tirto.id - Pemerintah berencana memulai program vaksinasi COVID-19 pada November 2020. Ada enam kelompok yang diprioritaskan menerimanya, di antaranya tenaga medis, tenaga pendidik, dan TNI-Polri.
Namun tak semua dari mereka mau disuntik, setidaknya beberapa orang yang diwawancarai reporter Tirto. Alasannya sederhana: saat ini belum ada satu pun vaksin yang mendapat lampu hijau dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Salah satunya Debryna Dewi, dokter rumah sakit swasta di Jakarta yang juga pernah beberapa bulan menjadi relawan di RS Darurat Corona Wisma Atlet. Sebagai dokter, dia telah disumpah untuk selalu bertindak sesuai dengan bukti klinis dalam bekerja. Sikap ini juga ia terapkan untuk perkara vaksin.
"Jika data diambil untuk keperluan uji [uji klinis], saya tidak masalah. Tapi kalau enggak, saya keberatan karena memang belum terbukti aman secara ilmiah," kata Debryna kepada reporter Tirto, Jumat (23/10/2020). Debryna mengaku rela menunggu, bertahan menggunakan masker dan alat pelindung diri selama bekerja meski itu menyiksa selama belum ada vaksin yang dinyatakan aman dan manjur.
Tenaga pendidik pun demikian. Satriwan Salim, guru SMA di Jakarta yang juga Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru Indonesia, mengatakan para guru hanya mau divaksinasi apabila selesai uji klinis tahap ke-3 dan terbukti efektif. "Karena enggak ada jaminan [efektivitas dan keamanan]," ujar Satriwan kepada reporter Tirto, Jumat.
Sebelum itu, ia khawatir apabila para guru hanya "dijadikan sebagai kelinci percobaan vaksinasi." "Saya rasa penolakan dari guru-guru ini juga akan terjadi di mana-mana," tambahnya.
Dosen ilmu komunikasi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Wisnu Prasetya Utomo juga mengatakan demikian. "Kalau belum teruji keamanannya, buru-buru memberikan vaksin adalah tindakan yang bisa membahayakan banyak orang."
Lalu, jika telah teruji secara klinis, menurutnya yang perlu mendapat vaksin secepatnya adalah para tenaga kesehatan yang berada di garda terdepan penanganan pandemi. Para pengajar semestinya tidak termasuk.
Belum Teruji Klinis
Rencana pemerintah melakukan vaksinasi COVID-19 pada November 2020 bermula saat sejumlah pejabat bersafari ke Cina. Mereka di antaranya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Duta Besar RI untuk Cina dan Mongolia Djauhari Oratmangun, dan Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir.
Dalam pertemuan itu mereka merampungkan rencana pembelian vaksin yang telah dijajaki oleh Kementerian BUMN dan Kementerian Luar Negeri.
Ada tiga perusahaan yang telah bersepakat dengan pemerintah untuk menyuplai vaksin, yaitu Sinovac Biotech, Sinopharm (China National Pharmaceutical Group Co., Ltd.), dan CanSino Biologics.
Mengutip New York Times, Cansino Biologist mengembangkan vaksin bersama Institut Biologi di Akademi Ilmu Kedokteran Militer Tiongkok. Vaksin itu dibuat berdasarkan adenovirus alias Ad5. Saat ini Cansino masih menyelenggarakan uji klinis fase tiga di sejumlah negara seperti Arab Saudi, Pakistan, dan Rusia, tetapi militer Cina sudah lebih dulu menyetujui vaksin itu sebagai "obat yang diperlukan secara khusus."
Sementara Sinopharm mengembangkan vaksin dari virus yang sudah tidak aktif. Saat ini vaksin masih diproses uji klinis fase tiga di Uni Emirat Arab (UEA) dan Argentina. Pada 14 September, pemerintah UEA memberikan persetujuan darurat bagi vaksin itu untuk diberikan kepada tenaga medis, padahal Sinopharm sendiri belum memberikan laporan bahwa vaksin itu aman dan efektif.
Sinovac juga mengembangkan vaksin dari virus yang nonaktif. Saat ini vaksin itu masih diproses uji klinis fase tiga. Pada 19 Oktober otoritas Brazil mengatakan vaksin ini adalah yang paling aman dibanding lima vaksin yang sedang diuji klinis di negara mereka.
Enam kelompok prioritas yang bakal mendapatkan vaksin dijabarkan oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.
"Pertama, mereka yang berada di garda terdepan penanganan COVID-19 mencakup tenaga medis, paramedis contact tracing, dan pelayan publik mencakup TNI, Polri, dan aparat hukum lainnya yang mencapai 3,4 juta orang dengan kebutuhan sekitar 6,9 juta dosis," ujar Airlangga, Senin (12/10/2020).
Kelompok kedua adalah tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh daerah, kecamatan, dan RT/RW sebanyak 5,6 juta orang dengan kebutuhan vaksin 11 juta dosis. Kelompok ketiga, tenaga pendidik dari tingkat PAUD hingga perguruan tinggi.
Kelompok keempat, aparatur pemerintah baik di pusat maupun daerah serta legislatif. Kelompok prioritas kelima yakni peserta BPJS Penerima Bantuan Iuran (PBI) sekitar 86 juta orang dengan total kebutuhan vaksin 173 juta dosis.
Terakhir, masyarakat yang berusia 19-59 tahun sebanyak 57 juta orang dengan kebutuhan vaksin sekitar 115 juta dosis.
Melihat fakta bahwa vaksin yang akan didatangkan belum selesai uji klinis tahap ketiga, Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng M. Faqih lantas menyurati Menkes Terawan, memintanya untuk tidak terburu-buru.
"Pelaksanaan program vaksinasi memerlukan persiapan yang baik dan komprehensif, termasuk penyusunan pedoman-pedoman terkait vaksinasi oleh perhimpunan profesi, pelatihan petugas vaksin, sosialisasi bagi seluruh masyarakat, dan membangun jejaring untuk penanganan efek simpang vaksinasi," kata Daeng dalam suratnya, Rabu (21/10/2020).
Pemerintah nampaknya tahu kekhawatiran masyarakat. Mereka pun mencoba memberikan penjelasan.
Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 Reisa Broto Asmoro misalnya mengatakan "masyarakat tak perlu ragu dan khawatir" terhadap vaksin. Ia menjamin vaksin yang nanti diberikan aman karena melewati proses penelitian yang hati-hati dan sudah lolos uji klinis.
Jubir Satgas lain, Wiku Adisasmito, mengatakan hal serupa. "Masing-masing tahapan ini memiliki ketentuan yang harus dipenuhi sehingga vaksin yang dikembangkan benar-benar memiliki standar kesehatan yang baik sehingga aman dan efektif," ujar Wiku di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (22/10/2020).
Presiden Joko Widodo sendiri mengaku tak mau kalau "timbul persepsi bahwa pemerintah ini tergesa-gesa, terburu-buru, tanpa mengikuti koridor-koridor ilmiah yang ada" untuk vaksinasi. Sebab, ia tahu risikonya: "ada satu saja yang bermasalah," katanya, akan berakibat pada "ketidakpercayaan masyarakat."
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino