tirto.id - Tinggal belasan hari menuju Pilkada serentak 15 Februari. Hiruk-pikuk kampanye di mana-mana, terutama di DKI Jakarta. Namun, hiruk pikuk itu tak jadi jaminan tingginya tingkat partisipasi. Pada Pilkada 2012 lalu, angka golongan putih mencapai 34 persen atau sepertiga jumlah pemilih.
Dari berbagai survei pun diketahui banyak responden yang belum menentukan pilihan atau tidak menjawab pertanyaan. Jumlahnya bermacam-macam, tapi survei-survei menera angka di atas 10 persen, bahkan sampai 30 persen. Amat mungkin "suara putih" itu tak berubah hingga hari-H nanti.
Fadli Ramadhanil, dkk dalam buku Desain Partisipasi Masyarakat Dalam Pemantauan Pemilu menulis kecenderungan tingkat partisipasi pemilih ini, khususnya dalam empat pemilu terakhir pasca-98. Indikasi ini sudah terasa sejak Pemilu 2004 dan 2009 serta dalam pemilihan kepala daerah di berbagai wilayah.
Misalnya, pada Pemilu 1999 pemilih terdaftar adalah 117.815.953, sementara yang menggunakan hak pilihnya sekitar 109.495.047. Tingkat partisipasi pemilih mencapai 92,6 persen dan angka golput berkisar 7,3 persen. Sayangnya, angka partisipasi ini turun drastis menjadi 84,1 persen dan angka golput naik menjadi 15,9 persen pada Pemilu 2004.
Tingkat partisipasi pemilih semakin menurun pada Pemilu 2009 yang hanya mencapai 70,9 persen, dan angka golputnya sekitar 29,1 persen. Partisipasi pemilih tersebut sempat membaik pada Pemilu 2014, yakni mencapai 75,11 persen.
Hal yang sama juga terjadi pada pemilu daerah, seperti pilkada serentak 2015 yang diikuti sekitar 264 daerah. Pimpinan Bawaslu DKI Jakarta, Achmad Fachrudin menulis bahwa pelaksanaan pesta demokrasi ini tergolong lancar, damai, serta menuai apresiasi positif sejumlah pengamat asing. Bahkan, tak sedikit yang menilai pilkada serentak di Indonesia sebagai eksperimen demokrasi yang patut ditiru.
Namun, rendahnya partisipasi pemilih menjadi pekerjaan rumah bagi penyelenggara pilkada yang tak kunjung terurai. Partisipasi pemilih secara nasional pada pilkada 2015 yang hanya sekitar 64,23 persen. Angka ini lebih rendah daripada target yang dipatok oleh KPU Pusat, yakni 75,5 persen.
Sejak pilkada langsung dilaksanakan pada 2005, dapat dilihat bahwa fenomena golput ini sudah mengkhawatirkan. Menurut catatan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) yang dikutip Nyoman Subanda dalam “Analisis Kritis Terhadap Fenomena Golput Dalam Pemilu” yang dimuat Jurnal Konstitusi (2009), dari 26 pilkada tingkat provinsi 2005-2008, 13 di antaranya dimenangkan oleh golput. Jumlah dukungan suara bagi gubernur pemenang pilkada kalah ketimbang jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya.
Hal ini juga terjadi di Jakarta pada Pilkada 2007 saat Fauzi Bowo terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta. Saat itu, jumlah masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya atau golput diperkirakan mencapai 39,2 persen.
“Tingkat partisipasi pemilih dalam pilkada ini [2007] sebesar 65,41 persen, yaitu dari warga yang terdaftar sebagai pemilih 5,7 juta orang, sebanyak 3,7 juta diantaranya melaksanakan hak pilihnya, sedangkan sisanya tidak datang pada saat pemilihan,” kata Juri Ardiantoro yang saat itu menjabat sebagai Ketua KPU DKI.
Kondisi ini tidak jauh berubah pada Pilkada DKI 2012 lalu. Tingkat partisipasi pemilih pilkada yang dimenangkan pasangan Jokowi-Ahok ini hanya 65,4 persen. Tingkat golputnya masih tinggi, sekitar 34 persen. Karena itu, KPU DKI Jakarta pada Pilkada DKI 15 Februari mendatang menargetkan partisipasi pemilih mencapai 77,5 persen.
Komisioner KPU DKI Jakarta, Betty Epsilo mengaku pihaknya sudah menyiapkan strategi khusus agar target tersebut tercapai. Misalnya, KPU Jakarta sudah membuat Rumah Pintar KPU sebagai sarana sosialisasi dan pendidikan bagi pemilih terkait pelaksanaan Pilkada Jakarta 2017.
