tirto.id -
Akibat penurunan ini, angka Indeks Demokrasi DKI Jakarta berada di angka 70,85 persen pada 2016. Padahal, pada 2015 DKI Jakarta menjadi provinsi dengan Indeks Demokrasi paling tinggi di Indonesia dengan angka 85,32 persen.
"Ada pengaruh Pilkada DKI," kata Dewan Ahli BPS Musdah Mulia, di Gedung BPS, Kamis (14/9/2017).
Pengaruh yang sangat kentara, kata Musdah, adalah pada waktu kasus penistaan agama Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama muncul. Terutama dengan posisinya sebagai Cagub DKI.
"Demo-demo anti Ahok itu berpengaruh. Masyarakat DKI jadi takut bersuara. Terutama pendukung Ahok," kata Musdah.
Dalam catatannya, Musdah mengatakan variabel kebebasan berkumpul di DKI Jakarta menurun drastis sebesar 94,53 persen di tahun 2016.
"Ini kami temukan dari penelusuran koran, FGD, dan wawancara," kata Musdah.
Sementara, dari data yang disebutkan oleh Dewan Ahli BPS Maswadi Rauf. Menurutnya, aspek kebebasan sipil di DKI menurun dari 89,4 persen menjadi 81,11 persen.
"Dua aspek lainnya juga menurun. Aspek hak politik menurun dari 83,11 menjadi 67,12 persen. Lalu, aspek lembaga demokrasi menurun dari 83,26 persen menjadi 63,19 persen," kata Maswadi di Gedung BPS, Kamis (14/9/2017).
Lalu, Dewan Ahli BPS Syarif Hidayat juga mengungkapkan hal sama. Menurutnya, polarisasi di masa Pilkada DKI membuat masyarakat merasa terkekang kebebasannya dalam berkumpul.
"Dinamika politik semacam itu memang tidak bisa dilepaskan. Pilkada bisa dicermati sebagai faktor yang mendorong masyarakat takut berkumpul," kata Syarif.
Hal serupa, menurutnya, juga bisa ditemui di daerah lainnya yang menyelenggarakan Pilkada serentak di 2017, seperti Sumatera Barat dan Papua Barat. Dua provinsi ini menempati urutan paling terakhir di Indeks Demokrasi 2016.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Maya Saputri