tirto.id - 27 September 2016 pagi, di Tempat Pelelangan Ikan Pulau Pramuka, Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Pulau Seribu Selatan.
"Bisa saja dalam hati kecil Bapak-Ibu enggak bisa pilih saya. Ya, kan, dibohongi pakai surat Al-Maidah: 51—macam-macam itu," kata Ahok, disambut tawa hadirin. "Itu hak Bapak-Ibu, ya. Jadi, Bapak-Ibu, perasaan enggak bisa pilih, nih, karena 'saya takut masuk neraka'—dibodohin itu—enggak apa-apa."
Ahok berbicara di depan para nelayan pada kegiatan panen ikan kerapu. Ahok mengatakan ia akan tetap bisa memanen ikan bersama para pembudidaya, meski ia tak dipilih lagi menjadi gubernur pada Pilkada Februari 2017, sebab ia akan tetap menjabat gubernur sampai Oktober 2017.
Saat itu, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI), sepanjang 28 September hingga 2 Oktober 2016, elektabilitas pasangan calon petahana Ahok-Djarot masih sebesar 31,4 persen. Sedangkan pasangan calon Anies-Sandi sebanyak 21,1 persen. Di sisi lain Agus-Sylvi mengantongi 19,3 persen. Tapi selain calon pemilih yang tahu pilihannya, ada juga responden yang belum tahu pilihannya. Jumlahnya lebih dari seperempat keseluruhan responden: 28,2 persen.
Sembilan hari kemudian, tepatnya 6 Oktober 2016, Buni Yani—seorang pengkritik Ahok yang sehari-harinya bekerja sebagai dosen—mengunggah video pidato Ahok di Pulau Seribu itu di akun Facebook-nya.
Kiriman Buni Yani diberi judul dengan berhuruf kapital: PENISTAAN TERHADAP AGAMA. Di bawah judul, ia membuat semacam transkrip dari video itu: “Bapak-ibu [pemilih Muslim]... dibohongi Surat Al Maidah 51”... [dan] “masuk neraka [juga Bapak-Ibu] dibodohi”.
Lalu Buni menutupnya dengan kalimat ramalan, “Kelihatannya akan terjadi sesuatu yang kurang baik dengan video ini.”
Kalimat itu rupanya jadi semacam self-fulfilling prophecy atau ramalan-yang-menggenapkan-dirinya. Unggahan itu viral. Ahok dicaci-maki, dianggap menista agama sampai menjadi tersangka.
Tapi "sesuatu yang kurang baik" juga terjadi pada Buni sendiri. Karena transkrip yang ditulisnya tak sesuai ucapan Ahok, Buni disebut sebagai penyebar kebencian. Ia akhirnya menjadi tersangka atas dugaan menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA.
Sepanjang 7 hingga 12 Oktober, ada 14 laporan ke pihak kepolisian terkait dugaan penistaan yang dilakukan Ahok.
Pada 10 Oktober 2016, Mabes Polri mulai melakukan verifikasi terhadap beberapa berkas dan barang bukti awal dari aduan. Ada 29 saksi dari pelapor maupun terlapor dihadirkan. Dihadirkan pula 39 saksi ahli dari tujuh bidang keahlian, yakni ahli hukum pidana, ahli bahasa Indonesia, ahli agama, ahli psikologi, ahli antropologi, ahli digital forensik dan ahli legal drafting.
Di hari yang sama, Ahok meminta maaf atas pernyataan terkait Surat Al Maidah 51 dan menyatakan tak bermaksud menyinggung umat Islam.
Unggahan Buni disambut Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pada 11 Oktober 2016, MUI mengeluarkan pendapat dan sikap terkait kasus Ahok. Dalam pernyataan yang dibuat Ketua Umum MUI, Ma'ruf Amin, Ahok dianggap menghina Al Quran dan/atau menghina ulama yang memiliki konsekuensi hukum.
Ormas keagamaan pun bergerak merespons fatwa itu. Pada 14 Oktober 2016, setidaknya ribuan orang berdemonstrasi di Balai Kota DKI Jakarta dengan bendera Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI. Tuntutannya: Ahok segera ditahan atas tudingan melakukan penistaan terhadap agama.
Massa yang mengecam Ahok membesar dan mereka berdemonstrasi kembali pada 4 November. Jumlahnya kontroversial, ada yang menyebut puluhan ribu, sedangkan para pendemo mengklaim ada 2-3 juta massa. Tapi setidaknya, jika mengukur kapasitas Masjid Istiqlal, ada 200 ribu massa dari berbagai penjuru Indonesia. Ini adalah jumlah yang luar biasa pasca-turbulensi 1998-1999.
Turun Terus Setelah Kasus
Sepanjang Oktober, sebelum Ahok ditetapkan sebagai tersangka, elektabilitas pasangan calon Ahok-Djarot turun menjadi 24,6 persen. Elektabilitas Anies-Sandi juga menurun, hanya mengantongi keterpilihan sebanyak 20 persen. Limpahan suara rupanya terjaring pasangan calon Agus-Sylvi, yang meningkat menjadi 20,9 persen, juga ke kelompok yang kebingungan. Jumlah responden yang belum tahu atau belum memutuskan pasangan kandidat yang akan dipilih meningkat dari 28,2 persen menjadi 34,5 persen.
Selasa, 15 November 2016, dilakukan gelar perkara penyelidikan di Gedung Rupatama Mabes Polri, mulai pukul 09.30 sampai 18.00. Keesokan harinya, 16 November, secara tidak bulat, 27 penyelidik menetapkan Ahok menjadi tersangka kasus penistaan agama. Ahok tak ditahan, namun dia dicekal agar tak ke luar negeri.
