tirto.id - Sebuah poster seminar dengan tajuk Bertahan Hidup dengan UMK Jogja: Gaji piro-piro wae kok entek! (gaji berapa pun kok habis) ramai dibicarakan di Twitter. Saat artikel ini ditulis, Jumat (24/1/2020) siang, posternya sudah di-RT 1.200 kali.
Seminar yang digagas oleh Serikat Sahabat Sambat ini diisi oleh pendiri Serikat Sahabat Sambat Muhammad Ichsan Permana. Pemateri lain ahli perencana keuangan bernama Achie Mahfudloh, disebut sebagai 'founder Stocksgrow Community', kelompok yang fokus di bidang perencanaan keuangan dan investasi.
Ichsan atau Aik mengatakan poster seminar itu memang banyak dibicarakan di media sosial. Bukan hanya itu, menurutnya akun Twitter dan Instagramnya, @NKSTHI (Nanti Kita Sambat Tentang Hari Ini), juga tiba-tiba ramai dikunjungi warganet.
Serikat Sahabat Sambat merupakan sebuah organisasi bisnis. Aik mengatakan sejak akhir 2019 telah berdiri CV Serikat Sahabat Sambat yang lini bisnisnya termasuk membuat suvenir dan menggelar kelas hingga acara umum.
"Yang baru berjalan adalah kelas sambat ini," kata dia.
Seminar rencananya diselenggarakan di Sleman pada 29 Januari 2020. Siapa saja yang mau daftar wajib membayar uang (atau versi panitia: investasi) Rp150 ribu sampai Rp200 ribu.
Seminar ini dicibir persis karena harga tiketnya. Di satu sisi penyelenggara bicara bagaimana menyiasati upah minimum Yogyakarta, yang bisa dibilang rendah dibanding kota lain di Jawa, tapi di sisi lain mewajibkan yang mau daftar untuk bayar dengan nominal yang tak bisa dibilang sedikit.
"Cara paling efektif untuk bertahan hidup dengan UMK Jogja," kata akun yang membuat poster ini viral, adalah "menentukan skala prioritas dengan tidak menghabiskan uang untuk hal-hal yang tidak penting seperti mengeluarkan uang untuk ikut acara ini."
Lebih jauh dari itu, para pekerja menganggap seminar ini adalah upaya menormalisasi praktik upah murah di Yogyakarta.
"Upaya untuk mengaburkan persoalan upah murah di Yogyakarta saat ini telah banyak dilakukan, di antaranya adalah dengan cara otak-atik upah oleh konsultan keuangan," kata Sekjen Aliansi Buruh Yogya (ABY) sekaligus Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Konfederasi Serikat Pekerjaan Seluruh Indonesia (KSPSI) Kirnadi kepada reporter Tirto, Kamis (23/1/2020).
Kirnadi mengatakan upah adalah persoalan mendasar pekerja di Yogyakarta. Besar Upah Minimum Provinsi (UMP) Yogyakarta 2020 adalah yang terendah di Indonesia, yaitu sebesar Rp1.704.608,25 atau naik 8,51 persen dari tahun sebelumnya.
Sementara Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) 2020 untuk masing-masing kabupaten adalah Rp1.705.000 (Gunung Kidul); Rp1.750.500 (Kulon Progo); Rp1.790.500 (Bantul); Rp1.846.000 (Sleman); dan Rp2.004.000 (Kota Yogyakarta).
Upah murah terjadi karena survei dari Dewan Pengupahan Daerah "manipulatif."
Satu contoh terkait penentuan besaran tempat tinggal buruh. Dewan hanya menyurvei indekos minimalis "ukuran 3 x 3 meter," sementara yang semestinya dicek sesuai Permenakertrans Nomor 13/VII/2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak adalah tempat tinggal yang minimal ada ruang tamu, tempat tidur, kamar mandi, dan dapur.
Sejumlah item lain yang disurvei pun, kata Kirnadi, diambil angka yang tak masuk akal. Contohnya sandang/pakaian yang hanya dihargai Rp30 ribu. "Sangat tidak manusiawi," katanya.
Aliansi buruh menggelar survei serupa berdasarkan aturan yang sama. Hasilnya, Komponen Hidup Layak (KHL) di kabupaten/kota di DIY semestinya Rp2,5 juta sampai Rp2,7 juta.
Ia mengatakan UMP dan UMK Jogja saat ini membuat buruh defisit, alih-alih dapat menabung.
Kembali ke seminar, Kirnadi menegaskan upaya menormalisasi upah murah ini adalah upaya mengasingkan pekerja dari masalah mereka sendiri. Dan itu adalah pembodohan belaka.
Cara mengatasi upah murah adalah terus menuntut pemerintah dan pengusaha memberikan upah layak, katanya, "bukan dengan cara financial planning ala konsultan keuangan."
Soal Pola Pikir?
Muhammad Ichsan Permana bekerja dengan tim untuk merancang seminar ini. Salah satu yang terlibat dalam tim itu adalah Muhammad Hafidullah.
Kepada reporter Tirto, Rabu (22/1/2020), Hafidullah mengatakan perencanaan keuangan pada dasarnya membahas semua sisi, dari mulai penghasilan dan pengeluaran. Selama ini banyak yang hanya berpikir satu sisi saja, antara penghasilan, atau pengeluaran. Oleh karena itulah menurutnya banyak orang yang tak pernah merasa cukup dengan apa yang didapat.
"Kata kuncinya cuma satu: mindset," katanya dengan meyakinkan.
Karena keyakinan itu pula menurutnya meskipun di masa depan upah minimum di Yogyakarta naik, masalah tak akan selesai.
Ia mencontohkan, saat pemasukan bertambah, orang cenderung ingin membeli barang lain yang sebelumnya tak terjangkau, katakanlah sepeda motor. Penghasilan mereka akan tak cukup karena memutuskan membeli motor baru yang lebih mahal.
Tapi buruh bukannya tidak mau mengatur keuangannya. Masalahnya tidak banyak pilihan yang bisa dilakukan dengan upah sesedikit itu. November lalu, Sekretaris DPD KSPSI Yogyakarta Irsyad Ade Irawan mengatakan upah saat ini "hanya cukup untuk makan dan tempat tinggal."
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino