Menuju konten utama

Kelompok yang Terlupakan: TKI yang Pulang Saat Pandemi

Tak selamanya pekerja migran membawa uang banyak ke kampung halaman. Pandemi memperparah situasi tersebut.

Kelompok yang Terlupakan: TKI yang Pulang Saat Pandemi
Sejumlah Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Malaysia menjalani Rapid Test saat tiba di kedatangan Internasional Terminal 2 Bandara Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (7/4/2020). ANTARA FOTO/Umarul Faruq/hp.

tirto.id - Seharusnya Arumi Marzudhy mengakhiri masa empat tahun bekerja di Singapura pada September 2019, lalu pulang ke kampung halamannya di Blitar, Jawa Timur. Namun karena ketika itu majikan belum menemukan pengganti, Arumi harus bertahan lebih lama dan bahkan ikut pindah ke Thailand.

Arumi, pekerja migran asal Indonesia, bekerja untuk keluarga asal Amerika. Sebelum di Singapura dan Thailand, ia menghabiskan 10 tahun di Hong Kong.

Rencana pulang ia atur ulang. Arumi semestinya sampai ke Indonesia pada 30 Maret 2020, namun COVID-19 memaksanya memajukan jadwal jadi 19 Maret. Arumi pulang dengan rindu yang menumpuk.

Para tetangga kampung menyambut dengan cara yang tak pernah Arumi bayangkan. Mereka cemas Arumi membawa virus meski sebenarnya pada 13 Maret Juru Bicara Pusat Administrasi Situasi COVID-19 Thailand, Taweesin Wisanuyothin, sudah mengumumkan tak ada penambahan kasus baru selama dua bulan terakhir. COVID-19 pertama di negara tersebut tercatat pada 13 Januari.

“Saya cuma joging tapi beberapa warga keberatan. Saya sampai didatangi TNI dan polisi ke rumah,” katanya kepada reporter Tirto, Kamis (25/6/2020).

Paranoia warga perlahan menghilang, tapi itu tak membuat masalah Arumi selesai. Ia kini dihantam persoalan ekonomi, sebagaimana jutaan orang Indonesia lain.

Sadar betul sulit mencari pekerjaan dalam situasi pandemik, ia memilih berjualan rengginang, penganan yang dibuat dari beras ketan kering lalu digoreng. Tapi usaha ini tak bertahan lama karena pemasukannya ternyata tak seberapa. Untuk tetap hidup, Arumi lalu membuka usaha jasa boga dan berjualan aneka bibit bunga. “Yang penting dapat income from home,” katanya.

Arumi tahu harus kerja ekstra keras karena ia tidak termasuk kelompok yang berhak mendapatkan bantuan sosial (bansos) dari pemerintah. Ia menyambung hidup bermodalkan tabungan yang kian hari kian menipis, juga usaha yang stagnan. “Dikira kami pulang bawa banyak uang. Bansos bukan untuk TKI, padahal kami juga bertahan hidup,” aku Arumi.

Bambang Teguh Karyanto, Project Officer Migrant Care Jember, organisasi yang bergerak dalam isu perlindungan pekerja migran Indonesia, mengatakan pekerja migran tidak memperoleh bansos karena tidak termasuk dalam 14 kriteria program keluarga harapan (PKH) penerima bantuan langsung tunai (BLT) dana desa. Program tersebut menggunakan rujukan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

Dengan dasar kriteria tersebut, “pekerja migran dianggap bukan kelompok rentan,” ujar Bambang kepada reporter Tirto.

Kondisi demikian yang membuat para pekerja migran sangat bergantung pada tabungan untuk menyambung hidup di kampung halaman. Mereka, menurut Bambang, banyak yang mengalihkan dana tabungan untuk bercocok tanam. “Tapi ada juga yang tak memiliki kelebihan tabungan. Mereka ya menganggur.”

Migrant Care menyebutkan terdapat 5.280 pekerja migran yang pulang ke Indonesia sejak Januari hingga Maret 2020. Mereka berasal dari Malaysia, Hong Kong, Taiwan, Singapura, Arab Saudi, Brunei Darussalam, dan Korea Selatan. Mereka pulang ke Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat.

Namun bukan nasib berarti para pekerja migran yang tidak pulang lebih baik. Hasil survei Human Rights Working Group (HRWG), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), dan Jaringan Buruh Migran (JBM) tentang dampak COVID-19 terhadap pekerja migran menunjukkan banyak pelanggaran ketenagakerjaan terjadi selama pandemi. Survei ini diselenggarakan pada 21 sampai 30 April lalu, total responden 149.

Di Malaysia dan Arab Saudi, 54 persen pekerja migran buruh pabrik mengaku tidak mendapatkan gaji. Di Singapura dan Hongkong, meski masih digaji, mereka dibatasi mobilisasinya sehingga depresi. Pekerja migran di Taiwan dan Korea Selatan pun mengaku mengalami gangguan psikologis.

Menyiapkan Lapangan Kerja

Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay mengatakan persoalan pekerja migran yang pulang ke Indonesia sama seperti pekerja-pekerja lokal yang terdampak COVID-19, baik di-PHK atau dirumahkan tanpa upah atau digaji sebagian. Keduanya, menurutnya, sama-sama membutuhkan lapangan pekerjaan. Lapangan kerja ini semestinya diupayakan pemerintah.

“Ini butuh keseriusan pemerintah untuk mencarikan lapangan kerja alternatif, agar pekerja migran yang pulang ke Indonesia tidak menganggur,” ujarnya kepada reporter Tirto. “Kami mendesak pemerintah mencari solusi memadai.”

Ia juga mendorong pekerja migran yang pulang agar melaporkan ke dinas sosial setempat, jika memang belum terdaftar sebagai penerima bansos dari pemerintah pusat. “Kalau dilaporkan diharapkan dimasukkan ke dalam penerima bansos.”

Selain membuka lapangan kerja, anggota Komisi IX Fraksi PDI Perjuangan Muchamad Nabil Haroen mengatakan pemerintah juga perlu melatih para pekerja migran berwirausaha. Terlebih lagi jumlah yang hendak kembali ke tanah air mencapai 141 ribu orang. “Ini jumlah yang besar, harus dipikirkan cara terbaik agar mereka bisa bertahan di sini sembari menunggu kembali bekerja di luar negeri,” ujarnya kepada reporter Tirto.

Kementerian Ketenagakerjaan RI mendaku sudah menyiapkan sejumlah program bantuan untuk pekerja migran yang kehilangan pekerjaan dan calon pekerja migran yang gagal berangkat. Menurut Kepala Biro Humas Kemnaker Soes Hindharno, beberapa program yang disiapkan adalah Tenaga Kerja Mandiri (TKM), program padat karya, dan pemberian bantuan Teknologi Tepat Guna (TTG).

Pemerintah juga mendorong pekerja migran untuk mengikuti Kartu Prakerja, program yang pada masa pandemi dikategorikan sebagai bansos tapi saat ini tengah dievaluasi dan pendaftarannya masih ditutup.

“Pekerja migran korban PHK dan calon pekerja migran mengikuti program Kartu Prakerja guna meningkatkan skill dan mendapatkan insentif di masa pandemi COVID-19,” ujar Soes Hindharno kepada reporter Tirto.

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino