massa terhadap profil para kandidat yang oleh sistem diminta mereka pilih.

“Protest vote” bisa dijalankan melalui beberapa metode. Pertama, memilih kandidat yang tidak dicalonkan, tokoh yang sudah meninggal, atau bahkan tokoh fiktif. Kedua, surat suara bisa dikosongkan, atau dirusak—misalnya dengan yel-yel protes maupun menulis aspirasinya.

Perusakan surat suara kadang dilakukan secara dramatis, sengaja ditunjukkan ke publik dan media massa, untuk menegaskan sikap politik pelaku. Ada yang merobeknya, ada yang kemudian memakannya, atau kelakuan ekstrem lain.

Bentuk lain dari “protest vote” yang lebih radikal bernama abstensi atau golput. Pelakunya tidak berpartisipasi sama sekali dalam pemilihan suara. Abstensi kerap didasarkan pada motivasi kebencian terhadap sistem yang lebih mendalam ketimbang “protest vote”. Mereka tidak percaya dengan pemilu atau pilkada sebab dinilai tidak akan mengubah keadaan.

Para pelaku dan propagandis abstensi kerap berasal dari golongan anarkis. Mereka menolak demokrasi perwakilan sebagaimana yang masyarakat modern kenal di mayoritas negara dan menghendaki bentuk pemerintahan yang lebih langsung serta partisipatoris.

Pelaku “protest vote” atau abstensi biasanya hanya segelintir alias jauh jumlahnya dibandingkan dengan orang-orang yang berpartisipasi di pemilu secara normal. Namun di Perancis tren “protest vote” dan abstensi mengalami kenaikan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pemilihan presiden (pilpres) 2017 kemarin jadi saksinya.

Emmanuel Macron dari golongan sentris memenangkan pertarungan melawan Marine Le Pen dengan platform sayap kanannya. Mandat kepada Macron barangkali tidak seluar biasa yang dibayangkan sebab nyatanya pelaku “protest vote” maupun abstensi pada Pilpres 2017 Perancis mencetak rekor terbanyak dalam sejarah.

Mengutip laporan Eliza Mackintosh dan Judith Vonberg untuk CNN World, jumlah surat suara yang digolongkan sebagai “protest vote” plus jumlah abstensinya mencapai 33,4 persen. Jumlah ini naik dari 24,6 persen pada pilpres tahun 2002, 19,6 persen pada pilpres 2007, dan 24,3 persen pada pilpres 2012.

“Protest vote” punya sejarah panjang di Perancis, dengan dorongan atasnya sudah muncul sejak Revolusi Perancis. Dalam perkembangannya, aturan hukum Perancis kekinian tidak mengakui surat suara kosong. Namun gerakan untuk membuatnya diakui terus berlangsung di bawah tanah.

Tahun lalu Institut Opini Publik Perancis (IFOP) pernah mengadakan survei terkait polemik tersebut dan menemukan bahwa 40 persen pemilih Perancis akan memilih surat suara kosong jika diakui oleh hukum Perancis.

Surat suara kosong bukan perkara sepele di Perancis. Ia adalah manifestasi dari kebebasan memilih yang seharusnya ada dalam negara yang menganut demokrasi. Banyak yang menganggap bahwa pengakuan surat suara kosong adalah alternatif bahwa mereka tidak mau menjalani pemilu jika kandidatnya bukan pilihan mereka. Mereka tidak mau memilih sekedar berdasarkan rumus “the lesser evil”.

Kembali merujuk laporan CNN World, sikap yang demikian salah satunya tercermin dari Guillaume Castevert (46), warga Bordeaux, Perancis selatan. Kandidat favoritnya adalah Jean-Luc Melenchon dari gerakan sayap kiri La France Insoumise. Melenchon sayangnya kalah di babak pertama.

Sebagai aktivis kiri, Castevert ketar-ketir dengan naiknya popularitas Le Pen. Gerakan yang diusung politisi perempuan itu dianggap berbahaya bagi masa depan Perancis. Namun, di sisi lain, ia menolak sosok Macron. Banyak kebijakan Macron yang tidak ia setujui. Sikap ini bisa dipahami sebab Macron adalah seorang sentris-liberal.

