tirto.id - "Sekitar 69 persen dari generasi milenial Indonesia tidak memiliki strategi investasi," kata David Low, General Manager Asia Tenggara Luno, siang itu saat memaparkan hasil survei yang dilakukan perusahaan Luno bekerjasama dengan Dalia Research.
Hasil survei bertajuk "The Future of Money" tersebut juga memaparkan bahwa dari angka itu, sebanyak 44 persen milenial Indonesia hanya berinvestasi sekali dalam satu atau dua tahun. Sebanyak 20 persen di antaranya bahkan tidak berinvestasi.
Survei ini dilakukan terhadap 7.000 responden yang tersebar di benua Eropa, Afrika, dan Asia Tenggara. Sebanyak 15 persen dari angka itu atau sebanyak lebih dari 1.000 responden merupakan milenial Indonesia dengan rentang usia 23-28 tahun.
Survei dilakukan pada periode 17 Mei 2019-7 Juli 2019, yang merupakan tinjauan umum dari penelitian Barclays UK bersama dengan penyedia layanan bisnis intelijen global RFi Group yang bertajuk Millennials Investing Habits pada 2019.
Populasi milenial Indonesia diperkirakan akan mencapai 34 persen dari total populasi pada 2020 mendatang, dan mereka akan menjadi salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi nasional. Karena itu, penting agar kaum milenial Indonesia mempelajari lebih lanjut kelebihan dan manfaat dari strategi investasi yang terstruktur.
Hasil survei ini juga menemukan bahwa 79 persen kaum milenial telah menetapkan anggaran bulanan dan 70 persen dari mereka cenderung mengikuti rencana anggaran tersebut. Kondisi ini mengindikasikan bahwa kaum milenial Indonesia sebenarnya cukup disiplin dengan anggaran keuangan tapi tidak mengetahui bagaimana menggunakan uang untuk investasi dan hanya menyimpannya dalam rekening tabungan di bank.
"Seiring dengan pertumbuhan yang dialami populasi milenial, baik dalam hal produktivitas maupun usia, mereka perlu untuk mulai mencari cara menginvestasikan uang mereka. Tidak hanya uang tambahan, melalui investasi kaum milenial juga akan memperoleh kebebasan finansial dalam jangka panjang, yang merupakan salah satu kebutuhan kaum milenial," imbuh David.
Hasil survei ini sejalan dengan hasil riset yang dilakukan oleh Alvara Research pada 2017 berjudul "The Urban Middle-Class Millennials Indonesia: Financial and Online Behavior" (PDF). Survei itu menyebutkan bahwa produk keuangan yang paling diingat generasi milenial adalah produk tabungan.
Produk tabungan sangat diingat oleh mayoritas generasi milenial dengan persentase mencapai 79,8 persen. Sedangkan sisanya yaitu asuransi kesehatan, deposito, kartu kredit dan kredit kepemilikan rumah (KPR), jauh di bawah itu.
"Menjadi sebuah kewajaran jika hampir seluruh generasi milenial memiliki produk tabungan (tabungan konvensional). Meskipun, tidak semua memiliki tabungan [konvensional] tetapi kami meyakini bahwa semua generasi ini memiliki tabungan, bisa jadi sisanya adalah pemilik tabungan syariah,” jelas laporan yang disusun oleh Hasanuddin Ali dan Lilik Purwandi ini.
Bareyn Mochaddin Perencana Keuangan dari Aidil Akbar Madjid & Associates menyayangkan hal tersebut. Sebab, menurut Bareyn, berkaca pada inflasi tahunan yang terjadi di Indonesia sekitar 5-6 persen, bunga dari tabungan hanya sekira 2 persen. Tak jauh berbeda, bunga deposito yang saat ini berlaku berkisar 4 persen.
"Ini artinya, uang atau tabungan yang dimiliki milenial nilainya kalah dengan inflasi," jelas Bareyn kepada Tirto.
Selain itu, dengan kemajuan teknologi di dunia keuangan yang ada saat ini, yang terjadi justru generasi milenial Indonesia lebih banyak melakukan pinjaman dan juga belanja daring ketimbang investasi.
Apa yang dikatakan Mochaddin tersebut sejalan dengan survei yang pernah dilakukan oleh perusahaan riset pemasaran asal Perancis, IPSOS melalui IPSOS Indonesia. Riset mereka mengungkap sebanyak 64 persen warganet milenial berbelanja daring. Survei daring ini dilakukan terhadap 400 responden berskala nasional dengan rentang usia 18-55 tahun yang dilakukan pada 20-26 Agustus 2018.
Adapun generasi milenial yang menjadi responden dalam survei ini mayoritas menikah dan bekerja. Selain itu, lebih dari setengahnya adalah lulusan universitas, serta sebagian besar responden berasal dari tingkat ekonomi menengah atas dengan 53 persen di antaranya memiliki penghasilan pribadi minimal Rp4 juta per bulan.
Survei ini mengungkap 43 persen dari generasi milenial berbelanja daring setidaknya sebulan sekali. Produk yang paling digandrungi adalah busana dan peralatan olahraga–baik bagi perempuan maupun laki-laki. Metode pembayaran yang diminati adalah debit transfer dengan persentase mencapai 74 persen.
Hasil laporan lain tentang keuangan milenial pernah juga diungkap oleh IDN Research Institute. Dalam laporan bertajuk Indonesia Millenial Report 2019 (PDF), tercatat bahwa hanya 10,7 persen dari pendapatan yang ditabung oleh milenial. Sedangkan 51,1 persen pendapatan habis untuk kebutuhan bulanan para milenial.
Survei ini juga memaparkan bahwa minat generasi milenial terhadap investasi masih rendah dengan persentase hanya sebesar 2 persen. "Dari hasil survei, sebenarnya milenial cukup konsumtif menggunakan uangnya," tulis William Putra Utomo, penulis utama laporan tersebut.
Survei ini melibatkan 1.400 responden milenial dengan rentang usia 20-35 tahun di 12 kota besar di Indonesia. Survei dilakukan sepanjang 20 Agustus 2018-6 September 2018.
Pemenuhan kebutuhan hidup dan gaya hidup ini menurut Bareyn, yang menjadikan generasi milenial, setidaknya di Indonesia, memiliki keuangan yang berantakan. Untuk mengakali hal itu, ada baiknya bagi milenial untuk mulai berinvestasi, dengan besaran dana setidaknya 10 persen dari penghasilan.
"Jangan terbatas pada menabung saja, tapi mulai melakukan manajemen portofolio. Mulai tambah produk keuangan lainnya yang bersifat investasi seperti obligasi, reksadana dan saham. Akan lebih baik bila disesuaikan dengan profil risiko dan tujuan keuangan masing-masing individu generasi milenial," rinci Bareyn kepada Tirto.
Kondisi yang lebih membuat miris lagi, perlu waktu empat tahun bagi produk reksadana untuk mengalami pertumbuhan nasabah dari 320 ribu menjadi 995 ribu nasabah. Ini berbanding terbalik dengan salah satu lembaga pinjaman daring yang hanya memerlukan waktu sekitar satu tahun untuk mendapatkan 15 juta pengguna dengan 10 juta pengguna aktif.
Padahal, jika ingin memiliki keuangan yang lebih sehat, Bareyn menyarankan bagi milenial untuk menghindari pinjaman yang bersifat konsumtif karena justru akan menambah beban yang lebih besar pada pengelolaan keuangan.
"Jangan memiliki lebih dari 30 persen dari penghasilan. Artinya, kalau penghasilan Rp10 juta maka cicilan maksimum Rp3 juta," imbuh Bareyn.
Memiliki utang yang melebihi aset bisa membuat seseorang mengalami kebangkrutan. Diana Sandjaja, Perencana Keuangan dari Tata Dana Consulting menyebut, kebangkrutan bisa menimpa seorang individu yang sudah kewalahan menutup biaya operasional hidup sehingga memiliki banyak utang.
"Utang ini untuk bertahan hidup, padahal entah kapan bisa membayar utang. Ini yang harus diwaspadai," sebut Diana kepada Tirto.
Generasi milenial yang identik dengan melek teknologi, menurut Diana, hendaknya juga melek literasi keuangan sejak dini. Sebab dengan teknologi, para milenial memiliki akses yang lebih luas untuk belajar mengelola keuangan dan bisa mengambil kesempatan yang lebih luas lagi untuk menikmati hidup.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara