Menuju konten utama

Kemenag: Fatwa MUI Tak Boleh Melanggar HAM Orang Lain

"Diktum fatwa yang dikeluarkan MUI seharusnya tidak boleh melanggar HAM."

Kemenag: Fatwa MUI Tak Boleh Melanggar HAM Orang Lain
pegiat HAM (ilustrasi). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Siti Nur Azizah mengatakan beberapa fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dinilai rentan menimbulkan kekerasan berbasis agama adalah sebuah legal opinion dan tidak boleh melanggarkan hak asasi manusia. Ia menilai Kemenag tak mempermasalahkan hal tersebut karena merupakan kebebasan beragama mayoritas.

"Kami melihat fatwa-fatwa tersebut sebagai legal opinion, yang mana itu kebebasan beragama mayoritas. Namun, ada satu hal penting yang harus diingat bahwa tidak boleh ada tindakan persekusi berlandaskan fatwa tersebut. Diktum fatwa yang dikeluarkan MUI seharusnya tidak boleh melanggar HAM," katanya pada Senin (3/9/18) pagi.

Siti menegaskan perlu perhatian khusus terhadap hal ini. Ia memberikan komentar tersebut terkait beberapa fatwa MUI yang dinilai rentan menimbulkan tindakan kekerasan dan persekusi berbasis agama yang terjadi beberapa tahun terakhir.

Komnas HAM dan Human Rights Working Group (HRWG) telah menerbitkan laporan penelitian berjudul Pemulihan Hak Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Studi Penanganan Pengungsi JAI NTB, Syiah Sampang, dan Eks-Gafatar (2018).

Laporan tersebut melampirkan beberapa tindak kekerasan berbasis agama di Indonesia yang belum juga terpenuhi hak korban dan proses pemulihannya.

Penelitian tersebut berfokus pada kasus kekerasan terhadap jemaah Ahamdiyah di NTB sejak 2005, kekerasan terhadap kaum Syiah di Sampang, Madura, pada 2011, dan dan persekusi kelompok Eks-Gafatar di Kalimantan Barat beberapa tahun silam.

Padahal, kata Siti, jemaah Ahmadiyah dan kaum Syiah sudah lama hidup berdampingan dengan masyarakat lain di Indonesia dan sejak dahulu tak pernah ada kekerasan berbasis agama atau keyakinan yang berbeda. Hal seperti itu meningkat usai reformasi terjadi.

Ia juga mencermati pentingnya masyarakat dan media untuk melihat konflik secara lebih menyeluruh, karena faktor penyebab kekerasan terjadi bukan hanya dari agama, namun juga perbedaan karakter masyarakat setempat.

"Konflik sosial yang dibungkus agama harus dilihat lebih menyeluruh. Ini harus dilihat secara lebih komprehensif. Karena memang selain agama, ada pemicu konflik lain. Karakter masyarakatnya juga berbeda," katanya.

Siti mengatakan untuk proses pemulihan kelompok agama yang menjadi korban kekerasan dan persekusi butuh pemitraan banyak pihak mulai dari masyarakat sipil, LSM, dan pemerintah.

Baca juga artikel terkait FATWA MUI atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Yulaika Ramadhani