“Kami juga menggunakan media massa dan media sosial untuk menyosialisasikan Pilkada Jakarta 2017,” ujarnya.
Meningkatkan Partisipasi Pemilih
Partisipasi pemilih dalam pemilu, baik nasional maupun daerah, penting karena akan berdampak terhadap legitimasi sebuah pemerintahan yang dihasilkan. Jika sebuah pemilu hanya diikuti oleh separuh dari jumlah pemilih yang memiliki hak suara, maka legitimasi terhadap pemimpin tersebut berkurang. Padahal dalam politik, legitimasi merupakan syarat mutlak yang secara politik turut menentukan kuat tidaknya atau lemah tidaknya sebuah pemerintahan.
Karena itu, tak heran jika upaya meningkatkan partisipasi pemilih dalam pemilu nasional dan daerah selalu diupayakan, salah satunya melalui UU No. 8 tahun 2012 tentang Pemilu yang memuat aturan bahwa penegak hukum dimungkinkan menjerat siapa pun yang memaksa orang lain untuk golput.
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan, dan/atau menghalangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih, melakukan kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban dan ketenteraman pelaksanaan pemungutan suara, atau menggagalkan pemungutan suara dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah),” demikian bunyi Pasal 308 UU No. 8 tahun 2012 tersebut.
Pasal ini menuai protes dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan aktivis hak asasi manusia (HAM). Peneliti Elsam, Wahyudi Jafar menyebut bahwa kriminalisasi golput sebagai sesuatu yang aneh. Karena ada hak politik yang dilindungi, termasuk hak untuk tidak memilih. Apalagi kalau masyarakat sudah jenuh pada parpol. Ia menunjuk Pasal 25 Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR)
Sebelum adanya UU di atas, upaya meningkatkan partisipasi pemilih dalam pesta demokrasi ini juga dilakukan lewat fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Fatwa haram golput yang dikeluarkan MUI ini merupakan salah satu bentuk upaya dari para ulama dalam menegakkan demokrasi di Indonesia. Akan tetapi, fatwa haram golput ini ditentang oleh banyak kalangan, termasuk Komnas HAM.
Mengurai Massifnya Golput
Persoalan golput ini memang cukup menyita perhatian publik. Untuk menyelesaikannya perlu mencari akar masalahnya.
Bismar Arianto dalam artikel “Analisis Penyebab Masyarakat Tidak Memilih Dalam Pemilu” yang diterbitkan Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan (Vol. 1, No. 1, 2011) menulis bahwa fenomena golput sudah terjadi sejak diselenggarakan pemilu pertama tahun 1955, akibat ketidaktahuan atau kurangnya informasi tentang penyelenggaraan pemilu, sehingga mereka tidak datang ke tempat pemungutan suara.
Sedangkan di era Orde Baru, golput lebih diartikan sebagai gerakan moral untuk memprotes penerapan sistem pemilu yang tidak demokratis oleh penguasa saat itu. Bagaimana fenomena golput pasca-98?
Penelitian yang dilakukan Bismar Arianto mengklasifikasikan ke dalam dua kelompok besar, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Dalam konteks ini, faktor internal adalah alasan pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya karena persoalan teknis. Misalnya, saat hari pencoblosan sedang sakit atau sedang bekerja. “Kondisi itulah yang secara teknis membuat pemilih tidak datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya,” tulis Bismar.
Sedangkan faktor eksternal lebih karena disebabkan persoalan lain, seperti administrasi, sosialisasi, dan sikap politik. Dalam konteks ini, pemilih bisa saja tidak menggunakan hak pilihnya dikarenakan terkendala administrasi. Atau karena faktor sosialisasi yang tidak merata sehingga pemilih merasa tidak perlu menggunakan hak pilihnya.
Bisa juga ada persoalan faktor politik seperti ketidakpercayaan pemilih kepada partai, atau pemilih tidak punya kandidat yang menjadi pilihannya. Hal-hal ini mendorong masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya.
Persoalan-persoalan tersebut harus diselesaikan oleh pemerintah dan penyelenggara pemilu agar tingkat partisipasi pemilih lebih dapat dioptimalkan. Partai politik juga perlu berbenah agar para pemilih tidak alergi terhadap partai dan kandidat yang diusungnya.
KPU sebagai penyelenggara pemilu juga perlu melakukan terobosan-terobosan baru agar pesta demokrasi berjalan lebih demokratis.
Selain faktor-faktor yang dilontarkan Bismar di atas, masyarakat tentu juga harus paham bahwa tingginya angka golput akan mengurangi legitimasi pemimpin yang terpilih. Jadi bagaimana, apakah Anda yang punya hak pilih akan golput?
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maulida Sri Handayani