tirto.id - Serangan teror mematikan kembali terjadi di Turki. Setidaknya 41 orang tewas dan 239 orang lainnya luka-luka, akibat serangan bom yang terjadi di Bandara Ataturk, Istanbul, Selasa (28/6/2016) malam waktu setempat.
Gubernur Istanbul, Vasib Sahin menyebut ledakan ini diduga dilakukan tiga pelaku. Dari rekaman CCTV terlihat sebelum meledakan diri, para pelaku sempat membabi buta menembaki orang-orang yang berteriak histeris ketakutan dengan senjata AK-47.
Dunia berduka atas kejadian ini. Mulai dari Donald Trumph, James Cameroon hingga Joko Widodo mengucapkan bela sungkawa. Tagar #PrayForTurkey pun jadi perbincangan di berbagai media sosial.
Aksi teror kali ini menyerang langsung ke titik vital. Bandara Ataturk adalah bandara terpadat ketiga di Eropa. Si peneror mungkin berharap kasus ini bisa jadi seheboh serangan di Paris, Orlando, San Berardino atau serangan yang mengarah ke Bandara seperti di Belgia. Nyatanya, reaksi dunia sebenarnya biasa-biasa saja. Hal itulah yang dikeluhkan Presiden Tarcep Erdogan.
"Bom yang meledak di Istanbul ini bisa saja meledak di kota lain di dunia atau bandara lain. Saya ingin semua pihak memahami bahwa tak ada perbedaan antara Istanbul dan London, Ankara dan Berlin atau Izmir dan Chicago," ujar Erdogan. “Kita harus bekerja sama sebagai negara dan bangsa untuk memerangi teroris bersama-sama, semua kemungkinan yang tak pernah kita pikirkan akan jadi kenyataan," tambah dia.
Turki yang Kini Tak Aman
Terlepas dari dianaktirikannya Turki oleh penduduk dunia, angka berbicara Turki memang menjadi negara yang sering jadi target aksi teror dalam waktu tiga tahun terakhir. Khususnya aksi teror dengan menggunakan bom. Tren ini meningkat setelah perang Suriah mulai berkecamuk pada akhir tahun 2011.
Tren itu bisa dilihat dari data Global Database Terrorism milik Universitas Maryland. Dalam kurun waktu 10 tahun, terhitung 2001 hingga 2011 jumlah aksi pengeboman di Turki tiap tahunnya berkisar 15,7 kasus. Namun, setelah perang Suriah meletus akhir 2011, terhitung sejak 2012 hingga 2015 angka itu naik tajam jadi 40,7 tahun per kasus.
Efektivitas korban yang tewas dalam setiap aksi pun meningkat juga. Pada periode 2001-2011 tercatat ada 174 kasus pengeboman– baik itu skala kecil maupun skala besar. Jumlah total korban yang tewas mencapai 204 orang.
Jumlah korban terbanyak dalam satu aksi terjadi di Istanbul pada 2008. Bom yang meledak di distrik Güngören menelan korban 17 orang. Meski begitu, mayoritas pengeboman di Turki pada periode 2001-2011 jarang menelan korban jiwa. Jika dirata-ratakan kematian per aksi pengeboman dekade itu berkisar 1,17 orang.[PT11]
Namun, jumlah korban selama sepuluh tahun itu ternyata kalah ketimbang tiga tahun saja. Terhitung 2012-2015 jumlah total korban tewas mencapai 224 orang. Rerata korban per aksi berkisar 5,4 orang.
Data di atas belum mencakup aksi teroris pada tahun ini. Jika ditambahkan niscaya akan semakin lebih besar. Tahun 2016 adalah tahun tergila bagi Turki. Angka-angka di atas tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan korban dalam waktu enam bulan terakhir yang mencapai 250 orang! Ya hanya dalam waktu enam bulan!
Terhitung sejak Januari – Juni, ada 46 kasus serangan di Turki, 39 kasus di antaranya adalah serangan lewat aksi pengeboman, 6 sisanya adalah serangan bersenjata.
Benarkah itu ISIS?
Pemerintah Turki menduga serangan di Bandara Attaturk didalangi oleh ISIS. Prediksi ini entah benar atau tidak. Yang pasti, bagi ISIS tak sulit untuk menembus Turki. Negara inilah yang jadi pintu keluar masuk pendukung ISIS keluar masuk Irak dan Suriah. Mereka biasa menyamar sebagai pengungsi.
Alasan ISIS dijadikan dalang lantaran pemerintah Turki menilai pola serangan di Bandara Attaturk mirip seperti kejadian di Bandara Brussel. Tapi jika melihat aksi-aksi ISIS sebelumnya di Turki, ISIS tidak pernah menargetkan orang sipil tanpa alasan politis.
Pada 2013 lalu, bom meledak di Reyhanli, sebuah kota yang berbatasan dengan Suriah. Setidaknya 40 pengungsi tewas dan 100 lainnya luka-luka. Tuduhan langsung mengarah kepada ISIS. Setelah diselidiki, pemerintah Turki mengakui serangan itu dilakukan oleh Mukhabarat (badan intelijen Suriah).
ISIS benar-benar melakukan kekejian di Turki saat aksi Bom Suruc, 20 Juli 2015. Korban jiwa mencapai 32 orang. Beberapa bulan kemudian, Bom Ankara meletus 10 Oktober 2015. Tak tanggung 105 korban tewas.
Dua aksi keji bom bunuh diri ini dilakukan di tengah-tengah acara Partai Rakyat Demokratik (HDP), yang merupakan partai di parlemen berhaluan kiri dan dikenal Pro-Kurdi. Tindakan ini jelas dilatarbelakangi oleh konflik politik. Ini mengingat di luar Turki, ISIS dan Kurdi saling baku hantam di Irak dan Suriah.
Pada 12 Januari lalu, aksi bom bunuh diri terjadi pada bus pariwisata di kota Istanbul. Sebanyak 12 orang tewas, 10 di antaranya adalah orang asing. Tudingan langsung mengarah ke ISIS yang memang identik membunuhi turis-turis asing. Namun, sampai sekarang ISIS tak pernah mengklaim itu. Pada 19 Maret aksi serupa kembali terjadi. Namun, korban kali ini adalah 2 warga Israel dan 1 warga Iran – dua negara yang dimusuhi oleh ISIS.
Usai pengeboman bulan Maret, ISIS seolah jarang menyerang Turki. Jikapun ia, serangan yang dilakukan lebih ditujukan pada pos-pos militer di perbatasan Suriah dan Turki, angkanya kecil hanya 5 kasus dengan korban yang sedikit.
Di saat kelompok ektrim kanan mereda, kelompok kiri hadir menggantikan yang semakin membuat pusing kepala Erdogan.
Milisi Kurdi Lebih Berbahaya ketimbang ISIS
Dari 46 serangan di 2016, hanya 8 kasus yang terjadi di Istanbul dan Ankara. Sisanya tersebar di berbagai kota di Turki bagian timur seperti Diyarbakir, Nusaybin, Derik, Lice, Bursa dll.
Sudah jadi rahasia umum bahwa Turki bagian timur sarat dengan konflik. Mayoritas etnis Kurdi yang bermukim di sana selalu menggelorakan api pemberontakan terhadap pemerintahan di Ankara.
Dari data di atas kita bisa mengambil kesimpulan; mayoritas serangan teror di Turki bukan dilakukan oleh ISIS melainkan milisi kurdi dari dua faksi yakni Partai Buruh Kurdistan (PKK) dan Kurdishtan Freedom Falcon (TAK). Dari 46 serangan tahun ini, 38 di antaranya dilakukan oleh PKK dan TAK. Ttotal 184 nyawa meregang nyawa akibat dua kelompok yang dikenal berhaluan kiri ini.
TAK dan PKK adalah dua organisasi berbeda, meski mengusung cita-cita sama – kemerdekaan bagi suku bangsa Kurdi di Turki-- TAK lebih keras ketimbang PKK. Mereka tak tanggung membunuhi sipil.