Pada akhirnya Castevert memilih surat suara kosong alias menjalankan “protest vote”. Ia “ingin memberikan suara untuk sesuatu, bukan memilih untuk melawan sesuatu.” Ia pun tidak bahagia dengan sistem pemilihan yang ada sebab kurang demokratis. Dengan demikian ia bersuara melawan kedua kandidat maupun kepada sistem.

Jumlah abstensi di pilpres Perancis tahun lalu menjadi yang terbesar sejak pemilu tahun 1969, saat kandidat konservatif menang melawan calon sentris di babak terakhir. Penggeraknya juga kebanyakan pemilih sayap kiri sebab wakilnya tumbang semua.

"Sistem saat ini tidak demokratis. Sistem ini adalah bentuk kediktatoran borjuis yang tidak menguntungkan kelas pekerja," kata Jeremy, penggerak kelompok Boycott 2017 yang tahun mengajak masyarakat menolak Macron maupun Le Pen.

Selain Perancis, tahun lalu pemilu di Aljazair juga diramaikan oleh gerakan #mansotich yang kurang lebih berarti “aku tidak akan memilih”. Masyarakat banyak yang menganggap hasilnya sudah bisa ditentukan jauh hari, sehingga otomatis membuatnya tidak lagi demokratis, demikian mengutip Middle East Monitor.

infografik protest vote

Rakyat Aljazair yang mempromosikan #mansotich menyatakan tidak butuh “pesta” demokrasi lima tahunan, namun solusi atas berbagai permasalahan yang masih membelit. Krisis finansial akibat jatuhnya harga minyak mentah sejak 2014 melahirkan krisis perumahan akut juga melumpuhkan pelayanan kesehatan.

Anggaran negara memang berkurang drastis untuk subsidi kebutuhan-kebutuhan pokok untuk publik Aljazair. Tidak ada reformasi sosial-ekonomi yang sebenarnya dibutuhkan negara untuk menjauh dari ketergantungan atas produk hidrokarbon sebagai “model ekonomi jangka panjang”.

Warga banyak yang marah sebab pemerintah menyuruh untuk “bersabar” atas krisis. Pengangguran naik, menyasar satu dari tiga penduduk usia di bawah 30 tahun. Jumlah penduduk dari kalangan usia tersebut cukup besar, yakni setengah dari total populasi yang mencapai 40-an juta.

Pemilu, dengan demikian, hanya dipandang sebagai pemborosan anggaran, juga kesalahan mengalokasikan sumber daya negara. Ironisnya, aspirasi ini bertentangan dengan slogan pemilu Aljazair tahun 2017, yakni “stabilitas dan berkelanjutan”.

Olivier Ihl, profesor ilmu politik di Universitas Greoble, menulis di The Conversation bahwa beragam gerakan “protest vote” sedang merebak di berbagai negara. Ia memperhatikan Swiss, Spanyol, Brazil, atau Kolombia, di mana “protest vote” diakui atau dihitung atau keduanya. Lebih spesifik lagi, tergantung pemilu lokal, eksekutif, legislatif, atau untuk referendum.

Tukang protes di balik bilik suara akan mengalami perjuangan yang lebih berat di negara yang mewajibkan partisipasi di pemilu bagi semua orang yang memenuhi syarat. Jika melakukan abstensi, pelaku terancam berbagai macam sanksi, biasanya denda uang (jarang sampai dipenjara, meskipun ada).

Demokrasi yang jumud bagi segelintir orang memang menghasilkan rasa muak yang tebal terhadap pemilu atau pilkada. Warga di beberapa negara cukup beruntung sebab ikut pemilu atau tidak digolongkan sebagai pilihan.

Di Peru, misalnya, dua per tiga pemilihnya pernah memilih surat suara kosong pada gelaran pemilu tahun 2014. Hal itu tidak menjadi masalah sebab aturannya membuat warga punya pilihan surat suara kosong. Di India juga serupa. Aturan “None of The Above” sejak 2013 membuat warga boleh memilih surat suara kosong jika tidak punya kandidat yang pantas dipilih.

Baca juga artikel terkait PILKADA SERENTAK 2018 atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Politik
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf