Menuju konten utama

Kekurangan Dokter di Tengah COVID-19: Akibat Sekolahnya Mahal?

Negara-negara maju dan berkembang kekurangan tenaga dokter di tengah pandemi Corona. 

Kekurangan Dokter di Tengah COVID-19: Akibat Sekolahnya Mahal?
Mahasiswa kedokteran meneliti sputum atau dahak saat praktikum di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Surabaya di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (21/2/2019). ANTARA FOTO/Moch Asim/wsj.

tirto.id - “Kami banyak mendengar kekhawatiran dari dokter-dokter spesialis yang tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk pasien mereka, orang-orang yang terinfeksi Covid-19,” tutur Megan Ranney, dokter umum di Rhode Island, Amerika Serikat. “Ya, benar. Kekhawatiran itu datang dari dokter kulit, dokter mata, bahkan dokter gigi.” Para dokter yang sesungguhnya tidak dididik melawan musuh tak kasat mata bernama SARS-CoV-2.

Dalam tiga bulan terakhir, lebih dari 1,3 juta orang di seluruh dunia terinfeksi Corona. Para dokter dan tenaga medis lainnya mencoba menyelamatkan pasien dari pandemi yang muncul pertama kali di kota Wuhan, Cina. Sayangnya, sebagaimana manusia lainnya, tenaga medis pun tak luput dari infeksi Corona.

Di Spanyol, laporan Time menyebut ada sekitar 15.000 tenaga medis yang terinfeksi Corona dan terpaksa harus melakukan isolasi bahkan perawatan intensif. Di Indonesia, berdasarkan catatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), hingga 6 April lalu, 25 dokter meninggal karena Corona.

Dengan penularan infeksi Corona yang terus bertambah di tengah masyarakat, dunia juga kini terancam kekurangan tenaga medis. Merujuk laporan Bloomberg, Wakil Presiden AS Mike Pence mengumumkan peraturan yang mengizinkan tenaga medis beroperasi lintas negara bagian. Bahkan Gubernur New York Andrew Cuomo meminta pensiunan dokter untuk kembali bekerja, membantu penanganan Corona. Ia pun mengusulkan agar perizinan praktik dokter di New York dipermudah agar jumlah tenaga medis cukup.

India Times melaporkan pemerintah India sedang mengkaji kemungkinan meloloskan mahasiswa kedokteran tingkat akhir untuk langsung terjun ke lapangan melawan Covid-19.

“Dengan hanya mengubah peraturan di Dewan Kesehatan India, India dapat langsung menghasilkan 1.500 dokter,” tegas Devi Shetty, pendiri Narayana Health.

Kekurangan dokter sesungguhnya tidak hanya muncul tatkala pandemi melanda. Banyak negara di dunia memang kekurangan dokter dan tenaga medis. Menurut data World Health Organization (WHO), sebagai negara maju, AS hanya memiliki 26,12 dokter per 10.000 populasi. Inggris juga hanya memiliki 26,12 dokter per 10.000 penduduk. Sebagai negara berkembang, Indonesia hanya memiliki 4,27 dokter untuk 10.000 populasi. Jumlah dokter di Indonesia kalah dibandingkan Malaysia (15,36 dokter per 10.000 populasi), Singapura (22,94), Filipina (6), Vietnam (8,28), Thailand (8,05), Myanmar (6,77), dan bahkan negeri yang pernah dijajah Indonesia, Timor Leste dengan 7,22 dokter untuk setiap 10.000 penduduk.

Sebagai catatan, data yang dilaporkan WHO merupakan data terbaru yang diambil dari tahun-tahun yang berbeda.

Menurut data WHO, lebih dari 40 persen negara anggotanya melaporkan hanya memiliki kurang dari 10 dokter untuk setiap 10.000 penduduk. Bahkan, 26 persen anggota WHO menyatakan bahwa mereka memiliki kurang dari tiga dokter per 10.000 penduduk. WHO sendiri merekomendasikan bahwa setiap negara tidaknya memiliki satu dokter untuk 1.000 populasi. Artinya, jika rasio 10.000 penduduk yang dipakai, negara sekurangnya harus memiliki 10 dokter.

Jumlah perawat dan bidan tak kalah memprihatinkan. Untuk setiap 1.000 penduduk, Indonesia hanya memiliki 2,1 perawat/bidan. Sementara Malaysia harus puas dengan hanya memiliki 4,1 perawat/bidan per 1.000 penduduk. Namun, meskipun terasa kecil dari segi rasio, itu sudah memenuhi standar minimum 1 perawat untuk 1.000 penduduk versi WHO.