Kenekatan mereka bisa dilihat dari aksi TAK yang melakukan aksi pengeboman besar di Ibukota Ankara secara dua bulan beruntun, Februari dan Maret lalu. Tak tanggung lokasi yang mereka serang pun tetap sama, yaitu distrik Kizilay – daerah pusat pemerintahan dan militer Turki. Pada Februari aksi yang dilakukan TAK menelan korban jiwa 28 orang, selang sebulan kemudian aksi bom bunuh diri terjadi mengakibatkan korban lebih besar, 37 orang.
Berbeda dengan TAK, PKK lebih cenderung menyerang non-sipil. PKK memang didapuk jadi pelaku teror terbanyak di Turki dengan 33 kasus. Aksi-aksi mereka lebih ditujukan kepada fasilitas atau konvoy militer di daerah Turki timur. Meski begitu, tetap saja serangan PKK berbahaya. Rerata jumlah korban jiwa dalam satu aksi berkisar 3,1 orang.
Tindakan TAK dan PKK pada tahun ini bertolak belakang dengan 2015 lalu. Tahun lalu PKK hanya melakukan 4 aksi, sedangkan eksistensi TAK malah mengendap. Teror pada 2015 lebih didominasi ISIS dan Partai Pembebasan Rakyat Revolusioner (DHKP/C) – kelompok ekstrim kiri.
Satu alasan yang menyebabkan TAK dan PKK murka adalah tabuhan genderang perang yang dilakukan Pemerintahan Recep Tayyip Erdogan awal tahun lalu. Erdogan memutuskan meningkatkan serangan terhadap Kurdi di Irak dan Suriah, lewat serangan udara.
Etnis Kurdi tersebar di empat negara, Iran, Irak, Suriah dan Turki. Dan tiap negara punya patron organisasi tersendiri, baik itu politik ataupun militer. Jika di Turki ada PKK, maka di Irak ada Irak Kurdistan dengan Peshmerga sebagai angkatan militernya. Begitupun Partai Demokrat Bersatu dengan YPG-nya di Suriah
Meski secara teritorial terpisah, mereka memiliki cita-cita membuat negara Kurdi berdaulat yang terbentang dari Turki Timur, sebagian utara Irak dan Suriah hingga separuh Iran bagia barat.
Kesamaan visi dan misi ini membuat wajar jika serangan Turki terhadap milisi Kurdi di Irak dan Suriah memancing TAK serta PKK melakukan aksi balasan di dalam negeri. Gempuran udara Turki ke milisi Kurdi sangat ditentang negara-negara Barat. Apa sebab, karena milisi kurdi adalah sekutu barat untuk menghadapi ISIS di Irak dan Suriah.
Turki yang juga bersekutu dengan Barat di Suriah tampaknya khawatir jika melihat kesuksesan milisi kurdi mengusir ISIS dari beberapa kota di utara Irak dan Suriah. Cepat atau lambat kebangkitan Kurdi di sana akan jadi senjata makan tuan.
Mereka takut setelah Irak dan Suriah direbut, maka hawa peperangan akan di bawa ke Turki. Itu jadi alasan Erdogan mengambil sikap berbeda dengan negara-negara barat dalam konteks Milisi Kurdi.
Posisi Kurdi yang mendapatkan pasokan logistik senjata dan uang dari NATO, Amerika Serikat dan Rusia membuat kekuatan militer mereka bertambah. Jadi bukan sesuatu yang sulit jika PKK dan TAK melakukan aksi teror di sana- sini di Turki.
Konflik Suriah memang membuat peta politik menjadi runyam. Sulit ditebak yang mana kawan, yang mana lawan. Sebagai contoh, Turki memerangi ISIS, ISIS memerangi Kurdi, Kurdi bermusuhan dengan ISIS dan Turki. Kurdi mendapat bantuan dari NATO yang merupakan koalisi Turki. Mesti mendapat didukung oleh NATO nyatanya Kurdi malah mendukung Bashar Al-Asaad yang merupakan musuh bersama koalisi barat. Pusing kan?
Ini hanya bagian kecil dari peta politik yang terjadi di Suriah. Imbas di Suriah memang merembet kemana-mana. Apalagi setelah Rusia, Iran dan Koalisi negara-negara sunni ikut campur.
Bagi Turki sendiri, yang jelas selama konflik di Suriah tak segera padam, selama itu pula kota-kota di Turki tidak akan aman.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Aqwam Fiazmi Hanifan