Pada 21 November, Ahok meminta maaf untuk yang kedua kalinya. Namun sepanjang bulan November 2016, elektabilitas pasangan calon Ahok-Djarot semakin jatuh. Elektabilitasnya tinggal 10,6 persen. Kemungkinan terpilihnya pasangan Anies-Sandi meningkat menjadi 31,9 persen. Meski tak sebanyak pasangan nomor urut 3, Agus-Sylvi juga mendapat kenaikan keterpilihan menjadi 30,9 persen. Angka responden yang menjawab tidak tahu pun turun menjadi 26,6 persen.
Naik Lagi
Pada Kamis, 1 Desember 2016, berkas perkara Ahok yang terdiri dari 826 halaman dilimpahkan ke Kejaksaan. Tapi anehnya, berdasarkan hasil survei, dalam rentang 1 hingga 6 Desember 2016, elektabilitas pasangan calon Ahok-Djarot justru naik lagi menjadi 27,10 persen. Pasangan Agus-Sylvi juga naik lagi menjadi 33,6 persen, sedangkan Anies-Sandi turun menjadi 23,6 persen. Responden yang belum mengambil pilihan menciut jadi 15,7 persen saja.
Tak lama setelah Kejaksaan Agung menentukan 5 majelis hakim dari Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Selasa 13 Desember, sidang perdana Ahok digelar. Ahok didakwa Pasal 156 dan 156a KUHP. Dia dianggap melakukan penistaan terhadap agama Islam dan ulama.
Salah satu Pendamping Hukum Ahok, Hasudungan Manurung mengakui sejak 1 Desember, tim kuasa hukum Ahok telah menyusun eksepsi.
“[Kami] sampaikan secara langsung hari ini [13/12/2016],” tutur Hasudungan kepada Tirto.id.
Melalui Eksepsi, Ahok menyampaikan bahwa sejak ia berkiprah di Belitung Timur, ada politisi-politisi yang menjegalnya menggunakan Surat Al Maidah Ayat 51. Ia juga keberatan disebut menista agama Islam.
“Kecintaan orangtua angkat saya kepada saya sangat berbekas pada diri saya sampai dengan hari ini,” Ahok jeda, membuka kacamatanya, dan mengelap air matanya.
“Bahkan uang pertama masuk kuliah S2 saya di Prasetya Mulya dibayar oleh kakak angkat saya, Haji Analta Amir, yang juga hadir di persidangan ini. Saya seperti orang yang tidak tahu berterima kasih apabila saya tidak menghargai agama dan kitab suci orangtua dan kakak angkat saya yang Islamnya sangat taat. Saya sangat sedih saya dituduh menista agama Islam, karena tuduhan itu sama saja dengan mengatakan saya menista orangtua angkat dan saudara-saudara angkat saya sendiri yang sangat saya sayangi dan juga sangat sayang kepada saya.”
Survei dari Lembaga Survei Indonesia (lembaga survei yang berbeda) antara 3 hingga 11 Desember 2016 (artinya sebelum penyampaian eksepsi), juga menunjukkan kenaikan elektabilitas Ahok. Lembaga ini bahkan menempatkan Ahok-Djarot di peringkat teratas sebesar 31,8 persen, disusul Agus-Sylvi 26,5 persen, dan Anies-Sandi 23,9 persen. Sebanyak 17,8 persen menjawab tidak tahu atau rahasia. Padahal, hasil survei lembaga ini sebulan sebelumnya menempatkan elektabilitas Agus-Sylvi yang tertinggi. Ahok ada di posisi kedua dengan elektabilitas sebesar 26,2 persen.
Ketika responden ditanya terkait permintaan maaf Ahok yang disampaikan berulangkali dan mengaku tidak berniat menistakan agama Islam atau Al Quran, 59 persen responden menjawab Ahok meminta maaf secara tulus sehingga harus dimaafkan, 25 persen responden menuding tidak tulus dan tidak bisa dimaafkan, dan yang menjawab tidak tahu maupun tak memberi jawaban 16 persen.
Soal penistaan agama, sebanyak 54 persen responden mengatakan Ahok tidak menistakan agama, 26 persen mengiyakan, dan 19 persen menjawab tak tahu.
Terkait kinerja, lebih dari separuh responden, atau 59 persen, menyatakan cukup puas. Sebanyak 16 malah menilai sangat puas. Sisanya, 22 persen kurang puas, 2 persen tidak puas sama sekali.
Tapi betapapun tingginya elektabilitas dan kepuasan terhadap kinerja Ahok, langkahnya bisa terjegal jika proses hukum menyatakan ia jadi terpidana. Menurut Komisi Pemilihan Umum, pencalonan Ahok akan dibatalkan jika statusnya berubah menjadi terpidana dalam kasus dugaan penistaan agama.
"Kalau berstatus terpidana dibatalkan. Begitu jatuh vonis yang berkekuatan hukum tetap langsung dibatalkan," kata Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi DKI, Sumarno di Jakarta, Jumat (16/12/2016).
Jika Ahok menjadi terpidana setelah pilkada 15 Februari 2017, dan ia kebetulan menjadi gubernur terpilih, Ahok akan tetap dilantik. Setelah dilantik, Ahok akan diberhentikan sementara jika statusnya terdakwa atau diberhentikan seterusnya jika statusnya terpidana.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Maulida Sri Handayani