COVID-19 memperlihatkan minimnya tenaga dokter di Indonesia dan dunia. Adakah hubungannya dengan biaya pendidikan dokter yang mahal?

Mahal!

“Saya berharap bekerja di dunia kedokteran bisa menjadi jalan keluar dari kondisi kelas pekerja. Orang tua saya imigran dari pedesaan di Iran yang kesukaran membiayai anak-anaknya. Saya mengira karier sebagai seorang dokter menjanjikan masa depan yang cerah,” tulis Farzon A. Nahvi, dokter umum di New York City, dalam opininya di The New York Times 2018 lalu.

“Sialnya, selepas lulus pendidikan dokter di tahun 2013, saya memiliki utang sebesar $180.000 (sekitar Rp2,8 miliar) dari program pembiayaan pendidikan AS,” aku Nahvi.

Selepas lulus kuliah dan menjadi dokter, Nahvi berkewajiban membayar cicilan $3.000 per bulan. Lima tahun berselang, cicilannya tak kunjung lunas meskipun ia telah berupaya dengan berbagai cara, misalnya dengan mengirit pengeluaran.

Di negeri kaya raya seperti AS, menjadi dokter tetaplah cita-cita yang kelewat tinggi. Laporan New York Times menegaskan, pendidikan kedokteran didominasi anak-anak yang terlahir dari kalangan ekonomi atas. Sepuluh tahun lalu, 75 persen dari total mahasiswa kedokteran di AS berasal dari kalangan elite, dengan rata-rata penghasilan orangtua di atas $75.000 per tahun. Hari ini faktanya tak berbeda jauh. Anak-anak tajir tetap mendominasi dunia pendidikan kedokteran.

Secara umum, merujuk laporan Association of American Medical Colleges, di tahun pendidikan 2019-2020, seseorang yang berniat menjadi dokter di AS wajib menyiapkan dana sedikitnya $37.556 per tahun. Data lain, merujuk publikasi Statista, untuk berkuliah jurusan kedokteran di University of California Berkeley, warga lokal harus menyiapkan kocek senilai $14.253 per tahun. Jika orang Indonesia--atau negara lain--ingin memperoleh gelar kedokteran di sana, dana sebesar $44.007 wajib disiapkan.

Sayangnya, jumlah sebesar itu merupakan biaya tahunan semata. Sebelum lulus sekolah menengah, berbagai biaya persiapan wajib dikeluarkan. Masih merujuk laporan New York Times, anak-anak yang hendak mendaftar kuliah kedokteran harus menyiapkan dana sebesar $315 untuk registrasi di MCAT, semacam lembaga registrasi masuk perguruan tinggi khusus kedokteran terpusat, $170 sebagai biaya persiapan, dan $40 jika si anak hendak mendaftar di lebih dari satu universitas. Lalu, ada biaya sebesar $200 ketika akhirnya si anak yang ingin menjadi dokter dipanggil wawancara oleh pihak universitas.

Ketika telah menjadi mahasiswa kedokteran, dana hingga $1.000 wajib disiapkan untuk membeli perlengkapan praktikum. Ketika lulus, ada serangkaian tes untuk mendapat lisensi praktik yang membutuhkan biaya tinggi.

Di Indonesia, kondisinya serupa. Laporan Tirto pada 2016 menyebut, diperlukan uang sebesar Rp25 juta untuk disetorkan sebagai uang pangkal masuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI). Per semester, UI membebankan biaya sebesar Rp7,5 juta. Untunglah, UI kemudian menerapkan skema Biaya Operasional Pendidikan Berkeadilan, skema yang dapat memangkas uang pangkal dan biaya per semester sesuai kemampuan penanggung biaya pendidikan.

Di Universitas YARSI (Yayasan Rumah Sakit Islam Indonesia), seorang calon mahasiswa kedokteran harus mengeluarkan uang Rp450 juta dan iuran per semester sebesar Rp14 juta. Di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, untuk tahun ajaran 2016/2017 misalnya, biaya kuliah dibagi dalam tiga kelompok, kelompok A dengan SPP sebesar Rp215 juta, kelompok B dengan SPP sebesar Rp236 juta, dan kelompok C dengan SPP sebesar Rp252 juta. Biaya tersebut belum termasuk uang kuliah paket dan uang kuliah per semester sebesar Rp21 juta.

Biaya kuliah kedokteran di Indonesia hampir mirip dengan beban finansial kuliah serupa di Jerman. Tahun lalu, Deutsche Welle yang mewawancarai mahasiswa kedokteran Jerman asal Indonesia, Adiyaksa Pratama. Adiyaksa mengatakan bahwa "biaya kuliah kedokteran di Indonesia, termasuk uang bangunan, uang untuk beli buku, juga biaya sehari-hari sampai lulus" sama dengan biaya kuliah kedokteran di Jerman yang "tanpa ada uang bangunan, tetapi masih ada uang semester, biaya hidup dan persiapan bahasa juga Studienkolleg.

Singkat kata, menjadi dokter di AS atau Indonesia butuh biaya tinggi. Konsekuensinya, menurut Nahvi, banyak lulusan-lulusan kedokteran yang enggan bekerja di spesialisasi dokter bergaji rendah atau mengabdi di wilayah-wilayah miskin.

“Dokter muda umumnya menghindari spesialisasi kedokteran berupah rendah, seperti pediatri dan psikiatri,” tegas Navi. “Umumnya, mereka kembali melanjutkan pendidikan untuk menjadi dokter spesialis jantung atau spesialis berupah tinggi lainnya.”

Elisabeth Rosenthal, dokter yang kemudian memilih menjadi jurnalis, mengungkapan bahwa dokter umumnya memang bergaji tinggi. Namun, ada pula yang harus menderita dengan upah yang diterimanya. Dokter-dokter yang berupah rendah itu ialah mereka yang bekerja di daerah miskin atau pedesaan, yang membantu memecahkan masalah-masalah kesehatan seperti kecanduan obat-obatan, dan penyakit lain khas wilayah miskin.

Infografik Jumlah Dokter di Berbagai Negara

Infografik Jumlah Dokter di Berbagai Negara. tirto.id/Rangga

Di AS, pada 2018 New York University mengumumkan bahwa mereka membebaskan biaya pendidikan kedokteran untuk seluruh mahasiswanya mulai tahun pelajaran 2019/2020. Di Indonesia, seperti halnya dalam kasus UI, biaya yang adaptif terhadap kemampuan penanggung biaya pendidikan telah dilakukan. Pertanyaannya kemudian, maukah lulusan-lulusan sekolah kedokteran yang biaya kuliahnya telah dipangkas itu mengabdi di daerah?

Likke Prawidya Putri, dosen pada Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Universitas Gadjah Mada (UGM), dalam paparannya di The Conversation, menegaskan ada ketimpangan jumlah dokter di kota dan pedesaan. Di Indonesia, dokter menumpuk di Jakarta atau Jawa secara umum. Data Konsil Kedokteran Indonesia pada tahun 2016 menyebut, untuk 100.000 penduduk, Jakarta memiliki 170 dokter. Di sisi lain, dengan koefisien yang sama, Sulawesi Barat hanya memiliki 10 dokter.

Yang unik, jika banyak negara di dunia yang bermasalah dengan dunia pendidikan kedokterannya, yang mahal dan hanya mampu dijangkau kalangan atas, Kuba berbeda. Beberapa tahun setelah revolusi pada 1959, Fidel Castro merombak dunia kedokteran Kuba. Kesehatan dan pendidikan menjadi hak warga negara. Untuk menjadi seorang dokter di Kuba, hampir tidak ada biaya yang diperlukan. Sertifikat dari lembaga pendidikan dokter Kuba juga bisa diterima di mana-mana, termasuk Amerika Serikat.

Laporan Time 2018 lalu menyatakan Kuba sebagai salah satu negara paling berpendidikan di dunia. Jumlah dokternya pun banyak, tiga kali lipat jumlah dokter per kapita yang dimiliki AS. Dengan jumlah dokter yang melimpah itu, Kuba mengirim dokter-dokternya ke berbagai belahan dunia yang membutuhkan.

Hingga kini, tercatat ada sekitar 50.000 dokter asal Kuba yang bekerja sebagai tenaga medis di 67 negara. Mereka, sukses menghasilkan devisa hingga $11 miliar setiap tahunnya.

Mark Keller, analis pada Economist Intelligence Unit, menegaskan bahwa pendidikan dan kesehatan gratis “adalah dua investasi terbesar dari revolusi yang dilakukan Kuba.”

Baca juga artikel terkait DOKTER atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf